Dalam Bingkai Media, Perempuan Adalah Objek

Tadi siang saya menemukan sebuah tautan yang menarik. Sebuah blog yang saya duga dimiliki oleh seorang perempuan. Salah satu tulisannya berjudul: First Travel dan Betapa Seksisnya Media Kita.

SAYA TERTARIK PADA TULISAN ITU, karena kebetulan sejak beberapa hari ini saya juga mengamati betapa media dan pengguna media sosial mempraktikkan sebauh framing (apa ya bahasa Indonesianya? Pembingkaian?) yang tidak berimbang. Fokus utama pemberitaan dan pembahasan di media sosial lebih banyak menyoroti tentang Anniesa Hasibuan, istri dari Andika pemilik First Travel.

Anniesa disoroti terus menerus, bahkan mungkin sudah tergolong berlebihan. Semua perihal tentang dia disoroti, dari gaya pakaiannya, kamarnya yang luar biasa mewah, kesukaannya berlibur ke luar negeri dengan fasilitas mewah. Pokoknya setiap jengkal kehidupannya adalah sorotan yang menarik.

Ini seperti berbanding terbalik dengan sosok suaminya, Andika. Sang suami hanya disorot sesekali, bahkan saya harus mengeluarkan tenaga ekstra untuk mencari tahu tentang dia. Berbeda dengan pemberitaan atau percakapan tentang istrinya yang mudah saja kita temukan. Bahkan tanpa harus dicari, dia datang sendiri ke beranda media sosial kita.

Hal ini hampir sama dengan berita-berita tentang perempuan yang suaminya tertangkap korupsi. Suami yang tertangkap korupsi, tapi kadang kehidupan sang istri yang dikulik. Tentang liburannya, pakaiannya atau apapun. Sementara si suami? Yaa cukup “sekadar” sebagai pelaku korupsi saja, tidak sampai dikulik lebih jauh. Apalagi sampai dibuatkan analisis sosial yang menggali alasan dia melakukan korupsi. Nehi!

Bagaimana kalau pelaku korupsiya perempuan? Habis sudah.

Masih ingat kan kasus Ratu Atut? Ketika dia diterungku karena kasus rasuah, detik itu juga semua kehidupan pribadinya dikuliti. Gaya pakaiannya, dandanannya, pokoknya semua tentang Ratu Atut adalah santapan lezat bagi media dan pengguna media sosial. Bahan yang menarik buat meme.

Bahkan ketika adik Ratu Atut – Tubagus Chaeri Wardana alias Wawan – juga tersangkut kasus rasuah, tetap saja yang jadi sorotan adalah istrinya, Airin yang juga walikota Tangerang Selatan. Pun beberapa nama perempuan cantik yang juga dikait-kaitkan dengan Wawan, jadi bulan-bulanan media.

*****

LALU KITA PINDAH KE CERITA LAIN.

Masih ingat kan cerita beberapa bulan lalu ketika warganet Indonesia dihebohkan oleh berita seorang perempuan masuk ke apotik di Jakarta hanya dengan celana dalam? Masih ingat kan bagaimana hebohnya jagat maya waktu itu? Videonya beredar luas, ditangkap media dan dilahap warganet.

Dianalisis, diberi praduga, diviralkan, diceritakan dan ah pokoknya jadi bahan obrolan yang menarik. Bahkan jadi alat untuk menyerang pemerintah dengan segala absurditasnya.

Senin 28 Agustus 2017 kemarin sebuah kejadian yang hampir sama terjadi di Jakarta, bahkan di istana negara. Seorang pria bugil – benar-benar bugil dan bahkan tidak menyisakan celana dalam – mencoba menerobos istana negara sebelum ditaklukkan Paspampres.

Tapi apakah cerita itu menjadi viral seperti cerita si perempuan yang masuk apotik hanya dengan celana dalam? Hmmm, nampaknya tidak.

Coba kita cek di pencarian Google.

Hasil pencarian tentang wanita telanjang di apotik

Dengan kata kunci “wanita telanjang di apotik” saya menemukan 247.000 hasil pencarian. Dari artikel sampai video di YouTube. Lengkap dengan tulisan-tulisan yang menghakimi dan menjadikan si perempuan sebagai candaan atau bahan hujatan.

Lalu dengan kata kunci “pria telanjang menerobos istana negara” saya menemukan hasil pencarian sebanyak 47.200. Jauh sekali perbedaannya. Itupun lebih banyak diulas oleh media arus utama. Video di YouTube pun tidak diembel-embeli candaan atau hujatan. Pokoknya sepi.

Hasil pencarian “pria bugil menembus istana negara”

Okelah, dua kejadian itu terpaut waktu yang panjang dari titik ketika saya mencarinya di YouTube sehingga perbedaan hasilnya bisa sangat jauh. Tapi tetap saja saya tidak yakin hasil pencariannya akan sama bila rentang waktunya sama.

Itu baru pencarian di Google, belum sampai menyelami pencarian di media sosial. Hasilnya saya yakin hampir sama, berbeda jauh seperti tanah dan pucuk Monas.

Kenapa? Karena pria bugil di tempat terbuka bukan hal yang seksi untuk dibicarakan. Alasannya pasti hanya dua: kalau bukan mencari sensasi ya orang gila. Berbeda kalau perempuan yang jadi pelakunya. Alasannya bisa beragam: kalah judi, stress, cari sensasi atau bahkan dicap tidak bermoral.

*****

SAYA MEMANG BELUM PERNAH MENGIKUTI TRAINING GENDER, namun kebetulan beberapa waktu belakangan ini saya banyak bertemu dan bersentuhan dengan para aktivis kesetaraan gender, maupun mereka yang sudah mengikuti pelatihannya. Dari mereka saya menemukan fakta bahwa perempuan memang masih kerap ditempatkan sebagai objek semata, tentu dengan asumsi hak mereka berbeda dengan hak pria. Mereka inferior, sementara pria superior.

Asumsi itu bahkan terjadi juga di media dan tentu saja media sosial.

Media arus utama yang punya kode etik jurnalistik saja masih tergagap-gagap dalam menempatkan perempuan dalam sebuah pemberitaan, apalagi para pengguna media sosial yang awam?

Memang tidak mudah mengubah perspektif ini. Ini adalah perspektif yang sudah terbangun berabad-abad dan bukan hanya terjadi di Indonesia. Perspektif yang akhirnya diamini sebagai sesuatu yang wajar. Bukan hanya oleh para pria, bahkan sesama perempuan pun menganggapnya wajar. Wajar ketika seorang perempuan disoroti berlebihan dalam sebuah pemberitaan negatif. Tidak percaya? Cek bagian komentar tautan di atas tadi.

Seorang aktivis gender yang pernah saya temui bilang kira-kira begini; masalah utama dalam kesetaraan gender ini bukan hanya kaum pria, tapi sesama perempuan. Bayangkan betapa beratnya memperjuangkan kesetaraan gender ini kalau sesama perempuan yang notabene adalah korban sendiri tidak satu kata.

Saya tidak hendak berpanjang-panjang mengobrolkan tentang kesetaraan gender ini, karena toh saya sendiri tidak atau belum tahu banyak. Saya pun beberapa kali masih menjadi bagian dari pria yang seksis, yang tidak sensitif dan masih menjadikan perempuan sebagai objek. Itu saya akui.

Tapi setidaknya saya mencoba terus menahan diri. Karena saya pun tidak setuju bila selamanya perempuan semata menjadi objek saja. Apalagi di dalam bingkai media. [dG]