Kontribusi Warga Buat Kota

Ini yang mau dibiarkan? Ih bukan kota dunia! (foto: Iqbal Andalancu)
Ini yang mau dibiarkan? Ih bukan kota dunia!
(foto: Iqbal Andalancu)

Karena pembangunan kota tak sepenuhnya jadi kewajiban pemerintah.

Sebuah mobil SUV berwarna gelap berhenti beberapa meter di depan saya. Lampu lalu lintas berwarna merah, membuat semua kendaraan harus berhenti dan memberikan kesempatan pengendara dari jalur lain untuk berjalan. Jendela mobil SUV di depan saya terbuka, tangan ramping berkulit bersih terulur dari dalam mobil. Sebuah gelas air mineral yang tadinya berada di ujung tangan itu terlepas jatuh ke aspal yang panas. Tangan itu lalu ditarik kembali masuk ke dalam mobil, lalu kaca SUV itu dinaikkan kembali.

Saya menggeram dalam hati. Entah pikiran apa yang berkecamuk dalam dada dan kepala saya saat itu. Udara panas Makassar semakin terasa panas melihat adegan di depan mata itu.

Kejadian seperti itu bukan sekali dua kali saya lihat. Entah sudah berapa kali saya dapati manusia yang berada dalam mobil dengan seenaknya membuang sampah di jalan. Memang hanya sampah kecil seperti gelas bekas air mineral atau bungkus cemilan, tapi tetap saja kejadian-kejadian seperti itu membuat dada saya bergemuruh.

Di waktu lain saya juga sering mendapati orang-orang yang seenaknya membuang sampah di tempat-tempat umum. Di anjungan Pantai Losari, di Benteng Rotterdam atau di tempat-tempat lainnya. Mereka tanpa rasa berdosa membuang sampah sisa makanannya ke jalan, ke atas beton atau ke rumput. Benar-benar tanpa rasa berdosa.

Suatu kali dengan sedikit bersungut-sungut saya memunguti sampah-sampah plastik yang buat saya sudah benar-benar mengganggu pandangan. Sampah-sampah itu saya kumpulkan dan saya taruh di tempat yang semestinya. Mungkin sebagian orang melihat aneh ke saya, mungkin mereka bahkan melihat saya sebagai orang yang ingin dipuji. Tapi saya tidak peduli, saya lebih peduli pada perasaan saya yang seperti tersiksa melihat sampah-sampah itu berserakan tak menentu.

*****

Di kesempatan lain saya berhenti di belakang garis zebra cross. Lampu lalu lintas menyala merah. Beberapa pengemudi motor dan mobil seperti tidak peduli pada lampu yang masih menyala merah, mereka terus saja menerobos mumpung lalu lintas yang memotong jalur mereka masih kosong melompong.

β€œTiiittt!!” Suara klakson berbunyi. Di belakang saya seorang pengemudi mobil nampak tidak sabar. Klakson itu saya artikan sebagai perintah agar saya ikut menerobos lampu merah. Toh, jalan di depan kosong melompong, mungkin itu pikir sang pengemudi.

Saya bergeming bahkan menurunkan kedua kaki memberi tanda kalau saya tak berminat mengajak motor saya menerobos lampu merah. Klakson mobil di belakang saya berbunyi sekali lagi tapi saya tetap bergeming. Tadinya saya mengira dia akan membunyikan klaksonnya sekali lagi, tapi ternyata tidak. Entah karena dia menyerah atau menelan sendiri kekesalannya melihat saya yang kepala batu dan (sok) taat aturan.

*****

Sebenarnya saya juga bukan orang yang 100% taat aturan. Sesekali saya juga melanggar aturan meski terus terang saya melakukannya dengan hati yang tidak tenang dan sama sekali tidak merasa bangga.

Tapi, di luar kekhilafan itu saya selalu berusaha untuk menaati aturan, minimal tidak melanggarnya secara berlebihan. Sebisa mungkin saya membuang sampah pada tempatnya, atau kalau memang tak ada tempat sampah yang tersedia saya terpaksa menyimpannya sampai menemukan tempat sampah. Di jalanpun begitu, selama masih bisa menaati aturan maka saya akan taat aturan. Meski jalanan sepi saya tak hendak menerobos lampu merah, apalagi kalau sampai melawan arus. Sedapat mungkin itu saya hindari.

Saya mungkin termasuk cukup sering mengkritik kebijakan pemerintah kota, dan karenanya saya merasa terbebani. Saya harus bisa menjaga diri sendiri untuk tidak ikut mengotori kota dan melanggar aturan. Minimal saya ikut menjaga kalau memang tak punya kuasa memperbaiki.

Kadang saya berpikir, kota ini jadi rusak salah satunya juga karena warga sendiri yang tak sadar perannya. Membuang sampah seenaknya lalu menyalahkan pemerintah kota yang tak mampu mengurusi sampah. Melanggar aturan di jalanan seenaknya lalu menuding pemerintah kota tak mampu mengurai kemacetan.

Saya percaya kota ini dibangun oleh semua pihak. Pemerintah kota membuat kebijakan dan warga menumbuhkan kesadaran sendiri. Kebijakan pemerintah kota memang belum ideal, masih banyak yang perlu dikritisi, tapi menambah kusut masainya dengan tingkah warga tentu tak membuat situasi jadi lebih baik.

Mengkritik pemerintah kota untuk sebuah kebijakan publik adalah sesuatu yang sehat di alam demokrasi, tapi yang penting adalah bagaimana mengkritik diri sendiri untuk jadi warga yang lebih baik. Keduanya harus berjalan beriringan bukan? Tak mungkin juga kita menimpakan semua kesalahan ke pemerintah kota.

Jadi, siapkah kita untuk menjadi warga yang baik? Warga yang tak hanya mengeluh tapi juga ikut melakukan sesuatu. [dG]