Menimbang-nimbang Calon Walikota Makassar
Dari jauh saya hanya bisa mengamati serunya perebutan kursi walikota Makassar tahun ini. Mencoba mengira-ngira siapa yang akan naik menjadi walikota Makassar.
TAHUN INI, MAKASSAR PUNYA PERHELATAN YANG HEBOH. Warga Makassar akan memilih walikota dalam pemilihan kepala daerah serentak 27 Juni nanti. Sebagai anak Makassar yang sedang merantau, saya agak merasa ketinggalan berita tentang proses Pilwalkot ini.
Sampai kemudian saya mencoba untuk mencari tahu tentang Pilwalkot Makassar, yah minimal agar tidak ketinggalan berita. Pekan kemarin sebenarnya saya sempat mendapat sedikit update tentang Pilwalkot ini dari teman yang kebetulan berkunjung ke Jayapura. Perkembangan itulah yang kemudian membuat saya penasaran dan mencoba mencari tahu lebih banyak.
Jadi, ternyata Pilwalkot Makassar kali ini hanya diikuti dua pasang calon yaitu: pasangan petahana Danny Pomanto yang berpasangan dengan Indira Mulyasari, kader Partai Nasdem. Danny Pomanto resmi bercerai dengan wakilnya yang sudah hampir empat tahun ini mendampinginya sebagai walikota: Syamsul Rizal atau akrab disapa Daeng Ical.
Sebagai pesaing, muncul pasangan Munafri Arifuddin (akrab disapa Appi) yang berpasangan dengan Rahmatika Dewi (akrab disapa Cicu).
Awalnya saya kira ada tiga pasangan calon yang akan maju, karena sebelumnya Syamsul Rizal – sang wakil walikota petahana – juga terlihat sibuk untuk mencalonkan diri. Selain itu berbulan-bulan sebelumnya ada juga nama Irman Yasin Limpo – adik gubernur SulSel – yang menyatakan berniat untuk maju sebagai calon walikota Makassar. Di perhelatan sebelumnya, Irman (yang akrab disapa None) memang sudah maju sebagai salah satu calon walikota namun kalah suara dengan pasangan Danny Pomanto – Syamsul Rizal kala itu.
Tapi ternyata hanya ada dua pasang calon walikota yang maju. Seperti Pilpres 2014 lalu, bila pasangan hanya ada dua maka pertarungan tentu akan lebih seru. Polarisasinya lebih terasa karena akibatnya pilihannya hanya tiga: A, B atau tidak sama sekali.
Keseruan ini ternyata memang benar-benar jadi kenyataan. Setidaknya itu yang saya tangkap dari media sosial dan beberapa media daring. Saya baru tahu kalau pasangan Appi – Cicu melaporkan pasangan Danny – Indira ke PT TUN atas tuduhan memanfaatkan kekuasaan untuk berkampanye. Pembagian smartphone kepada RT/RW se kota Makassar dituduh sebagai cara untuk mendulang suara. Gugatan ini dikabulkan dan pencalonan pasangan Danny – Indira (mereka menggunakan akronim: DIAmi) terancam dibatalkan oleh KPU.
Tapi KPU juga tidak tinggal diam. Mereka mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung untuk membatalkan keputusan tersebut. Di sisi lain, pasangan DIAmi menganggap langkah itu sebagai cara untuk menjegal pencalonan mereka. Sebelumnya, DIAmi sudah gregetan duluan setelah 10 partai politik ramai-ramai mendukung pasangan Appi – Cicu sehingga mereka harus maju lewat jalur independen.
Keputusan ini sempat membuat Danny Pomanto berkeluh kesah karena dianggapnya sebagai cara untuk menjegal pencalonannya di Pilwalkot Makassar 2018.
“Semua ketua parpol di Sulsel dan Makassar mendukung saya. Ini kan aneh, karena mereka mendukung saya, tapi tidak ada dukungan dari pengurus partai di pusat. Ada orang yang tidak mau saya maju di panggung Pilkada Makassar 2018,” kata Danny Pomanto seperti yang ditulis oleh Kompas.com.
*****
SEPINTAS, SAYA LIHAT PERTARUNGAN dua pasang calon ini begitu seru. Seru karena sepertinya penuh dengan intrik yang melibatkan dendam, kisah masa lalu dan tentu saja campur tangan orang besar di belakangnya. Sepintas saya melihatnya seperti Game of Throne dalam kehidupan nyata, ha-ha-ha-ha.
Eh saya cuma bilang sepintas ya, karena saya sedang tidak ada di Makassar dan tidak sedang mengikuti detik per detik perkembangan Pilwalkot Makassar. Jadi bisa saja itu hanya sebatas asumsi saya, dan kenyataannya tidak seseru itu.
