Perang Bathin Di Punggung Tukang Ojek

Pangkalan Ojek (foto: Wikipedia)
Pangkalan Ojek (foto: Wikipedia)

Saya bukan tipe orang yang patuh 100% pada aturan lalu lintas, tapi saya juga tidak selalu nyaman melanggar aturan lalu lintas.

“Pak, ada penumpang ta?” Tanya saya pada seorang tukang ojek yang sedang asyik melap motor di pinggiran jalan kompleks perumahan kami. Si bapak tukang ojek menghentikan kegiatannya, menoleh ke arah saya dengan wajah riang dan menjawab, “Tidak ji pak. Mauki diantar?”

“Iye, mauka ke bandara. Bisa?” Saya minta diantar ke bandara. Dan pertanyaan saya dijawab dengan riang oleh si bapak.

Tukang ojek itu namanya pak Syarif, entah sudah berapa kali saya menumpang ojeknya. Sebagian besar memang ke bandara. Rumah saya yang letaknya memang jauh dari bandara membuat saya lebih memilih naik ojek daripada taksi. Biayanya lumayan jauh, bisa sampai 50%. Sebenarnya ada cara lain, naik kendaraan umum yang sambung menyambung tapi itu jelas lebih repot dan lebih memakan waktu. Jadilah ojek sebagai pilihan paling masuk akal.

Pak Syarif ini bisa dibilang tukang ojek langganan, tentu karena sudah beberapa kali saya memanfaatkan jasanya. Kalau mau jujur, saya sebenarnya tidak terlalu nyaman berada di belakang punggungnya dalam perjalanan ke bandara. Penyebabnya karena dia termasuk tukang ojek kategori paling grasa-grusu atau dalam bahasa Makassar disebut kajili-jili.

Tapi entah kenapa, setiap saya hendak ke bandara selalu saja sosoknya yang kecil dengan kulit hitam berkilap itu yang selalu saya temukan. Entah di mana tukang ojek lainnya berada ketika saya butuh jasa mereka. Pernah sih beberapa kali saya menumpang tukang ojek lain selain pak Syarif, tapi setelah itu selalu saja pak Syarif yang saya temukan duluan sebelum saya menemukan tukang ojek yang lain.

Persetan Dengan Aturan Lalu Lintas.

Jadilah sore itu saya kembali duduk manis di belakang punggung pak Syarif yang sibuk bekerja. Motor Honda Revo-nya sudah lebih kumal dari yang terakhir saya ingat. Suara-suara aneh meluncur keluar dari motor itu, dari mesin dan dari badan motor yang sepertinya mulai kendur. Tapi suara aneh itu tidak membuat pak Syarif berhati-hati. Laju motornya masih kencang seperti biasa meski itu berarti ada suara bruk setiap kali motor melintas di jalan yang berlubang.

Pak Syarif memang luar biasa! Dia mungkin mantan anak geng motor, ini kelihatan dari aksinya yang cuma beda tipis dengan pebalap MotoGP ditambah dengan sikap cueknya pada aturan lalu lintas. Ketika menuju bandara pas Syarif seperti biasa memilih satu jalan tikus yang memotong jarak, sayangnya di ujung jalan kecil itu ada dua batang bambu yang dipasang di tengah jalan. Dari jauh terlihat ada tenda terpasang, tanda kalau ada acara di ujung jalan.

Pak Syarif berhenti sejenak, memperhitungkan kemungkinan-kemungkinan. Kalau berputar artinya kita bukannya memangkas jarak tapi malah menambah jarak. Akhirnya setelah beberapa detik berpikir, pak Syarif menerobos palang bambu itu! Di atas boncengan motor saya hanya bisa diam, ikut saja apa kata pak tukang ojek. Akhirnya motor kami memang melintas di bawah tenda pengantin yang terpasang di jalan kecil itu. Bayangkan, sudah jelas-jelas ada tanda menutup jalan tapi tukang ojek saya dengan gagahnya menerobos. Dan ketika kami selesai menerobos tenda itu, dengan gagahnya pula pak Syarif tertawa lebar. Saya hanya bisa geleng-geleng kepala di belakang punggungnya.

Itu baru awal. Berikutnya masih ada kejutan-kejutan dari pak Syarif. Ketika berada di perempatan dengan lampu lalu lintas berwarna merah, dia bukannya ikut berhenti dan antri di belakang pengendara lainnya. Pak Syarif tidak sudi! Dengan cekatan dia naik ke trotoar di sebelah kiri jalan, memotong para pengantri motor dan berhenti di depan mereka! Yak, posisi kami sekarang berada sendirian di depan para pengendara yang menantikan lampu menyala ke warna hijau. Bahkan lampu lalu lintas itu sekarang ada di belakang kami. Pak Syarif tidak menjadikan warna hijau sebagai tanda untuk jalan, pandangannya lurus ke depan dan begitu perempatan sepi dia langsung tancap gas tanpa peduli lampu masih merah atau sudah hijau. Blesss! Kami menerobos perempatan.

Kembali saya geleng-geleng kepala di belakang punggungnya sementara dia kembali tertawa lebar.

Drama belum berakhir. Sepanjang perjalanan ke bandara pak Syarif seperti memamerkan keahliannya meliuk-liuk di jalan raya. Liukannya membuat jantung saya berdebar tidak karuan. Bayangkan kadang dia sampai mengambil jalur kanan dan seperti hendak berciuman langsung dengan kendaraan dari arah depan. Itu belum termasuk liukannya yang membuat beberapa pengendara lain jadi kesal dan membunyikan klakson.

Kembali saya menggeleng-gelengkan kepala, sekarang malah rasanya saya ingin menampar helm si tukang ojek.? Sementara dia kembali tertawa lebar sambil sesekali menceritakan bagaimana penumpangnya selalu memuji caranya membawa motor. Saya betul-betul tidak bisa berkomentar.

Drama itu akhirnya berakhir juga ketika motornya sampai di bandara. Saya masih bersyukur bisa tiba di bandara dengan selamat setelah sekitar 45 menit berada dalam suasana yang mencekam. Setelah menyerahkan uang yang jadi haknya saya segera berlalu, cukup sudah drama hari itu.

Saya bukan orang yang patuh sepatuh-patuhnya pada peraturan lalu lintas. Jujur saya juga sering melanggar aturan, tapi sumpah saya masih lebih sering patuh pada peraturan lalu lintas. Tidak heran, masa 45 menit di belakang punggung pak Syarif adalah masa perang bathin. Perang bathin yang kadang membuat saya hampir saja melayangkan tamparan ke helmnya.

Ah sudahlah, besok-besok entah apa saya mau masuk ke drama yang sama lagi atau tidak. [dG]