Merajut Kebersamaan Dari Sebatang Jarum

Asyik merajut
qui qui Makassar, asyik tenggelam dalam rajutan

Sore itu di Fort Rotterdam saya melihat sendiri bagaimana mereka para perajut itu merajut keceriaan dari benang dan jarum rajut mereka.

Sore di Fort Rotterdam. Matahari bersinar garang, benteng peninggalan jaman Gowa Tallo itu tersiram cahaya matahari. Di salah satu sudut benteng itu sekumpulan wanita muda duduk berkeliling di atas hamparan terpal plastik dan spanduk bekas. Di tengah lingkaran ada beberapa kantongan plastik berisi makanan kecil, kue tradisional dan benang rajut.

Di luar lingkaran beberapa lelaki muda duduk bergerombol. Mereka hanya mengamati wanita-wanita itu yang dengan hebohnya terus saja bertukar cerita. Seorang dari lelaki di luar lingkaran sesekali ikut dalam percakapan para wanita itu.

Tak berapa lama seorang wanita muda lainnya datang. Dia adalah ibu dari seorang anak, ibu muda tepatnya. Dengan penuh semangat dia memamerkan dua jarum rajut yang baru didapatnya dari Belanda. Teman-teman yang lain menimpali, berebutan melihat salah satu jarum yang sekilas bentuknya seperti sikat gigi. Anna nama si wanita yang baru datang, dia juga lebih akrab disapa NyomNyom.

Selanjutnya obrolan wanita-wanita itu berada di seputar jarum, benang rajutan dan teknik rajutan. Mereka bertukar cerita tentang beragam benda rajutan yang sedang mereka kerjakan. Tak berapa lama wanita lain ikut bergabung dan pembicaraan tentang rajut merajut semakin ramai.

Asyik merajut
Asyik merajut

Itu sepintas cerita tentang piknik komunitas merajut di Makassar. Mereka adalah komunitas yang terbentuk dari pertemuan intens beberapa ibu-ibu muda yang senang merajut. Awalnya berpindah-pindah tempat sebelum akhirnya mereka sepakat untuk berkumpul di Kampung Buku, sebuah rumah yang pintunya selalu terbuka bagi siapa saja yang ingin berkunjung.

Setiap hari Minggu sore mereka berkumpul di sana, tepatnya di Perumahan CV Dewi Jalan Abdullah Daeng Sirua. Tepat di samping kantor lurah. Pertemuan itu bersifat cair, mereka berbagi ilmu merajut dan sama-sama belajar teknik baru. Sekali sebulan, tepatnya di minggu kedua mereka akan berkumpul di Fort Rotterdam. Mereka menyebutnya piknik merajut. Piknik sambil tentu saja tetap mengobrol seputar dunia merajut.

Tidak semuanya wanita. Salah satu yang aktif dalam komunitas itu adalah seorang pria muda bernama Barack. Pria muda berambut gondrong itu sering saya dapati asyik dengan benang dan jarumnya. Dia sering nampak serius menyelesaikan rajutannya dengan sebuah kertas kecil bertuliskan kombinasi rajutan. Sepintas itu seperti kode yang hanya dipahami mereka yang senang merajut.

Awalnya agak aneh bagi saya mengingat tampang Barack yang macho. Mendengar kata merajut saya langsung terbayang wanita tua berkonde yang duduk di kursi goyang dan menghabiskan waktu pensiun dengan membuat sweater atau syal. Barack membuyarkan pikiran saya, dia adalah anomali dalam istilah merajut.

Tapi kenapa dia sampai tertarik untuk merajut? Lelaki itu tersenyum dan dengan jujur dia mengakui kalau awalnya itu hanya modus. Di awal terbentuknya, komunitas merajut Makassar memang diisi wanita-wanita muda dan ibu-ibu muda. Jelas ini adalah daya tarik bagi lelaki muda. Lelaki mana yang tidak senang berada dalam kerumunan wanita? Itu motivasi awal dari Barack rupanya.

Barack (paling depan kedua dari kanan) di antara para perajut

Tapi seiring berjalannya waktu, Barack menemukan kenyamanan dari aktifitas merajut. Makin lama dia makin jatuh cinta sambil tentu saja makin mahir menciptakan beragam benda dari benang rajutan. Barack juga menemukan keuntungan lain dari merajut.

” Saya bisa mengurangi rokokku. Kalau sedang fokus merajut, saya bisa tidak merokok berjam-jam” Begitu katanya. Ternyata secara tidak langsung merajut juga membuatnya melupakan rokok.

Seperti halnya komunitas lainnya, komunitas perajut Makassar yang menyebut diri mereka Qui-Qui ( merajut dalam bahasa Makassar) berjalan dengan niat dasar untuk berbagi. Mereka tidak terlalu berpikir tentang materi atau keuntungan dari hasil rajutan mereka. Meski begitu mereka juga mengaku mendapatkan kepuasan batin ketika berhasil membuat sebuah rajutan yang bisa dihadiahkan ke orang lain. Sebuah benda yang dibuat dengan tangan sendiri memang selalu memberi kepuasan lebih karena usaha dan cerita di baliknya.

Sore itu di Fort Rotterdam saya melihat sendiri bagaimana mereka para perajut itu merajut keceriaan dari benang dan jarum rajut mereka. Beberapa obrolan mereka sulit saya cerna, utamanya ketika mereka menyebut beberapa istilah teknik merajut, tentang benang yang unik dan susah didapatkan atau tentang jarum rajut yang harganya bisa sampai ratusan US dollar di internet. Terlihat sekali semangat yang mengalir dari benang dan jarum yang menyatukan mereka.

Bila punya waktu, sesekali datanglah ke piknik mereka dan anda akan merasakan semangat yang membara. Semangat berbagi lewat jarum dan benang. Mereka merajut keceriaan dari sebatang jarum. Ah, indahnya.

[dG]