Kembali ke Mamuju
Setelah lima tahun berselang saya akhirnya bisa kembali ke Mamuju dan melihat perkembangan kota ini.
5 Februari 2009, pertama kalinya saya menginjakkan kaki di tanah Mamuju, ibu kota provinsi Sulawesi Barat. Waktu itu Sulawesi Barat baru empat tahun menjadi provinsi baru, memisahkan diri dari induknya; Sulawesi Selatan. Dalam masa empat tahun, Sulawesi Barat masih berbenah. Belum semua elemen pemerintahan berjalan sendiri, sebagian masih mengikut ke Sulawesi Selatan. Kondisi kota Mamuju pun masih sangat sederhana sebagai ibu kota provinsi.
Baca: Kisah Perjalanan 12 Hari Bag.1
Hampir lima tahun berselang saya kembali ke kota Mamuju. Ingatan tentang kota ini lima tahun sebelumnya berlompatan di kepala beberapa saat ketika saya memastikan diri untuk kembali ke sana. Kalau lima tahun lalu saya ke Mamuju dengan menempuh jalan darat yang berat, maka sekarang saya kembali ke sana dengan pesawat terbang ATR-72 berbaling-baling.
Tak butuh waktu lama untuk sampai ke Mamuju. Penerbangan dari bandara Sultan Hasanuddin Makassar hanya memakan waktu 50 menit untuk jarak tempuh sekira 450 km ke utara. Sebuah bandara kecil bernama Tampa Padang adalah salah satu gerbang kota Mamuju. Bandaranya tak seberapa besar, mengingatkan saya pada bandara Waingapu, Sumba.
Bandara Tampa Padang terletak jauh di luar pusat kota Mamuju. Kami harus menempuh perjalanan sekira 30 menit, melewati jalanan yang berliku, kadang menanjak dan kadang menurun. Di sebelah kiri bukit-bukit tinggi menjulang seperti pagar alam yang kokoh. Di sebelah kanan sesekali lautan menghampar seperti permadani yang tak terkira luasnya. Perjalanan yang lumayan menghibur hingga tak terasa kami mulai masuk ke dalam kota Mamuju.
Kota ini ternyata sudah banyak berubah dari yang terakhir bisa saya ingat. Jelas sekali banyak kemajuan secara fisik yang terlihat dari Mamuju. Jalan poros yang dulu masih sepi sekarang sudah terlihat lebih ramai. Ekonominya berdenyut dengan sebagian besar digerakkan oleh warga pendatang, sisanya oleh korporasi. Mini market Alfamart dan Indomaret mudah ditemui di jalan-jalan besar.
Kota ini juga tak bisa lepas dari yang namanya penimbunan pantai atau reklamasi. Di pesisir pantai dibangun anjungan besar yang mirip sekali dengan anjungan pantai Losari, Makassar. Taku lupa huruf-huruf besar berbahan besi juga tegak memunggungi lautan. Tulisannya PANTAI MANAKARRA. Persis seperti Pantai Losari. Toh pelaku utama kedua pantai itu juga orang yang sama.
Sebuah hotel berlantai enam yang dipunyai seorang pengusaha hotel besar dari Makassar berdiri di tepi pantai Manakarra. Lima tahun lalu hotel ini masih sementara dalam pengerjaan fisik, masih jauh dari selesai. Selain hotel yang bernama D’Maleo itu hotel-hotel lain yang lebih moderen juga bertaburan di banyak sisi kota.
Hotel-hotel baru ini membuat hotel Mamuju Beach yang lima tahun lalu saya tempati jadi terlihat seperti hotel tua yang ketinggalan jaman. Padahal dulu hotel Mamuju Beach adalah hotel terbaik di Mamuju.
*****
Kota Mamuju memang terasa menggeliat. Perkembangan infrastrukturnya terasa sekali bila saya bandingkan dengan lima tahun lalu. Kompleks pemerintah provinsi yang berada di perbukitan dan menghadap ke laut lepas sudah terpakai hampir semuanya. Lima tahun lalu kompleks itu masih dalam bentuk maket di kantor gubernur lama. Di kompleks tersebut berdiri kantor gubernur, kantor dinas-dinas, kantor Bappeda dan agak ke belakang sebuah bangunan dominan berwarna putih berdiri tegak. Itulah rumah dinas gubernur.
Seperti umumnya kota-kota baru, Mamuju juga digerakkan oleh para pendatang. Dari pengusaha kecil yang berjualan makanan sampai pengusaha besar yang berjabat tangan dengan petinggi pemerintahan. Di bandara Tampa Padang saya bertemu beberapa orang dari Makassar dan dari Jawa. Bahkan dua orang calon penumpang berasal dari Tiongkok yang tak bisa berbahasa Inggris apalagi bahasa Indonesia. Padahal saya penasaran apa tujuannya datang ke Mamuju. Saya yakin mereka-mereka itu datang untuk urusan bisnis, entah bisnis menengah, entah bisnis besar.
Mamuju dan Sulawesi Barat masih menyimpan banyak potensi. Selama ini daerah itu dikenal dengan lahan kakaonya yang luas. Pun di salah satu kabupaten Sulawesi Barat terhampar lahan sawit milik satu korporasi nasional. Jangan lupa pula potensi mineral alam yang masih belum digarap. Semuanya seperti gula di meja makan di musim hujan, mengundang semut-semut bernama investor untuk merubung.
Saya tidak tahu bagaimana wajah Mamuju lima atau sepuluh tahun ke depan. Mungkin akan lebih ramai dari sekarang, mungkin perlahan warganya akan menemukan masalah-masalah umum perkotaan seperti yang dirasakan warga kota yang sudah lebih dulu maju. Kemacetan, polusi udara, kekurangan air bersih, banjir, tata kota yang semrawut, penggusuran pedagang kecil, tingkat kriminal jalanan yang meningkat serta segudang masalah umum perkotaan lainnya.
Kalau pemerintah Mamuju tak sigap, bukan tidak mungkin masalah-masalah itu akan datang. Cepat atau lambat. Karena Mamuju masih satu bagian dari Indonesia. [dG]