Risna dan Kenangan Yang Sulit Beranjak

sumber: Tribunnews
sumber: Tribunnews

Sendiri lagi seperti dahulu. Tanpa dirimu disisiku. Tetes air mataku hatiku pedih. Membasahi undangan pernikahanmu ~ Surat Undangan, Poppy Mercury.

Di antara hiruk-pikuk berita dan debat tentang susunan kabinet kerja dan ibu Susi yang merokok dan bertato, ada satu berita yang menyempil. Berita ini tidak ada hubungannya dengan kabinet kerja atau ibu Susi yang bertato dan merokok itu. Berita ini lebih dekat dengan cerita sinetron yang penuh drama, cerita tentang seorang gadis yang dengan gagah berani menghadiri pernikahan mantan pacarnya selama 7 tahun terakhir.

Dimulai dari sebuah laman berita daring, cerita tentang Risna si wanita gagah berani itu akhirnya menyebar kesana-kemari. Masuk menyela dalam ruang-ruang percakapan warga negeri ini, bahkan kawan yang bermukim di negeri padang pasirpun ikut menyesap berita drama pengantin dari Bulukumba itu.

Awalnya hanya foto dan sepenggal berita dari kejadian tanggal 16 Oktober 2014 itu, tapi entah siapa yang kemudian menyebar video kejadian ketika Risna dengan sisa ketegarannya memeluk sang mantan yang berdiri di pelaminan. Kembali, cerita Risna yang bernama asli Risnawati ini menyeruak di sela-sela berita politik. Videonya disebar kesana-kemari, dikomentari orang dan diliput media massa. Mendadak Risna menjadi buah bibir di usianya yang ke-22.

Kabar terakhir, Risna sudah mulai jengah dengan kejaran media yang berusaha mengorek lebih banyak cerita darinya itu. Risna yang sekarang bertugas sebagai tenaga kesehatan di sebuah pulau di Kecamatan Pulau Sembilan, Sinjai SulSel itu mulai menolak ketika beberapa wartawan hendak mengajaknya mengobrolkan kisah cintanya yang kandas bersama Rais.

Risna dan Rais sudah menjalin kisah cinta selama tujuh tahun, konon dimulai ketika Risna masih berseragam putih biru dan Rais berseragam putih abu-abu. Kisah cinta mereka sudah sempat coba dilabuhkan di pelaminan, tapi Rais dan keluarganya tak mampu memenuhi jumlah angka uang panai yang disebutkan keluarga Risna. Hingga akhirnya Tuhan berkata lain, Rais berlabuh dengan wanita lain dan Risna dengan ketegarannya hadir di pernikahan Rais.

Uang panai memang jadi momok menakutkan bagi sebagian besar anak-anak muda suku Bugis-Makassar. Jumlahnya yang kadang fantastis membuat banyak pasangan muda-mudi terpaksa mundur beberapa langkah dari timeline hidup yang sudah mereka susun bersama. Beberapa ada yang menyerah seperti Rais, tapi ada juga yang berjuang sekuat tenaga demi menebus angka uang panai.

Uang panai sejatinya adalah sebuah cara leluhur orang Bugis-Makassar untuk meninggikan posisi seorang wanita. Dengan uang panai yang semacam uang penebus itu, orang tua tidak serta merta melepaskan anak gadisnya begitu saja, pria yang hendak meminangnya harus pria yang tangguh dan sanggup menjamin kehidupan si anak gadis.

Tapi waktu mengubah esensi uang panai. Orang Bugis-Makassar yang dasarrnya memang punya gengsi tinggi kemudian menjadikan uang panai sebagai etalase gengsi mereka. Anak gadis dengan status sosial tinggi, berdarah biru, berpendidikan tinggi apalagi disempurnakan dengan gelar hajjah takkan bisa ditebus dengan uang panai di bawah angka 50 juta rupiah. Gengsi dong, masak anak orang kaya, bangsawan, sarjana dan hajjah uang panainya hanya 20 juta. Apa kata keluarga besar dan tetangga? Begitulah pikiran orang tua yang menjaga ketat gengsi mereka.

Lalu berubahlah uang panai menjadi semacam syarat yang membebani pria muda dari keluarga tak berpunya. Uang panai juga membebani wanita muda dari keluarga berpunya yang terlanjur menyerahkan hatinya pada pria idaman dari status sosial yang berbeda. Cinta bisa rontok seketika hanya karena nilai rupiah.

Kembali ke Risna. Risna dan Rais jelas bukan satu-satunya pasangan yang menjadi korban uang panai. Banyak sekali pasangan yang senasib dengan mereka, rontok di tengah jalan karena orang tua wanita memasang standar tinggi yang disesuaikan dengan kurs rupiah, harga bahan pokok dan tentu saja status sosial.

Bedanya, korban-korban yang lain tak tersorot media. Mereka memilih diam, meratapi nasib, menangis tak berujung dan menanggung perih tak terperi. Mereka tak berani datang ke pernikahan mantan seperti Risna yang membuat mereka tersorot kamera dan jadi bahan obrolan. Entah, mereka mungkin beruntung karena tak seberani (atau senekat) Risna. Kadang kepengecutan ternyata bisa membawa berkah.

Sedang Risna, wanita yang berani dan nekat ini lantas jadi buah bibir, jadi bahan obrolan dan jadi incaran media lokal. Bukan tak mungkin beberapa hari ke depan media nasional dengan program infotainment mereka akan mengejar Risna dan mengorek cerita di balik kisahnya. Kalau ini terjadi kita hanya menunggu waktu sampai Risna hadir di Bukan Empat Mata bersama Tukul atau mungkin di Hitam Putih bersama Deddy Corbuzier.

Kasihan Risna, keberaniannya jadi bumerang. Kenangan akan rasa sakit ditinggal Rais karena uang panai itu akan jadi kenangan yang sulit beranjak. Arsip cerita tentangnya di dunia maya akan terus tersimpan dan siap mengorek lukanya kapan saja. Keberanian Risna akan membuatnya susah beranjak dari kenangan bersama Rais, butuh keberanian lain yang bisa saja tidak dimilikinya.

Dan kasihan wanita yang jadi istri Rais. Cerita tentang kasih tak sampai antara Risna dan Rais suaminya akan membuatnya tak nyaman sebagai seorang istri. Entah dengan Anda, tapi saya rasanya tak bisa tenang seratus persen mendengar kabar berita ada seorang pria yang kisah cinta tak sampainya dengan pasangan saya terus digunjingkan orang. Apalagi karena pasangan saya nyatanya memeluk sang pria lain itu di pelaminan ketika kami bersanding. Dan foto serta video itu terus diulang-ulang dan disebarkan orang-orang.

Plus kata teman saya, istri Rais akan terus dibebani kesan kalau dia “hanya” pilihan kedua karena harga yang lebih rendah. Kesan yang mungkin tidak akan hadir kalau saja cerita ini tak lantas jadi bahan konsumsi publik.

Risna dan keberaniannya jadi bumerang, jadi bahan bakar untuk kenangan yang sulit beranjak. Mungkin memang sudah saatnya gerakan Menolak Hadir Di Kawinan Mantan digalakkan para pemuda-pemudi Indonesia, mumpung aroma Sumpah Pemuda masih lekat. Maju terus pemuda-pemudi Indonesia! [dG]