Saya lebih tertarik melihat kapasitas kedua pasangan calon ini, utamanya calon walikota. Saya tertarik membandingkan bagaimana kedua sosok itu punya kapasitas untuk memimpin kota Makassar, menjadi walikota dan orang paling penting di kota terbesar di Indonesia timur itu.
Danny Pomanto, sejak awal saya termasuk orang yang rajin mengkritisi beliau. Dari sejak masih menjadi calon hingga akhirnya menjabat sebagai walikota. Kalian bisa cek di blog ini, ada banyak tulisan saya yang intinya mengkritisi beliau, baik secara langsung ataupun dengan nada sarkas.
Apakah saya membenci Danny Pomanto? Saya akan dengan tegas bilang: TIDAK! Saya tidak benci beliau, saya mungkin hanya terlalu mencintai kota Makassar, dan karenanya begitu bersemangat ingin melihat bagaimana kota ini menjadi lebih baik. Menjadi kota yang lebih ramah pada manusia, bukan hanya pada mesin.
Di satu sisi saya melihat sosok Danny Pomanto bukanlah sosok yang jelek, tapi juga tidak sebombastis seperti yang biasa dia gaungkan. Saya harus mengakui beberapa programnya terbukti berjalan dengan baik. Ada perbaikan di infrastruktur, ada kemajuan di sistim dan bahkan saya pernah mendengar sendiri pedagang Pasar Terong yang mengakui kalau selama ini baru Danny Pomanto yang serius membersihkan kanal di tepi Pasar Terong.
Bukti lain, Pantai Losari yang sekarang sudah berubah dan jadi lebih nyaman. Jauh dari pengamen dan preman yang biasanya bikin pengunjung tidak nyaman. Parkir pun sudah lebih rapi dan ada kapal yang rajin memunguti sampah di lautan sekitar Pantai Losari.
Tapi, tentu saja dia tidak sempurna. Beberapa programnya masih terlalu mengawang-awang, bombastis dengan narasi yang berlebihan. Salah satunya Petepete Smart yang dia klaim membuat orang Jepang tercengang. Sayangnya, bertahun-tahun setelah peluncurannya, Petepete Smart itu tidak juga hadir secara massal di jalan raya kota Makassar, dan tentu saja tidak benar-benar membuat orang Jepang tercengang.
Baca lagi: Petepete Smart, Lambang Smartnya Kota Kami.
Kekurangan besar Danny Pomanto – menurut saya – adalah kegagalannya membangun komunikasi yang baik. Utamanya dengan warga. Ucapannya yang kadang terlalu bombastis di satu titik justru membuat orang eneg. Padahal, kalau saja dia mau lebih humble saya yakin orang yang terpesona akan jauh lebih banyak. Toh sekali lagi, dia tidak jelek-jelek amat.
Lalu bagaimana dengan pesaingnya, Munafri Arifuddin?
Jujur saya tidak tahu banyak tentang dia. Selain bahwa dia seorang pengusaha, CEO PSM Makassar dan menantu pemilik jaringan bisnis Bosowa Grup, tidak ada lagi hal lain yang saya tahu tentang Appi.
Buat saya ini memang kejutan, dia tiba-tiba muncul meroket di antara nama-nama politisi senior kota Makassar yang sebelumnya ramai digadang-gadang bakal jadi calon walikota. Mungkin seperti Danny Pomanto di tahun 2014. Bukan politisi, tidak terlalu terkenal tapi kemudian meluncur menjadi calon walikota (dan akhirnya menang).
Apakah Appi punya kapasitas menjadi walikota Makassar? Ini pertanyaan yang susah saya jawab. Saya tidak tahu apa-apa tentang Appi dan saya tidak bisa sok tahu menjawab. Kalau ditanyakan kepada tim pendukungnya, maka jawabannya pastilah: SANGAT BISA. Tapi, kalau ditanyakan kepada tim pendukung Danny Pomanto, maka jawabannya pasti: TIDAK BISA.
Pertanyaan ini mungkin akan lebih mudah saya jawab kalau saja saingan Danny Pomanto adalah Daeng Ical atau Irman Yasin Limpo misalnya. Toh kedua orang itu sudah lama berada di pusat pemerintahan, jadi minimal track record di bidang kepemerintahannya lebih gampang ditelusuri.
Apapun hasilnya nanti, saya tertarik untuk mengamati terus perkembangan Pilwalkot Makassar ini. Karena seperti yang saya bilang, ini mirip dengan Game of Thrones versi nyata. Ada intrik, strategi dan tentu saja persaingan. Asal jangan sampai berujung pada pertumpahan darah, ih amit-amit!
Anyway, selamat memilih walikota untuk teman-teman di Makassar. Mau tetap dengan walikota lama atau mau ganti walikota, terserah kalian. Asal jujur, tidak main curang dan sesuai dengan kata hati. Good luck![dG]