Cerita Dalam Segelas Kopi

Tudang Sipulung Anging Mammiri
Tudang Sipulung Anging Mammiri

Anda pecinta kopi? Berapa gelas kopi yang Anda habiskan sehari? Tahukah Anda kalau dalam segelas kopi itu ada banyak cerita yang terkandung bersamanya?

“Indonesia adalah negara pengekspor kopi terbesar ketiga di dunia setelah Brasil dan Vietnam.” Kata Rachwan atau akrab disapa Wawan, pemilik usaha pengolahan biji kopi bernama Kopi Api. Wawan adalah salah satu pembicara dalam acara Tudang Sipulung Anging Mammiri yang digelar di kedai kopi Double Shot di Jl. Bali, tangga 30 Agustus kemarin.

Wawan membuka acara dengan bercerita banyak soal kopi, utamanya tentang kebiasaan orang-orang yang masih belum mengerti tentang mana kopi yang baik dan mana yang tidak. ironis, kata Wawan karena masih banyak penduduk negeri ini yang belum paham betul bahwa komoditas kopi Indonesia yang sudah diakui di manca negara itu masih sering lebih banyak dinikmati oleh orang luar daripada orang Indonesia sendiri.

Kopi terbaik dari Indonesia seperti kopi Toraja, kopi Aceh, kopi Flores dan beragam kopi nomor satu lainnya dipuja oleh orang di belahan dunia lain tapi kadang tidak sempat dinikmati orang Indonesia sendiri. Masih banyak orang Indonesia yang entah terpaksa atau entah rela melewatkan hari dengan secangkir kopi instan dalam sachet yang sejatinya justru dibuat dari biji kopi buangan dengan kualitas paling rendah.

Kopi, Dari Afrika ke Nusantara.

Kata kopi sendiri punya sejarah panjang. Kata ini pertama kalinya masuk dalam bahasa Ingrris dan menjadi coffee sekisar tahun 1582 diambil dari kata Belanda koffie. Orang Belanda sendiri menyerap kata itu dari bahasa Turki kahve yang ternyata juga diserap dari bahasa Arab, qahwa. Orang Italia sendiri menyebutnya caffe sementara orang New York dengan aksen khasnya menyebut minuman ini dengan kuofi.

Menurut sejarah yang dipercaya banyak orang, kopi pertama kali dinikmati oleh nenek moyang orang-orang Oromo sekisar abad 15. Orang-orang Oromo sekarang banyak tersebar di sekitar daerah Ethiopia sampai ke Kenya. Konon merekalah yang pertama mempraktekkan cara menghidangkan minuman yang diambil dari biji kopi tersebut.

Di pertengahan abad ke-15, orang-orang dari kerajaan Yaman waktu itu mulai mempraktekkan cara menyajikan kopi yang lebih modern. Dari Yaman kopi kemudian menyebar ke Mesir dan ujung utara Afrika. Masuk ke abad 16 kopi mulai bergerak ke utara, tepatnya ke wilayah Persia dan Turki. Dari dua wilayah itu kopi kemudian masuk ke Eropa melalui Italia.

Ketika itu orang Eropa yang sudah memulai kampanye menemukan dan menaklukkan negeri-negeri baru di Asia, Amerika dan Afrika itu jatuh cinta pada biji kopi yang menurut mereka menghasilkan sensasi tersendiri dalam setiap sajiannya. Mulailah mereka mencari cara untuk menanam kopi dalam jumlah yang lebih besar. Di abad 16 kopi mulai ditanam di banyak tempat di seluruh dunia secara sistematis, termasuk Nusantara yang kala itu dikuasai Belanda.

Belanda membawa bibit kopi ke Nusantara pada tahun 1696 melalui Batavia (sekarang Jakarta) dengan harapan negeri ini bisa jadi lahan yang pas untuk dijadikan perkebunan kopi. Ternyata harapan mereka berbuah kenyataan, Nusantara waktu itu punya banyak tempat yang memungkinkan kopi untuk tumbuh dengan subur. Tahun 1711 saja tercatat Belanda (waktu itu atas nama VOC) berhasil mengekspor 60 juta ton kopi dari Nusantara.

