Para Pengemis Di Kota Kita
Saya tak hendak membuat tulisan yang nantinya akan menerbitkan pertanyaan: jadi kita perlu memberi pengemis itu uang atau tidak?
Suatu malam saya lewat di sekitar daerah Panakkukang dan berhenti di sebuah lampu merah di perempatan jalan Adhyaksa dan jalan Pengayoman. Seorang anak kecil sekisar 10 tahun menggendong seorang bayi yang mungkin baru berumur 2 tahun. Pakaiannya lusuh, sama lusuhnya dengan pakaian si bayi di gendongannya. Wanita kecil itu mendekati sebuah mobil yang berhenti tepat di samping saya, dia menyodorkan tangannya ke kaca jendela mobil yang tidak terbuka. Saya membuang muka, tidak sanggup menyaksikan adegan itu.
Jarum jam sudah menunjukkan pukul 22 lewat. Udara dingin malam mulai menggigit, apalagi karena hujan baru saja pergi. Tanah masih basah. Dalam hati saya mengumpat, memaki orang tua si anak yang dengan teganya membiarkan anaknya berkeliaran di jalan jam segitu, di udara dingin pula. Saya tahu mereka mencari uang, menyambung nafas di tengah kerasnya hidup yang kian menghimpit. Tapi orang tua macam apa yang membiarkan anaknya mengemis hingga larut malam?
Anda mungkin pernah berada dalam cerita yang sama. Menemukan pengemis kecil yang tetap berkeliaran di jalanan jam segitu. Andapun mungkin pernah seperti saya, memaki dan menyalahkan orang tua mereka yang membiarkan anaknya di jalanan sampai jauh malam. Bahkan mungkin Anda juga pernah seperti saya, menyalahkan para pengemis itu yang mengotori kota dengan tubuh lusuh dan tangan mereka yang menengadah.
Sampai kemudian beberapa hari yang lalu saya menemukan tulisan yang bercerita tentang pengemis dari perspektif yang berbeda. Aan Mansyur di laman pribadinya menanggapi dua tulisan tentang pengemis yang dimuat di koran lokal. Kedua tulisan itu ?menurut Aan- adalah tulisan yang menempatkan para pengemis dalam posisi yang tidak berimbang, menghakimi mereka tanpa mencari tahu alasan di balik ke-pengemis-an mereka.
Cukup lama saya meresapi tulisan itu sampai akhirnya saya mengangguk mengiyakan. Selama ini kita menganggap para pengemis di kota ini sebagai orang-orang yang malas dan tak hendak mencari jalan lain untuk menyambung hidup. Tapi, kita juga kadang lebih malas untuk mencari tahu apa sebenarnya alasan mereka turun ke jalan dan menengadahkan tangan. Kita lebih banyak membenarkan pendapat yang sudah lebih dulu terbangun tentang para pengemis itu.
Saya agak kurang yakin kalau ada pengemis yang memang akhirnya memilih profesi sebagai pengemis karena itu adalah pilihan utama. Setidaknya di awal ketika mereka baru mau memulai karir. Pengemis mungkin sama dengan karyawan toko yang awalnya terpaksa memilih pekerjaan itu karena tidak ada pekerjaan lain yang sesuai dengan ijazah mereka. Lama kelamaan mereka mulai nyaman dengan pekerjaan mereka dan tidak berniat atau tidak melihat peluang lain untuk mengganti pekerjaan. Jadilah mereka menekuni pekerjaan sampai mungkin akhir hayat mereka. Bedanya, karyawan toko memberikan jasa mereka kepada para pelanggan sehingga posisi mereka lebih terhormat daripada para pengemis yang dianggap tidak memberikan jasa apa-apa bahkan hanya menyusahkan pemerintah dan warga kota.
Saya juga bisa saja salah karena toh saya juga sama malasnya dengan sebagian orang. Saya malas untuk mencari tahu sendiri, membuat penelitian sendiri atau minimal bertanya sendiri kepada para pengemis. Saya hanya menulis berdasarkan persepsi saya tentang pengemis.
