Wawancara Dengan Walikota Yang Baru
Berikut ini adalah hasil wawancara dengan walikota yang baru saja terpilih. Beliau ini adalah sebuah pemimpin dari sebuah kota yang terletak di salah satu provinsi di Indonesia.
Tanya [T]: Selamat siang pak, selamat sudah terpilih dan dilantik sebagai walikota yang baru.
Walikota [W]: Selamat siang, terima kasih (sambil tersenyum ramah).
[T]: Apa yang akan bapak lakukan dalam masa 5 tahun kepemimpinan bapak yang segera akan dimulai ini?
[W]: Banyak, banyak sekali hal yang harus saya kerjakan. Tapi saya tekankan di sini, saya tidak hanya akan melakukan pembangunan dari segi fisik saja meski kita tahu kota kita ini semakin hari memang makin berkembang. Kita harus akui itu, banyak proyek megah yang melambangkan kemajuan kota dari segi fisik.
Tapi, saya kira kita harus sepakat dulu. Pembangunan bukan hanya segi fisik saja, ada nilai-nilai sosial budaya yang juga harus ikut dibangun.
[T]: Bisa diterangkan pak maksudnya?
[W]: Jadi begini, kita lihat banyak sekali pembangunan fisik di kota ini kan? Ada mall, ada hotel mewah, ada apartemen dan sebagainya. Tapi, bagaimana dengan kebutuhan dasar warga kota? Kita kekurangan ruang terbuka hijau, kekurangan taman dan public space serta transportasi umum yang belum memadai. Belum lagi kalau bicara pasar tradisional yang semakin hari semakin terpinggirkan oleh banyaknya mini market yang tumbuh di kota kita.
[T]: Jadi bapak akan memperbanyak ruang terbuka hijau?
[W]: Iyya, saya kira ini sangat penting. Cobalah jalan-jalan ke penjuru kota, Anda juga pasti setuju sama saya kalau kota kita memang hampir tidak punya taman yang nyaman. Memang ada taman, tapi kondisinya tidak terawat.
Nah, saya akan mencoba mengkaji kemungkinan membuat taman-taman yang baru. Saya akan coba menggandeng para pengembang yang sudah sibuk membangun mall, hotel atau apartemen itu. Saya akan minta mereka untuk menyumbang agar kita bisa punya taman. Masak mereka hanya mau enaknya saja? Ikutlah menyumbang untuk kota ini.
Proses pembangunan taman juga tidak akan kita buat begitu saja. Kita akan coba menggandeng komunitas atau warga setempat. Tujuannya apa? Supaya makin banyak pihak yang merasa memiliki, ini tentu bisa menjamin kelangsungan taman yang sudah ada. Misalnya, kita mau bangun satu taman di daerah A. Sebelumnya kita bicara dulu sama warga sekitar atau siapapun yang beraktifitas di sekitar taman itu. Kita minta masukan dari mereka, taman seperti apa yang bagusnya kita bangun. Setelah itu kita akan minta semua berpartisipasi untuk ikut menjaga dan merawat taman.
Di kota ini juga semakin banyak komunitas yang tumbuh kan? Nah, itu perlu kita rangkul. Salah satu caranya ya kita beri mereka ruang di taman-taman yang kita buat. Saya yakin mereka mau, mereka kan juga butuh tempat untuk berekspresi, atau ruang untuk berkumpul. Syaratnya ya mereka harus menjaga taman itu. Jadi nantinya satu taman akan dikawal oleh satu komunitas yang isinya bisa gabungan dari warga, perusahaan atau komunitas.
Saya kira kekurangan kita selama ini adalah kita hanya berpikir untuk mengadakan tanpa berpikir bagaimana merawat. Salahnya juga karena kita sebagai pemerintah kadang tidak mau melibatkan warga dalam proses pengadaan itu, jadi ya warga tidak merasa memiliki.
[T]: Jadi intinya, bagaimana melibatkan warga ya pak?
[W]: Iyya, intinya itu. Bagaimana supaya warga bisa ikut terlibat. Membuat banyak ruang-ruang terbuka saya kira sangat mendesak, supaya warga punya banyak alternatif untuk berkumpul dan beraktifitas secara santai dan tentu saja gratis. Apalagi sekarang banyak sekali komunitas. Bayangkan bagaimana asyiknya kalau komunitas-komunitas itu bisa berkumpul dan bercengkerama di taman-taman yang hijau, nyaman dan gratis itu.
