Ke Pulau Doom, Menengok Sorong Waktu Lampau

Pulau buaya, terlihat dari puncak bukit di pulau Doom
Pulau buaya, terlihat dari puncak bukit di pulau Doom

Saya baru tahu kalau ternyata di luar Sorong ada satu pulau yang dulunya malah lebih ramai dari kota Sorong sendiri. Pulau itu bernama Doom, pulau yang masih menyimpan jejak kolonial dan kedamaian dari keberagaman.

“Dulu orang Sorong kalau mau belanja ya ke sini, karena dulu satu-satunya pasar hanya ada di pulau ini.” Kata H. Mahmud, lelaki atletis yang menemani kami selama di Sorong.

Haji Mahmud adalah lelaki berdarah bugis yang lahir dan besar di Sorong. Di usianya yang saya taksir sekira 40an tahun itu dia nampaknya sudah berkelana ke banyak tempat di seputaran Papua. Selama berjalan bersamanya ada saja cerita baru tentang Papua yang dia ceritakan. Termasuk tentang pulau Doom (dibaca: dum) yang terletak sekira 3 km di luar kota Sorong.

Benarkah pembangunan Papua setengah hati? Jawabannya ada di sini

Pulau itu cukup besar dengan sebuah bukit tinggi di bagian tengahnya. Dari Sorong, pulau Doom dapat dijangkau dalam waktu sekisar 15 menit dengan perahu bermesin. Cukup membayar Rp. 5.000,- dari pelabuhan kecil yang memang disebut sebagai pelabuhan Doom.

Sebuah tugu kecil dengan patung dua lumba-lumba menyambut para pendatang. Beberapa dengan sigap menawarkan jasa pada para penumpang yang baru tiba. Di pulau Doom hanya ada becak dan motor yang jadi alat transportasi warga. Sebuah pasar besar berada tepat di belakang gerbang pulau. Konon inilah pasar yang dulu jadi pasar besar di pulau itu sekaligus pasar satu-satunya di Sorong.

Orang-orang Sorong harus menyeberang ke pulau Doom untuk memenuhi kebutuhan mereka, sekadar menunjukkan betapa majunya pulau itu dulu.

Pulau Doom menjadi pusat pemerintahan kolonial kala Belanda masih menduduki republik ini. Di malam hari, lampu kerlap-kerlip terlihat hingga daratan kota Sorong sekarang. Itulah kenapa pulau Doom kadang disebut juga sebagai pulau Bintang.

Jejak peninggalan Belanda masih terlihat jelas di pulau Doom, salah satunya dari bangunan-bangunan tua berarsitektur Eropa yang disesuaikan dengan iklim tropis. Bangunan-bangunan tua itu berdekatan dengan bangunan-bangunan baru dari bata. Jalanan kecil memanjang ke sekujur pulau, berkelindan kesana kemari dan diaspal halus menghubungkan sisi-sisi pulau Doom.

Mungkin karena tergolong pulau metropolitan, pulau Doom juga jadi bukti damainya beragam kehidupan yang penuh warna. Beragam suku ada di sana, dari suku asli Papua, orang dari Maluku, dari Sulawesi sampai orang-orang dari Jawa. Mereka hidup berdampingan, bahkan di dekat lapangan ada bangunan-bangunan tua yang disebut sebagai kampung China karena dihuni oleh orang-orang Tionghoa.

Jejak meleburnya beragam perbedaan itu juga terlihat dari sebuah masjid besar selain sebuah gereja yang berdiri tepat di puncak bukit. Dua bangunan ibadah itu jadi bukti betapa warga yang berbeda agama itu juga bisa hidup berdampingan.

Gereja Bethel di puncak bukit
Gereja Bethel di puncak bukit

Kami menyusuri jalan kecil yang membelah pulau Doom, berjalan sampai ke bagian puncak bukit menuju sebuah SMP. Anak-anak kelas I dan kelas II menyambut kami dengan riang dan ramah sementara anak-anak kelas III asyik mengikuti uji coba ujian akhir. Dari SMP itu kami berjalan terus ke puncak ?bukit menuju gereja tua yang berdiri tegak tepat di puncak bukit.

Pemandangan dari bukit itu begitu menawan. Pulau Raam atau pulau buaya terlihat jelas dari atas bukit, berada di antara birunya lautan. Semilir angin laut membelai wajah, menemani obrolan riuh kami dengan anak-anak pulau Doom yang bolos sekolah.

“Kau tra sekolah kah?” Tanya saya pada seorang anak yang asyik menikmati kedondong bersama teman-temannya.

“Tidak kaka, papan tulis sekolah patah.” Katanya sambil tertawa. Kami semua larut dalam tawa yang riuh.

Ketika matahari semakin tinggi kami beranjak pulang. Kami mampir sejenak di bekas penjara yang sekarang dijadikan SMA. Jeruji besi masih terpasang kokoh di jalan masuk penjara dan di beberapa tempat. Sisa-sisa keangkeran penjara masih terasa meski sudah mulai luntur karena coret-coretan bernada alay di dinding.

Ketika matahari benar-benar menyengat kami akhirnya meninggalkan pulau Doom, menumpang kapal penumpang menuju kota Sorong. Untuk pertama kalinya saya mendengar nama pulau Doom dan beruntung saya bisa langsung melihatnya dari dekat. Pulau yang dulu jauh lebih maju dari kota Sorong sendiri.

Jerat miras di tanah Papua, bisakah dihilangkan? Baca jawabannya di sini

Waktu mengubah segalanya, Sorong yang dulu gelap gulita sekarang menjadi kota maju. Bahkan sudah jadi salah satu kota paling maju di Papua, sementara pulau Doom tetap seperti itu. Tenang dan menawarkan kedamaian. [dG]

Video pulau Doom