Mencari Walikota
Makassar sedang panas, berbagai bentrokan mewarnai aksi unjuk rasa menolak kenaikan BBM. Tapi, kenapa pak walikota yang seharusnya jadi panutan tidak turun menenangkan warga? Inilah yang ditanyakan banyak orang.
Ini pertanyaan buat Anda yang sudah punya anak, tapi tentu saja boleh dijawab oleh Anda yang belum punya anak. Pertanyaannya begini: kalau anak-anak Anda berkelahi di dalam rumah, apa yang Anda lakukan sebagai seorang ayah/ibu? Memisahkan mereka atau membiarkan saja sampai mereka capek sendiri dan mungkin salah satu dari mereka akhirnya terluka bahkan mungkin kehilangan nyawa?
Entah dengan Anda, tapi kalau saya yang ditanya maka saya memilih jawaban pertama. Saya akan melerai mereka, mendinginkan emosi mereka lalu mengajak mereka duduk tenang bersama-sama dan mencari tahu duduk masalahnya. Ini tentu jawaban ideal, meski pada prakteknya tidak semua orang tua bisa begitu. Tapi saya kira opsi melerai selalu jadi opsi pertama. Bukan begitu?
Nah pertanyaan kedua saya; dalam sebuah kota siapakah yang berperan sebagai kepala keluarga? Bukankah peran itu biasanya disematkan kepada walikota? Beliaulah yang memegang peranan penting sebagai pengambil keputusan tertinggi untuk segala sesuatu yang berurusan dengan kemaslahatan rumah tangga bernama kota. Persis seperti peran seorang Ayah di rumah.
Rumah tangga besar bernama Makassar baru-baru ini kembali riuh jadi pembicaraan. Pasalnya bermula dari beberapa aksi anak-anak mahasiswa yang menyuarakan aspirasi menolak kenaikan harga BBM. Aksi turun ke jalan ini kemudian diwarnai dengan aksi yang menjurus keras dan akibatnya terjadi bentrok antara mahasiswa dengan aparat keamanan.
Ketika aksi semakin memanas, aparat bahkan masuk ke dalam kampus dan merusak barang milik kampus dan mahasiswa. Aksi ini dikecam banyak pihak, apalagi karena pada kasus penyerangan ini beberapa wartawan juga sempat jadi korban kebrutalan anggota polisi.
Suasana panas di kota Makassar tidak berhenti sampai di situ. 17 November 2014 sekelompok “warga” (sengaja diberi tanda kutip) menyerang kampus UNHAS. Akibatnya belasan motor, sepeda dan bahkan masjid kampus dirusak dan dibakar.
Kejadian-kejadian ini diibaratkan sebagai perkelahian antar anak-anak dalam satu rumah yang sama. Anak yang lebih tua memukuli adiknya, tapi sang adik tidak mengalah begitu saja dan balas memukul. Akhirnya terjadi perkelahian yang membuat suasana rumah berantakan. Pada titik inilah Ayah sang kepala rumah tangga harusnya datang melerai dan menenangkan anak-anaknya yang sedang emosi itu.
Idealnya seperti itu.
Tapi apa yang terjadi di Makassar? Dalam beberapa kejadian berbuntut kerusuhan tersebut walikota sebagai orang tua dalam rumah tangga bernama kota ini sama sekali tidak terlihat turun melerai atau menenangkan anak-anaknya yang sedang bertikai. Pak walikota memang sempat memberikan pernyataan keprihatinan di sebuah koran lokal, di situ juga beliau memberikan informasi tentang pertemuan dengan pejabat-pejabat camat membahas antisipasi demonstrasi menolak kenaikan BBM tersebut.
Tapi, cukupkah hanya dengan pernyataan prihatin dan rapat dengan camat?
Kita sudah cukup lama hidup dalam masa pemerintahan presiden yang cukup lancar berkata “saya prihatin.” Pun kita sudah cukup kenyang dengan berita rapat dari pemerintah mencari solusi untuk satu masalah, tapi kita masih lapar akan pemerintah yang mau turun ke lapangan melihat langsung suasana yang terjadi.
Sayangnya dalam beberapa kejadian di kota Makassar ini warga belum melihat tindakan nyata pak walikota untuk sekadar turun melihat langsung apa yang terjadi, syukur-syukur kalau bisa menenangkan pihak yang sedang diselimuti amarah walaupun mungkin berat karena bisa membahayakan diri beliau.
Mungkin karena itulah sampai-sampai beberapa pengguna media sosial twitter ramai-ramai nge-tweet dengan tagar #kemanawalikota. Mereka tentu rindu melihat walikota yang adalah orang tua, penentu kebijakan dan pimpinan dalam kota ini turun melihat keadaan panas di dalam kotanya sendiri. Mereka pasti rindu melihat sang bapak turun merangkul mereka yang sedang panas, menenangkan mereka dan memberi jaminan kalau kotanya aman-aman saja.
Sialnya karena beberapa hari kemudian tersiar kabar kalau wakil gubernur Kepulauan Riau terjebak dalam tembak-menembak antara Brimob dan TNI di Kepualuan Riau. Kalau pak Wagub Kepri saja mau mengambil resiko berada di tengah-tengah konflik untuk menenangkan suasana itu kenapa walikota Makassar tidak?
Atau mungkin saja pak Walikota Makassar pernah turun langsung menenangkan warganya yang sedang bertkai, tapi wartawan saja yang malas meliputnya. Bisa jadi kan? Mungkin saya saja yang tidak tahu.
Apapun itu saya berharap Makassar tetap aman tenteram meski suasana sempat memanas. Kali ini kita mungkin kehilangan walikota di tengah-tengah suasana panas itu, tapi bisa jadi besok kita akan melihat sendiri aksi beliau menenangkan warga dengan kebijakan-kebijakan pro rakyat yang tak hanya memanjakan investor berkantung tebal. Karena kita butuh panutan, bukan orang yang menjual kota kepada investor.
Jangan sampai publik Twitter makin lama makin rajin mencari walikotanya. [dG]