[T]: Tadi bapak sempat menyinggung tentang pasar tradisional, itu bagaimana pak?
[W]: Begini, pasar tradisional itu kan bagian dari sejarah sebuah kota. Pasar sudah ada jauh sebelum ada mall dan mini market, sayangnya itu tidak dipelihara. Saya rasa kita berdosa kalau tidak menghargai sejarah panjang kota ini, apalagi sampai menganaktirikan pasar-pasar tradisional.
Saya akan berunding dengan para ahli, mencari cara agar pasar-pasar tradisional ini bisa hidup kembali. Tapi sekali lagi, kita harus melibatkan para pedagang dan pembeli karena merekalah yang beraktifitas di sana. Kita tidak bisa merancang sesuai keinginan kita saja tanpa melibatkan mereka, manusia-manusia yang tiap harinya beraktifitas di sana.
Satu lagi, saya kira sudah saatnya menghentikan ijin bagi mini market di kota ini. Mini market itu sudah terlalu banyak, bahkan sudah masuk ke kampung-kampung, kalau dibiarkan terus kasihan pasar tradisional, kasihan pagadde (warung kecil rumahan) kita, padahal semua harus mendapatkan kesempatan yang sama. Salah kalau kita membiarkan mereka bertarung dengan pemodal besar padahal mereka modalnya tidak seberapa.
[T]: Hal lain yang menurut bapak mendesak?
[W]: Saya lihat kita sudah mulai memasuki masa di mana kemacetan adalah makanan sehari-hari. Ini mencemaskan, kalau tidak segera kita tangani makin lama akan makin menakutkan. Saya kira sudah saatnya untuk menyediakan transportasi publik seperti bus kota.
Intinya, di tahun-tahun pertama ini saya akan mencoba menangani hal-hal kecil dulu. Kemacetan, perijinan ruko dan bisnis, drainase yang belum lancar. Pokoknya hal-hal yang lekat dengan warga dululah. Tidak perlu muluk-muluk memikirkan kota dunia dengan ikon-ikon yang megah, kasihan warga kalau mereka toh tidak nyaman.
Saya juga berpikir sudah saatnya untuk melibatkan mereka dalam semua keputusan-keputusan yang menyangkut hajat hidup orang banyak. Warga adalah sumber daya terbesar kita, mereka harus bisa jadi subjek, jangan hanya jadi objek. Apalagi sekarang saya melihat banyak sekali komunitas-komunitas yang tumbuh di kota ini. Sebagian besarnya adalah anak-anak muda, sayang kalau mereka tidak dirangkul. Kita bisa membangun kota sama-sama, kita bisa saling berkolaborasi dan bertukar ide untuk kemajuan kota. Ingat! Kemajuan bukan hanya dinilai dari proyek bernilai miliaran rupiah saja.
[T]: Statement terakhir pak?
[W]: Saya tahu tidak gampang menakhodai sebuah kota yang besar seperti kota kita ini, tapi saya yakin saya tidak bekerja sendirian. Sekarang saat yang tepat untuk meminta semua elemen bekerja bersama, menciptakan kebijakan-kebijakan yang dirasa sebagai kebijakan bersama, menciptakan produk-produk yang dirasa sebagai milik bersama.
Sudah bukan waktunya lagi pemerintah menghasilkan sesuatu tanpa melibatkan warga. Kekuatan warga dan kekuatan kerjasama kita semua jauh lebih besar dari kekuatan pemodal. Kita hanya butuh kerjasama dan kolaborasi supaya kota ini bisa makin nyaman ditinggali.
[T]: Terima kasih untuk waktunya pak, selamat bekerja semoga semua program bapak bisa sukses.
[W]: Terima kasih, saya butuh dukungan Anda semua.
**dan wawancara imajiner inipun selesai sudah, saya terbangun dari tidur** [dG]
hehehe semoga menjadi nyata
mari meng-aminkan 😀
rajin amat :))
lah kan, saya memang rajin om hahaha
Ooh imajiner .. tapi idealnya begitu ya …. moda dibaca pak walikota 🙂
hihihi buat saya sih idealnya begitu
asemmmm…….hahahaha
asemmmmm…..=))=))=))
meskipun wawancaranya imajiner… kesan bahwa walikotanya agak terlalu muter-muter menjawabnya masih terasa 😛
hahaha..memang dibuat sedemikian rupa agar ciri khas pejabat tidak hilang