Berempati Pada Korban Bunuh Diri

Ilustrasi

Beberapa waktu belakangan ini – katakanlah dalam rentang sebulan – kasus bunuh diri yang diberitakan media sepertinya sedang marak. Korbannya beragam, dari pesohor, anak pejabat daerah hingga orang biasa.

SEBUAH ARTIKEL DI KOMPAS 27 JULI 2017 menyebutkan kalau menurut WHO (Organisasi Kesehatan Dunia) 9.103 orang bunuh diri pada tahun 2012 di Indonesia. Jumlah ini berarti satu kasus tiap jam. Sementara menurut Asosiasi Pencegahan Bunuh Diri Internasional (IASP), setiap tahun 800.000 orang bunuh diri, atau sama dengan satu orang per 40 detik.

Jumlah itu memang cukup menguatirkan, semakin menegaskan kalau bunuh diri memang fenomena gunung es. Apa yang kita lihat di permukaan sebenarnya belum ada apa-apanya dibanding yang tersembunyi di bawahnya.

Bunuh diri menurut Into The Light (sebuah komunitas yang fokus pada upaya pencegahan bunuh diri di Indonesia), nyaris tidak pernah punya alasan tunggal. Depresi, penyakit kronis, putus cinta atau semacamnya hanyalah pemicu dari sebuah alasan yang lebih kompleks. Sayangnya, hal ini kadang tidak disadari banyak orang.

Ketika ada korban, seketika orang banyak yang menyederhanakan masalah sebagai; tidak kuat iman, lemah, gampang menyerah, dan semacamnya. Hal yang tidak diketahui orang banyak adalah kompleksnya masalah yang membelit para korban. Korban pun kadang diberi label sebagai “pelaku” seolah-olah itu semua murni adalah kemauannya. Padahal menurut pada ahli, mereka yang meninggal bunuh diri sesungguhnya adalah korban juga. Entah korban dari struktur sosial yang tidak berpihak pada mereka, atau korban dari sesuatu di dalam diri mereka yang tidak mereka sadari. Sampai kemudian itu menggerogoti dan mendorong mereka melakukan bunuh diri.

Benar bahwa iman dan taqwa adalah obat mujarab yang bisa mencegah seseorang melakukan tidakan bunuh diri, semua juga tahu. Tapi, ada proses yang kadang kita alpa melihatnya. Korban bunuh diri sangat jarang melakukannya secara spontan. Mereka terkadang memberi tanda jauh hari sebelumnya, tapi kadang orang terdekatnya pun alpa membaca tanda itu.

 *****

TINGGINYA PEMBERITAAN SOAL BUNUH DIRI ini juga semacam pisau bermata dua, utamanya bagi keluarga dan kerabat korban serta mereka yang punya kecenderungan untuk bunuh diri.

Media arus utama kadang masih tergagap-gagap dalam memuat pemberitaan tentang kejadian bunuh diri. Maksudnya mau menyebarkan informasi secara detail, tapi mereka terkadang melewati batas yang direkomendasikan.

Media kadang dengan terang-terangan menstigmatisasi korban, memberi label sebagai pelaku dan bahkan menghakimi korban secara tidak langsung dengan judul yang bombastis, kata-kata provokatif dan menyederhanakan masalah dengan memilih satu penyebab tunggal bunuh diri. Ini makin diperparah dengan “baik hati”-nya sebuah media menayangkan data diri pelaku secara gamblang.

Stigma dan kekeliruan pemberitaan ini makin dilengkapi dengan tindakan sebagian warganet Indonesia. Kekeliruan lebih besar kadang dibuat oleh kita, dari menampilkan secara eksplisit foto dan data diri korban sampai menghakimi korban.

Semua ini berpotensi memberi dampak buruk bagi orang-orang yang ditinggalkan korban. Keluarga dan orang terdekatnya akan terus merasa tertekan oleh pemberitaan dan percakapan di media sosial yang menjadikan korban sebagai fokus utama.

Di sisi lain, mereka yang punya kecenderungan bunuh diri juga akhirnya menjadi lebih takut untuk berkonsultasi. Mereka takut akan menjadi korban risak setelah melihat apa yang dilakukan orang-orang pada sang korban. Pun pemberitaan detail dan eksposur berlebihan pada kasus bunuh diri bisa “mengilhami” mereka untuk melakukan hal yang sama. Istilahnya “copy cat”.

Jadi saya pikir memang sepertinya kita sudah harus menebalkan empati pada semua korban bunuh diri. Berhentilah menghakimi seolah yang paling tahu tentang hidup mereka. Sampai saat ini pun saya pribadi masih merasa perlu belajar banyak untuk lebih berempati. Media sosial dengan kecepatannya sangat memungkinkan kita untuk “kepeleset jari” dan mengeluarkan komentar yang tanpa sadar menyakiti orang lain.

Sebagai manusia, tentu kita tidak mau ada sesama manusia yang akhirnya memilih jalan tersebut. Kalau memang tidak bisa membantu langsung, setidaknya hindarilah memicu terjadinya tindakan bunuh diri.

Saya membuat sebuah infografis yang datanya saya ambil dari website Into The Light. Isinya panduan untuk lebih bijak menyikapi pemberitaan tentang bunuh diri, utamanya bagi pengguna media sosial dan para bloger. Semoga saja berguna.

“Hapus Stigma, Peduli Sesama, Sayangi Jiwa“ [dG]