Bekerjalah Dengan Cinta
“Halo, sekarang kamu kerja apa?”
Ini adalah sebaris pertanyaan yang sekarang sering mampir ke telinga saya setiap bertemu kawan lama. Pertanyaan yang mengundang keheningan beberapa detik sebelum saya menjawab: freelance alias kerja serabutan. Setelah itu biasanya akan ada pertanyaan lanjutan lagi untuk mengorek apa sebenarnya freelance atau kerja serabutan macam apa yang saya kerjakan.
Januari tahun ini tepat setahun setelah saya memutuskan untuk melepas status sebagai “karyawan”. Selama 15 tahun saya bekerja di kantor yang sama dengan rutinitas yang sama. Masuk jam 8 pagi dan pulang jam 5 sore selama 5 hari kerja, kadang 6 hari atau bahkan 7 hari tergantung kebutuhan.
15 tahun bukan waktu yang singkat bukan? Saya sampai hapal betul setiap sudut tempat saya kerja dulu, bukan hanya soal fisiknya saja tapi juga tentang potensi intrik yang akan terjadi atau bahkan sudah terjadi. Namanya kantor, tidak semuanya pasti lancar. Gabungan dari orang-orang yang punya latar belakang berbeda tentu menimbulkan dinamika yang sangat beragam. Baik maupun buruk.
5 tahun pertama saya lalui dengan riang gembira. Maklum, anak baru di dunia kerja. Gaji yang tak seberapa tidak menjadi soal, saya bahkan sering sampai menghabiskan waktu di kantor hingga malam hari hanya agar bisa ngobrol berlama-lama dengan teman-teman yang saat itu juga belum berumah tangga.
5 tahun berikutnya saya mulai kritis dan memberontak. Ada beberapa hal yang membuat saya tidak nyaman. Bukan hanya saya, tapi juga teman-teman yang lain. Satu persatu teman-teman seperjuangan pergi, mencari tempat yang lebih nyaman. Tinggallah saya sendiri yang mungkin terlalu naif menganggap semua akan membaik atau mungkin malah terlalu pengecut untuk keluar dari zona nyaman yang sebenarnya tidak terlalu nyaman.
5 tahun terakhir saya sudah apatis. Tidak peduli lagi pada apa yang sebelumnya menjadi keluhan. Satu persatu teman-teman datang mengeluh ke saya, tentang suasana kantor yang tidak nyaman atau tentang management yang tidak adil. Saya hanya tertawa dalam hati. Masa itu sudah saya lalui, sekarang saya sudah terlalu apatis bahkan hanya untuk sekadar memikirkannya. Saya berhenti mengeluh dan bahkan berhenti memaksa kemampuan saya untuk memberikan yang terbaik.
Hingga kemudian sebuah kejadian membuat saya sadar. Saya tidak bisa begini terus. Tidak adil untuk saya dan untuk kantor. Saya tidak bisa selamanya berpura-pura nyaman hanya agar bisa menerima gaji bulanan di awal bulan. Saya tahu saya punya potensi, tapi saya sudah terlanjur mati angin di sana. Gairah yang dulu saya rasakan 5 tahun pertama ternyata sudah lama hilang. Saya bekerja a la kadarnya. Benar-benar tidak adil buat saya dan buat kantor ini, pikir saya.
Akhirnya saya mengambil langkah ekstrem. Meski ada kejadian yang jadi pemicunya tapi saya memberanikan diri untuk keluar dari tempat yang selama ini (seolah-olah) jadi zona nyaman saya. Saat itu saya sendiri tidak punya gambaran akan kerja apa, akan mencari duit dari mana untuk membiayai hidup. Tapi mungkin saya bodoh atau sedikit gila, saya tetap kukuh mengambil jalan itu. Saya mengajukan pengunduran diri.
Setahun kemudian saya masih bertahan ternyata. Dari hasil mengerjakan apa saja, saya masih bisa hidup dan masih bisa menjalankan kewajiban membiayai keluarga. Kadang saya malah merasa keuangan saya sedikit lebih longgar dari waktu ketika saya masih berstatus karyawan. Dan satu hal yang paling penting, saya bisa punya lebih banyak waktu untuk bersantai di rumah atau berjalan ke mana-mana. Meski memang ada juga saat di mana tidak ada pemasukan yang bisa diharapkan.
Sekarangpun saya masih merasa belum mengerahkan semua potensi yang saya punya. Saya masih bisa lebih bagus dari sekarang dan tentu saja saya masih bisa lebih menikmatinya. Bukan sekali dua kali teman-teman di kantor lama mengajak saya bergabung kembali, bahkan salah satu pimpinan juga mengutarakan ajakan yang sama. Tapi, sampai sekarang saya belum punya bayangan akan kembali menjadi karyawan. Entah nanti.
Ketika kamu merasa sudah tidak nyaman di tempat kamu bekerja, ketika yang ada hanya rasa enggan dan gairah bekerja sudah menguap entah ke mana maka adalah lebih baik untuk melangkah ke tempat yang lain atau ke jalan lain. Jangan tinggal dan mengutukinya, apalagi sampai mengumbar keburukan tempatmu mencari kerja. Itu pengecut namanya.
Sebaik-baik bekerja adalah bekerja dengan cinta. Percayalah!
[dG]
Wawwwww!
Saya senang sekali baca ini, keren Daeng.
Buat yang suka menjadi “karyawan” silahkan dibaca artikel ini.
etapi saya ndak bilang kalau jadi karyawan itu gak asyik loh..hihihi
yang penting kerjaan apapun itu harus dinikmati dan dikerjakan dengan cinta.
take it or leave it yah.. jangan setengah2.. tapi kan kegagalan itu … :))
..adalah kesuksesan yang..
ah sudahlah
hahahaha
salutka’ daeng.. Saya begitu juga, tp masih bertopeng pengecut tetap di pekerjaan itu, entah kapan sy keluar..
hmm..kalau memang tidak bisa menikmati pekerjaan setidaknya jangan mengutukinya
apalagi sampe dicerita kejelekannya ke orang lain
😀