Cahaya Terang Dari Kegelapan

Mereka penuh semangat!
Mereka penuh semangat!

Tidak tiap hari saya berinteraksi dengan mereka yang tidak sempurna secara fisik, tapi satu kesempatan berinteraksi itu membuat saya justru malu pada diri sendiri.

Saya berdiri, asyik menuliskan kalimat-kalimat di smartphone saya ketika seorang lelaki belasan tahun menyenggol saya dengan keras. Dalam hati saya sempat kesal, saya sudah berdiri menyudut dan menyisakan ruang lebar untuk lalu lalang orang tapi masih saja dia berjalan merapat ke arah saya sampai menyenggol. Tapi kekesalan saya cuma sedetik, berikutnya saya malah malu karena sempat merasa kesal.

Lelaki belasan tahun itu bernama Firdaus, salah seorang penghuni asrama Yayasan Pertuni (Persatuan Tuna Netra Indonesia). Daus-panggilan akrabnya – penyandang tuna netra dengan kategori low vision. Matanya masih bisa melihat meski mungkin sangat kabur. Wajar kalau dia tidak melihat saya yang berdiri di pojokan.

Hari itu saya bersama dua orang kawan memang sedang berada dalam kawasan asrama Yayasan Pertuni. Made, semalam sebelumnya meminta saya untuk berbagi bersama teman-teman penyandang tuna netra. Materinya adalah bagaimana agar teman-teman di sana bisa menulis reportase atau cerita tentang kehidupan mereka, utamanya tentang diskriminasi yang biasa mereka terima dalam kehidupan sehari-hari. Ajakan yang segera saya iyakan, meski harus rela melepaskan satu pekerjaan yang waktunya bersamaan.

Saya memang sudah lama tertarik ingin bergaul langsung dengan teman-teman yang kata orang punya kekurangan itu. Saya yakin bahwa di balik kekurangan yang dibesar-besarkan orang itu sesungguhnya mereka adalah individu yang luar biasa. Mereka pasti punya kelebihan yang tidak dimiliki oleh orang yang katanya sempurna secara fisik. Dan keyakinan saya mendapat pembenaran hari itu.

Awalnya acara berjalan agak kaku, setidaknya buat saya. Saya tidak terbiasa masuk dalam lingkungan mereka dan karenanya berusaha untuk memperhatikan batasan yang bisa membuat mereka tersinggung. Tanpa sadar saya masih membawa persepsi sendiri, persepsi bahwa mereka adalah orang yang patut dikasihani. Persepsi yang menit-menit berikutnya harus saya telan mentah-mentah dengan rasa malu yang besar.

Menulis dengan bantuan perangkat lunak khusus
Menulis dengan bantuan perangkat lunak khusus

Ternyata mereka bukan orang-orang lemah yang patut dikasihani. Mereka punya semangat, punya kegembiraan dan mampu tersenyum meski salah satu indera mereka tidak berfungsi dengan baik. Rentang waktu dua jam bersama mereka sudah cukup membuat saya merasakan semangat luar biasa dari dalam diri mereka. Mereka begitu bersemangat ingin tahu banyak tentang bagaimana menuliskan sebuah reportase, bagaimana menumbuhkan niat menulis, bagaimana menempatkan tanda baca atau bagaimana menyusun sebuah paragraf.

Salah satu dari mereka adalah pak Anton. Seorang pria berusia 31 tahun yang luar biasa. Meski punya kekurangan pada pandangannya, tapi dia tidak menyerah. Dia bersaing dengan manusia yang kata orang normal untuk mengabdikan diri sebagai pengajar di sekolah umum, bukan sekolah luar biasa! Jalan menuju pengabdian itu tidak mudah, tapi pak Anton bukan tipe orang yang mudah menyerah. Keterbatasannya adalah senjata yang membuatnya kuat, sangat kuat malah. Saya tertegun mendengar cerita perjuangannya, malu karena dengan tubuh yang kata orang normal ini saya masih saja mengeluh dan menyerah.

Dalam rentang sekira dua jam, manusia-manusia luar biasa yang saya temui sore itu membawa banyak pikiran ke dalam kepala saya. Selama ini memang kita terlalu akrab dengan asumsi sendiri tentang mereka, kadang kita malah meremehkan mereka sebagai orang yang butuh rasa kasihan dari kita yang katanya normal. Tanpa kita sadari kita mengorek jurang antara kita dengan mereka. Padahal di seberang sana mereka adalah orang-orang yang justru dianugerahi kemampuan luar biasa, mereka juga bisa tersenyum, tertawa dan membuat gurauan yang sama dengan kita. Mereka bahkan punya sesuatu yang kita tidak punya.

Hanya dua jam saya berada di sana, tapi saya pulang dengan pukulan telak di dada. Saya bertemu dengan orang-orang luar biasa yang selama ini mungkin saya anggap sebagai orang lemah. Hari itu kami berusaha membangun sebuah jembatan untuk menghubungkan antara kita yang katanya normal ini dengan mereka yang katanya punya kekurangan itu. Diskriminasi harus digerus, salah satu senjatanya adalah lewat tulisan dan itu yang sedang kami usahakan. Semoga tak lama lagi kita akan membaca tulisan dari mereka, cerita tentang kehidupan mereka dari sudut pandang mereka sendiri, supaya makin banyak orang yang tahu kalau mereka sebenarnya orang-orang yang luar biasa.

Saya melihat cahaya terang benderang dari kegelapan pandangan mereka [dG] ?