Pembangunan Papua Yang Setengah Hati

Satu sisi kota Manokwari, Papua Barat
Satu sisi kota Manokwari, Papua Barat

“Ah, pemerintah di sini taunya hanya ini.” Kata Albert Hisage sambil menjentikkan ibu jari dan telunjuknya. Tentu yang dia maksud adalah uang.

Albert Hisage adalah warga Manokwari yang kami temui di pulau Mansinam. Pria kekar berkulit kelam ini aslinya adalah suku Dani dari Wamena. Dia pindah ke Manokwari setelah direkrut oleh pemerintah Papua Barat sebagai atlet dayung. Pertemuan kami tidak sengaja setelah sama-sama mengunjungi pulau Mansinam di suatu sore yang teduh.

Albert mencurahkan keluh kesahnya sebagai seorang atlet yang pembayaran uang sakunya tertunda. Sebelum pindah ke Manokwari, Abert sebenarnya sudah hidup tenang sebagai atlet di Jayapura. Tapi godaan dari pelatih dayung Papua Barat membuatnya angkat koper ke ibu kota Papua Barat itu. Sayang, jauh panggang dari api. Janji pelatih dayung Papua Barat ternyata bertolak belakang dengan realitas yang dicecap Albert. Uang saku tak lancar, bonuspun tak pernah turun.

Dalam keluh kesahnya, Albert menyesalkan ulah para pejabat daerah yang abai pada kepentingan mereka sebagai atlet. Apalagi Albert dan kawan-kawannya sedang dalam persiapan untuk PON 2016 mendatang. Obrolan kami lalu meluas, termasuk pada situasi pembangunan di seluruh Papua dan Papua Barat.

Bukan rahasia lagi, pembangunan di Papua dan Papua Barat memang seperti sebuah kisah miris yang menyedihkan. Kedua provinsi itu seperti saling bergantian duduk di urutan terbawah provinsi dengan tingkat kesejahteraan terendah di Indonesia. Ironis karena Papua punya banyak kekayaan alam yang tak terperi.

Sebagai gambaran, indeks pembangunan manusia Papua tahun 2002 hanyalah 60.1%, bandingkan dengan daerah Yogyakarta yang jauh lebih kecil dan tidak punya kekayaan alam sebanyak Papua yang mencatat angka 70.8% di tahun yang sama.

Berbagai masalah memang masih terus membelit dua provinsi di Papua, padahal sejak tahun 2001 pemerintah Republik Indonesia sudah menganggarkan dana otonomi khusus lewat Undang-Undang nomor 21 tahun 2001 yang jumlahnya mencapai angka Rp 10.3 triliun sejak tahun 2002 sampai 2007 saja.

Dana otonomi khusus ini rencananya dianggarkan untuk percepatan pembangunan di Papua, utamanya untuk pembangunan infrastruktur yang selalu menjadi hambatan besar di tanah Papua. Tapi apa lacur, dana besar ini ternyata tidak terserap dengan baik sampai ke level terbawah masyarakat Papua. Sampai sekira 10 tahun sejak pertama kali digelontorkan, dana otonomi khusus itu lebih banyak dihabiskan untuk pemekaran wilayah.

Dana untuk memekarkan wilayah baru tentu tidak sedikit. Setidaknya miliaran rupiah akan habis untuk membangun infrastruktur pelayanan dan gedung-gedung pemerintahan baru. Tujuannya mungkin positif, untuk mengoptimalkan pelayanan pada masyarakat dalam ruang yang lebih sempit. Sayangnya, pemekaran wilayah tersebut lebih banyak menghabiskan biaya daripada mendorong percepatan pelayanan dan pembangunan.

Dana Otonomi Khusus dan Niat Yang Setengah Hati

Pemekaran wilayah yang sampai tahun 2007 sudah mencapai 24 kabupaten baru itu sebenarnya bisa saja dilakukan perlahan dengan menggunakan dana APBD Papua dan Papua Barat tanpa harus menggerogoti dana otonomi khusus. Itu teorinya, tapi pada praktiknya pemerintah pusat malah menyetujui pemekaran wilayah tersebut secara bersamaan yang berakibat pada penggunaan dana otonomi khusus yang kurang tepat sasaran.

Sialnya lagi, dana otonomi khusus (otsus) yang berjumlah miliaran rupiah itu tidak dengan mudah mengucur dari pemerintah pusat. Pemerintah daerah Papua dan Papua Barat konon harus menyetor sejumlah uang yang tidak sedikit agar pengambil kebijakan di pusat mau mencairkan dana otsus tersebut. Mereka mengistilahkannya dengan; bawa uang untuk beli uang.

Bersama anak-anak Pulau Doom
Bersama anak-anak Pulau Doom

Dana yang tidak sedikit itu juga kemudian menjadi masalah ketika tiba di tangan pejabat daerah. Kemilau rupiah sangat menggoda dan rentan membuat para pejabat dan pengambil kebijakan itu untuk berbuat curang. Tahun 2013 yang lalu tercatat 44 orang anggota DPRD Papua Barat menjadi tersangka untuk kasus korupsi dana pinjaman pemda Papua Barat sebesar Rp 22 Miliar.

Dana yang seharusnya digunakan untuk kemakmuran warga Papua dan Papua Barat itu kemudian lebih banyak tercecer tidak karuan ke kantong-kantong pejabat, baik pejabat pusat maupun pejabat daerah.

Keseriusan pemerintah pusat dalam memberikan dana otsus memang paling sering mendapat sorotan. Terkesan pemerintah pusat setengah hati untuk mempercepat pembangunan di Papua dan Papua Barat yang luas daerahnya sama dengan 3 kali pulau Jawa. Undang-undang dan instruksi presiden seperti tumpang tindih dan malah tidak menguntungkan masyarakat Papua dan Papua Barat.

Dalam laporan Kompas tahun 2007, Thaha Alhamid (Sekertaris Jenderal Presidium Dewan Papua) dengan keras mengkritik kebijakan pemerintah pusat yang dinilainya hanya menguntungkan para pendatang dan pejabat daerah tertentu serta membiarkan orang asli Papua tetap tertinggal.

Melihat Papua dari kacamata biasa memang sulit. Papua berbeda dan unik dibandingkan wilayah lain di Indonesia, tentu tak elok menetapkan standar yang sama untuk daerah yang unik ini. Papua dan Papua Barat sampai sekarang memang masih terus saja tertinggal, mungkin salah satunya karena pemerintah pusat memang hanya setengah hati membangun Papua.

Atau jangan-jangan Albert Hosage benar? Pemerintah hanya mau uangnya saja tanpa mau repot memikirkan warganya? [dG]