Dan persepsi saya itu juga yang membawa saya pada sebuah pikiran kalau sebenarnya kita dikelilingi oleh para pengemis. Bukan hanya mereka yang ada di perempatan atau mengetuk pintu pagar kita tapi juga para pengemis yang memasang foto mereka di pinggir jalan, di pohon, di tiang listrik atau di perempatan. Mereka juga mengemis, mengemis suara, memohon-mohon supaya kita yang melihat posternya jatuh iba atau bersimpati dan sudi memilih mereka di pemilihan umum nanti.
Hanya pakaian dan kalimatnya saja yang berbeda. Pengemis asli akan berpakaian lusuh selusuh-lusuhnya, rambut mereka merah terbakar matahari, kulit mereka legam berlapis debu dan wajah mereka memelas. Dari mulut mereka akan terlontar kalimat yang kira-kira begini: pak, kasihan pak. Belum makan pak dari tadi. Memang ada beberapa varian dari kalimat ini, disesuaikan dengan budaya setempat atau target yang dituju.
Sementara itu ada pengemis yang berkamuflase dalam balutan pakaian mengkilap dan wajah rupawan. Mereka tentu tidak seperti pengemis yang kita kenal karena pengemis yang lain ini lebih pandai menyembunyikan maksudnya. Kalimat merekapun lebih beragam dan cenderung membuai. Bersama mensejahterakan rakyat, berjuang untuk rakyat, semua untuk rakyat dan lain sebagainya. Kemasannya beda, tapi buat saya intinya sama: mengemis, memohon belas kasihan dan menarik simpati. Dan oh ya, bisa jadi ujungnya juga sama: mengumpulkan rupiah demi menyambung hidup.
Dan kalau ada pengemis yang tak jujur maka seperti kata Aan, bisa jadi mereka menirunya dari para pejabat. Kalau ada pengemis yang menggunakan baju takwa untuk menarik simpati maka mungkin mereka juga menirunya dari para pejabat yang juga rajin menjual simbol agama untuk kemakmuran mereka dan golongannya. Bukankah dengan tiba-tiba kita bisa melihat para pengemis itu dalam bentuk yang berbeda? Bentuk yang mungkin selama ini tidak pernah kita bayangkan atau sulit kita percayai. Tapi ketika semua tujuannya sama maka bentuk tidak lagi menjadi penting bukan? Pengemis tetaplah pengemis dan penipu juga tetaplah penipu.
Orang-orang pintar menyebut pengemis sebagai penyakit masyarakat. Mereka ditangkapi dalam operasi yang disebut sebagai operasi penyakit masyarakat. Kalau mereka penyakit, apakah penyembuhannya sesederhana itu? Lalu kenapa penyakit itu masih terus ada sampai sekarang? Kenapa bukan akar penyakitnya yang dicari dan dimusnahkan? Mungkin pemerintah kota tidak atau belum terganggu dengan penyakit itu sampai-sampai mereka belum merasa perlu mencari tahu akar masalahnya. Membersihkan permukaan dirasa sudah cukup meski nantinya penyakit itu datang lagi. Kalau sudah begini siapa yang lebih malas?
Saya tak hendak membuat tulisan yang nantinya akan menerbitkan pertanyaan: jadi kita perlu memberi pengemis itu uang atau tidak? Bukan, bukan itu tujuan saya menulis. Saya hanya ingin kita tahu kalau pengemis-pengemis itu sesungguhnya adalah alarm bahaya yang mengingatkan kita bahwa memang ada sesuatu yang salah di sekitar kita. Kalau memang mereka penyakit maka mugnkin kitalah yang menyebabkan penyakit itu ada. Mungkin [dG]
Di salah satu kabupaten di Jawa Tengah, para pengemis ini ditampung di dinas sosial dan dibina. Sebagian dari mereka yang masih punya keluarga, dikembalikan ke keluarganya. Memang ada yg keluarganya berkecukupan,dan mengemis adalah sebagai profesi. Tapi sebagian lagi benar2 hidup dengan kondisi yang memprihatinkan.
Jadi di kabupaten itu, jalanan bersih dari pengemis, duh enak banget kalau lewat sana.
Wah kabupaten apa tuh?
Sepertinya menyenangkan sekali 🙂
Suatu malam, di jalan perempatan Pengayoman-Toddopuli, seorang anak menggendong bayi dalam pakaian kumal (sepertinya pengemis) memesan martabak termahal disudut jalan itu.. Disuruh ibunya yang menunggu di seberang jalan.. Saya memesan martabak yang biasa saja.. Iriku…