Silariang ; Ketika Cinta Tak Beroleh Restu

ilustrasi, foto taken from Google.com

Ketika cinta tak direstui, silariang jadi pilihan terakhir. Tapi, silariang juga kadang berujung maut. Berikut adalah cerita tentang salah satu kronik dalam budaya suku Makassar.


Anda pernah menonton sebuah FTV di stasiun televisi SCTV berjudul “Badik Titipan Ayah”? Cerita tentang bagaimana seorang bangsawan Makassar berusaha menegakkan harga diri keluarga setelah putri kesayangan mereka kawin lari dengan seorang lelaki yang tidak disetujui.

Silariang, atau kawin lari kadang memang menjadi pilihan terakhir dua insan yang sedang dimabuk cinta tapi tidak beroleh restu. Baik restu dari salah satu keluarga, atau restu dari kedua pihak keluarga. Bagi suku Bugis-Makassar, anak gadis yang dibawa lari atau kawin lari tanpa restu dari orang tua berarti aib besar, sebuah perbuatan yang dianggap mencoreng nama baik keluarga dan merendahkan harga diri keluarga besar utamanya keluarga besar si wanita.

Silariang adalah salah satu pilihan yang termasuk dalam perbuatan annyala. Annyala dalam bahasa Makassar berarti berbuat salah, sebuah pilihan salah yang diambil sepasang kekasih ketika cinta mereka tak mampu menembus tembok restu kedua pihak keluarga.

Annyala terdiri atas tiga macam, yaitu :

Silariang atau kawin lari. Kondisi di mana sepasang kekasih yang tak beroleh restu itu sepakat untuk kawin lari atau dalam artian keduanya melakukan kawin lari tanpa paksaan salah satu pihak.

Nilariang atau dibawa lari. Kondisi di mana si anak gadis dibawa lari oleh lelaki, entah karena paksaan atau karena si anak gadis sedang berada dalam pengaruh pelet.

Erang kale. Kondisi di mana si gadis mendatangi si lelaki, menyerahkan dirinya untuk dinikahi meski tanpa restu dari orang tuanya. Biasanya ini terjadi karena di anak gadis telah hamil di luar nikah dan meminta tanggung jawab dari lelaki yang menghamilinya.

Ketiga kondisi di atas termasuk perbuatan annyala, meski yang paling sering terjadi adalah silariang. Ketika si anak gadis menjatuhkan pilihan untuk annyala atau silariang maka seketika itu juga dia dianggap mencoreng muka keluarganya dan menjatuhkan harga diri keluarga besarnya atau disebut appakasirik. Keluarga besar si gadis akan kehilangan muka di masyarakat, sementara si lelaki dan keluarganya yang membawa lari si anak gadis disebut tumasirik atau yang membuat malu.

Si gadis dan pasangan kawin larinya kemudian akan dianggap sebagai tumate attallasa, orang mati yang masih hidup. Mereka telah dianggap mati dan tidak akan dianggap sebagai keluarga lagi sebelum mabbajik atau datang memperbaiki hubungan.

silariang
Potongan adegan dalam Badik Titipan Ayah

Bagi keluarga lingkar dalam si gadis, sebuah kewajiban diletakkan pada pundak mereka, khususnya kepada kaum lelaki. Kewajiban untuk menegakkan harga diri keluarga, sehingga di manapun dan kapanpun mereka melihat si lelaki pasangan silariang itu maka wajib bagi mereka untuk melukainya dengan sebilah badik. Ini adalah harga mati untuk menegakkan harga diri keluarga.

Perkecualian diberikan apabila pasangan tersebut lari ke dalam pekarangan rumah imam kampung. Pasangan tersebut akan aman di sana, karena ada aturan yang menyatakan kalau mereka tak boleh diganggu ketika berada dalam perlindungan imam kampung.

Imam juga yang akan menjadi perantara ketika pasangan silariang akan kembali ke keluarganya secara baik-baik atau disebut mabbajik.

Imam akan datang kepada keluarga si gadis, bernegosiasi dan menentukan waktu yang tepat untuk pelaksanaan acara mabbajik. Ketika kesepakatan sudah terpenuhi, maka imam akan membawa pasangan tersebut datang kepada keluarga besar si gadis sambil membawa sunrang ( mas kawin ) serta denda yang telah disepakati.

Selepas acara mabbajik maka lepas juga annyala yang selama ini tercetak di jidat pasangan kawin lari tersebut. Mereka bisa kembali kepada keluarga besarnya dan dengan demikian harga diri keluarga besar juga dianggap telah ditegakkan. Lepas pula kewajiban kaum lelaki dari keluarga besar si gadis untuk meneteskan darah si lelaki yang telah membawa lari anak gadis mereka.

*****


Bagaimana dengan jaman sekarang? Hukum adat atas pelaku silariang masih tetap sama, meski memang tidak semua kaum lelaki dari keluarga si gadis dibebankan kewajiban untuk menghukum pelakunya dengan badik. Setidaknya lelaki dari keluarga gadis yang dipermalukan sudah berpikir panjang untuk mengambil langkah melukai pasangan silariang tersebut.

Meski begitu, beberapa tahun lalu seorang teman saya pernah dipenjara karena baru saja membunuh tumasirik-nya, seorang lelaki yang membawa lari gadis sepupunya. Sang teman bertemu si lelaki itu di jalan, karena ingat dengan kewajibannya si teman buru-buru kembali ke rumah dan mengambil badik sebelum kembali mengejar si lelaki. Mereka bertemu kembali di jalan, terjadi pertarungan sengit sebelum teman saya berhasil membunuh tumasirik-nya dengan beberapa tusukan.

Baca juga: Balla Lompoa, bekas istana kerajaan Gowa yang tak sebesar sejarahnya

Meski jaman sekarang hukuman adat ataupun sanksi sosial terhadap pelaku kawin lari di masyarakat suku Bugis -Makassar telah mengalami degradasi, tapi tetap saja silariang menjadi sebuah pilihan tabu untuk pasangan yang tidak beroleh restu. Jadi, memang jauh lebih nyaman apabila menikah dengan restu keluarga. Tentu lebih nyaman daripada harus silariang.

Anda setuju? [dG]