Kopi pertama yang masuk ke Nusantara adalah kopi arabica yang dibawa dari Malabar-India. Barulah pada tahun 1900 Belanda membawa varian kopi robusta ke Indonesia. Kopi ini ternyata lebih tahan hama dengan perawatan yang lebih ringan dari kopi arabica. Hasilnyapun lebih banyak. Sejak itulah Nusantara kemudian dibanjiri dua varietas kopi yang sampai sekarang jadi salah satu komoditi kebangaan kita, kopi arabica dan robusta.

Sejarah memang mencatat kalau kopi pertama kali dibawa oleh orang Belanda ke Nusantara, meski begitu di Toraja ada juga cerita yang berbeda. Daerah yang terkenal sebagai penghasil salah satu kopi terbaik Nusantara itu mengaku sudah mulai menanam kopi sebelum orang Belanda datang. Benar atau tidaknya tentu masih bisa menjadi perdebatan.

Kopi, Si Hitam Manis Yang Sensitif.

Di acara Tudang Sipulung Anging Mammiri dua malam lalu, kopi memang coba diangkat, digosipkan dan dihidangkan sepanjang acara. Minuman dari biji kecil berwarna hijau (kelak berwarna hitam setelah digoreng) memang menyimpan banyak cerita. Kopi saya ibaratkan sebagai wanita, begitu menggoda meski juga begitu sensitif.

Menyeduh kopi dengan syphon
Menyeduh kopi dengan syphon

Haidir, seorang barista (peracik kopi) menceritakan bagaimana repotnya memperlakukan biji kopi demi mendapatkan segelas kopi yang nikmat. John Chendra yang punya banyak pengalaman (dan sertifikat) tentang kopi kebetulan hadir juga malam itu. John ikut sumbang suara tentang bagaimana manusia kadang harus bersusah payah demi mengenali dan menghidangkan segelas kopi.

Meski berasal dari pohon yang sama, kopi tetap saja bisa terasa berbeda bila perlakuan yang diterimanya berbeda. Perlakuan yang dimaksud bermula dari penanaman, kopi yang ditanam di sekitar pohon bawang bisa saja menyerap aroma dan rasa bawang, demikian juga kopi yang ditanam di sekitar pohon buah-buahan. Selanjutnya tentu ada pada hasil pengeringan dan penggorengan kopi. Beda perlakuan akan menghasilkan rasa yang berbeda.

Tidak berhenti sampai di sini, perlakuan berikutnya tetap akan memengaruhi rasa segelas kopi. Cara menghaluskan, tingkat kehalusan, jenis air yang dipakai, suhu air yang dipakai, lama penyiraman dengan air panas, jenis wadah air yang dimasak, pilihan alat pengolahan sampai jenis gelas yang dipakai. Sedikit saja perbedaan maka rasa kopi yang dihasilkan juga berbeda.

Benar-benar sensitif. Tak heran kalau ada yang bilang menghidangkan kopi sama dengan memperlakukan seorang wanita, benar-benar harus lembut dan penuh perasaan.

Malam itu kami banyak mencari tahu tentang kopi, di akhir acara Haidir memperlihatkan cara sederhana menyajikan kopi dengan beberapa metode. Rasanya memang luar biasa, aroma kopi yang menyengat dengan segera menusuk hidung dan menimbulkan gairah. Lelehan kopi yang merupakan campuran dari rasa pahit, asam dan manis (walaupun tanpa gula) menimbulkan sensasi luar biasa di dalam mulut. Tak heran kalau banyak yang jatuh cinta pada kopi.

“Orang luar itu banyak yang cemburu sama Indonesia. Indonesia punya waktu 300 tahun untuk membiarkan kopi tumbuh dengan beragam ketinggian tanah dan iklim yang berbeda-beda sehingga kopi kita berevolusi sedemikan dahsyatnya. Hasilnya, kopi kita sangat beragam dan rasanya luar biasa!” kata John. Saya sepakat dengan kata-katanya, kopi Indonesia memang luar biasa dan saya bersyukur hidup dekat dengan salah satu daerah penghasil kopi terbaik di negeri ini. [dG]