2014; Bersua dengan Papua

 

Ketika di Sentani
Ketika di Sentani

Pengalaman paling berkesan dan paling saya syukuri di tahun 2014; bersua dengan Papua

Suatu hari di bulan Oktober, sebuah nomor yang tak tercatat menelepon saya. Ketika saya angkat di seberang seorang pria memperkenalkan diri lalu langsung mengutarakan maksudnya. Beliau dari sebuah NGO dan berniat menawari saya pekerjaan pendokumentasian program di beberapa wilayah Timur Indonesia.

Sebagai orang waras tawaran itu tentu saja saya terima. Kawasan Timur Indonesia bok! Dari informasi awal program yang dimaksud berada di wilayah NTT, Jawa Timur, Papua dan Papua Barat. Singkirkan Jawa Timur, untuk sementara liur saya lebih menetes mendengar nama NTT, Papua dan Papua Barat. Singkat kata tawaran itu tentu saya terima meski saya tetap harus melewati tahap seleksi yang untungnya kali ini berhasil saya lewati dengan sukses.

Kita persingkat lagi cerita ini. Saya akhirnya diterima menjadi bagian dalam proyek pendokumentasian tersebut dan daerah tujuan saya adalah Papua dan Papua Barat. Di briefing awal saya tercekat melihat nama Raja Ampat di dalam daftar tujuan saya. Woho! Dreams come true nih, pikir saya. Walaupun ini judulnya kerja tapi tetap saja, menginjak tanah Raja Ampat pasti akan menyenangkan.

Sayangnya beberapa hari sebelum keberangkatan pertama jadwal diubah, Raja Ampat tidak lagi masuk dalam daftar tujuan saya dan tergantikan oleh Jayapura, Manokwari, Fak-Fak dan Kaimana. Kecewa? Sedikit, tapi tak lama karena bagaimanapun saya masih jauh lebih beruntung dari beberapa kawan saya yang tanpa sadar mengutuk ketika tahu saya akan ke Papua dan Papua Barat.

Saya kebetulan berada dalam lingkaran beberapa orang manusia yang begitu mengidamkan perjalanan ke tanah Timur Indonesia. Satu di antara mereka sudah pernah ke Papua, bahkan berdiam di Wamena untuk waktu yang lumayan lama, dan justru itu yang membuat dia semakin meradang karena rasa kangennya kembali menyeruak. Saya beruntung bisa memanas-manasi mereka.

Papua oh Papua

Lalu berangkatlah saya, Jayapura jadi tujuan pertama. Tahun 2012 silam saya sudah pernah menginjak tanah Papua, tepatnya Sorong di Papua Barat. Kala itu saya hanya sempat menghabiskan waktu 3 hari di Sorong dan benar-benar hanya menikmati kulit dari tanah Sorong. Tidak sempat menikmati banyak keindahannya atau cerita di dalamnya. Ketika pulang saya berjanji suatu saat nanti saya harus kembali!

Janji itu saya tunaikan, tentu saja atas bantuan banyak orang yang bermurah hati memberi saya kepercayaan menjalankan tugas.

Pertama kali menginjak Jayapura saya segera harus membangun ulang imaji saya tentang Papua. Jayapura sungguh menawarkan banyak cerita unik di belakang tirai yang selama ini menutupinya. Saya dan mungkin jutaan orang Indonesia lainnya masih menebak-nebak isi di belakang tirai tipis itu, membangun imaji sendiri tentang Papua berdasarkan apa yang didengar dan dilihat di media lalu menyimpulkan kesan sendiri.

Danau Sentani dari Bukit MacArthur

Tapi kesempatan melihatnya langsung dengan cepat membuat saya yakin kalau saya salah. Sebenarnya tidak sepenuhnya salah karena toh selama ini saya sudah yakin kalau Papua itu indah, hanya saja saya kurang lengkap. Dia bukan hanya indah, tapi sangat indah! Saya jatuh cinta pada setiap jengkal tanahnya yang menawarkan banyak cerita, tentang perjalanan anak manusia diseret-seret modernisasi, tentang perlawanan terhadap kesewenang-wenangan, tentang negeri kaya yang begitu banyak kekayaannya diangkut keluar dan hanya menyisakan remah-remah untuk mereka di sana.

Lalu ada Manokwari, kota indah di bagian belakang kepala burung. Kota ini lebih sederhana dari Jayapura, tapi tidak kalah indahnya. Di Manokwari saya mengintip pulau Mansinam yang jadi gerbang masuknya injil dan modernisasi ke pulau terbesar kedua di dunia ini, di Manokwari saya mengisi perut dengan hasil lautnya yang segar, di Manokwari saya bertemu orang-orang yang ramah dan penuh senyum.

Menjelang akhir tahun 2014 saya kembali ke Jayapura. Kali ini lebih berkesan karena saya bisa masuk lebih jauh, mendatangi kampung-kampung yang cukup terpencil, bertemu warga yang ramah dan anak-anak yang ceria. Lengkap sudah alasan saya untuk makin terpukau pada pulau terbesar di Indonesia ini. Dan oh, saya sungguh suka mendengar logat mereka yang khas!

Senyum anak Papua
Senyum anak Papua

Menjelang kepulangan ke Makassar saya diajak ke salah satu pantai di Jayapura, pantai Base G namanya. Sampai sekarang saya sulit mencari kata-kata yang tepat untuk menggambarkan perasaan saya ketika melihat pantai itu. Hilang sudah semua koleksi kata-kata untuk menggambarkan keindahan yang saya ingat, sampai akhirnya seperti seorang amatiran saya hanya mampu menggambarkannya dengan kata: cantik. Itu sudah!

Kalau ada yang tanya apa kejadian yang paling terkenang di tahun 2014 maka tanpa ragu saya menunjuk perjalanan ini sebagai kejadian yang paling terkenang, kejadian yang akan sulit saya lupakan. Kembali bersua dengan Papua sungguh seperti sebuah mimpi yang jadi kenyataan, dan untuk itu saya tidak akan pernah lupa berterimakasih pada Tuhan dan pada mereka yang sudah jadi perpanjangan tangan-Nya dalam mewujudkan impian saya.

Sungguh, saya senang bersua dengan Papua. [dG]