Jakarta Biennale 2015; Mengembalikan Seni ke Tempatnya
Seni selama ini terasa jauh, pelakunya seperti tak terjangkau. Tapi Jakarta Biennale seperti berusaha mengubah persepsi itu.
“KATA SENI SUDAH MENGALAMI PENYEMPITAN MAKNA dan akhirnya jadi salah kaprah.” Kata Anwar Rahman. “Selama ini kata seni atau seniman hanya selalu dilekatkan dengan orang yang melakukan sesuatu di atas kanvas atau panggung. Padahal tidak seperti itu.” Lanjutnya.
Anwar Rahman, sering kami sapa dengan Jimpe. Sebuah nama panggilan yang konon disandangnya sejak menjadi mahasiswa baru di Universitas Hasanuddin. Sejak beberapa tahun belakangan ini Jimpe memang akrab dengan seni kontemporer di kota Makassar. Bersama lembaga nirlaba yang diasuhnya, dia aktif dalam banyak kegiatan seni kontemporer yang buat orang awam seperti saya seolah-olah sebuah dobrakan terhadap kata seni itu sendiri.
Dalam kepala saya seni itu adalah sebuah dunia yang jauh dan tak terjangkau. Berisi orang-orang nyentrik berpakaian tak rapi dengan rambut awut-awutan. Seni dalam kepala saya adalah sesuatu yang berjarak dan tak layak disentuh sembarang orang. Hanya mereka yang di atas rata-rata yang boleh menyentuhnya.
Lalu ketika Jimpe dan Mirwan Andan (dari Ruang Rupa) mengumumkan 4 nama seniman kota Makassar yang akan tampil di Jakarta Biennale 2015 saya termenung. Bukan, bukan karena saya tidak kenal keempat seniman itu, tapi karena latar belakang beberapa di antara mereka.
Sebelumnya saya sudah lebih dulu mengernyitkan dahi ketika melihat nama Jimpe dalam daftar kurator muda gelaran Jakarta Biennale 2015 ini. Jimpe bukan perupa, bukan pelukis, bukan musikus, bukan pula pegiat teater. Lalu apa yang membuat dia bisa duduk sebagai kurator untuk ajang dua tahunan yang berskala internasional ini?
*****
Pertanyaan-pertanyaan saya tak sempat terlontar di hari ketika Jimpe dan Mirwan Andan menggelar jumpa pers di Kedai Pojok Adhyaksa, Senin 15 Juni 2015. Pertanyaan itu baru sempat saya utarakan beberapa hari setelahnya, langsung ke Jimpe di tempat yang sama.
Dan meluncurlah kalimat yang ada di paragraf awal di atas.
Menurut Jimpe, seni memang mengalami pergeseran makna yang sangat jauh. Pelaku-pelaku seni secara sadar maupun tidak sadar menempatkan diri mereka di menara-menara gading yang berjarak dengan kenyataan. Pun dengan hasil karya mereka. Banyak karya seni yang lahir justru lewat pertapaan atau pengasingan diri yang panjang, menjauh dari kenyataan, menjauh dari masalah sosial yang sebenarnya, lalu hadir dalam bentuk yang diakui sebagai karya seni berkelas tinggi.
Secara tidak sadar jarak itu makin melebar. Lalu gambaran tentang senimanpun semakin lama semakin mengalami distorsi. Menyempit hanya pada mereka yang melakukan ragam kegiatan di panggung, di atas kanvas atau di atas batu berbekal pahat. Sesempit itu.
“Padahal apa yang kita lakukan semua ini sebenarnya berkaitan dengan seni. Kita melakukan sesuatu dengan serius dan berusaha membuatnya jadi kelihatan indah.” Kata Jimpe.
Rupanya alasan itu yang membuatnya terpilih menjadi salah satu kurator muda di gelaran Jakarta Biennale 2015 ini. Selama bertahun-tahun Jimpe memang sudah banyak melakukan kegiatan yang berkaitan dengan seni kontemporer. Dari penelitian, pelatihan hingga pameran atau eksebisi. Selama bertahun-tahun juga dia mengembangkan pengetahuannya tentang seni kontemporer lewat jaringannya yang semakin meluas.
Jimpe dan Jakarta Biennale punya gambaran yang sama tentang bagaimaan seharusnya seni itu ditampilkan, tentang bagaimana seharusnya seni itu membangun keterikatan dengan kehidupan nyata, bukan malah membangun jarak.
Lalu ketika Jimpe memilih 4 orang seniman dari Makassar untuk tampil di Jakarta Biennale 2015 maka makin kentaralah “keberpihakan” mereka. Keberpihakan pada seni yang tak berjarak. Bukan pada seni elitis dan dekoratif.
*****
“SAYA BUKAN SENIMAN YANG MENCARI UANG.” Kata Firman Djamil. Dia termasuk satu dari 4 seniman yang mewakili Makassar dalam Jakarta Biennale 2015. Saya sudah sering mendengar namanya, beberapa kali berinteraksi langsung meski belum pernah melihat langsung karyanya.
Firman Djamil setahu saya memang seniman yang idealis. Karyanya tidak dekoratif, sulit untuk dipajang di ruang tamu atau galeri seni mewah. Karyanya lebih banyak berupa karya seni instalasi yang disebutnya sebagai seni lingkungan hidup. Dari tema, pemilihan bahan sampai eksekusi pria nyentrik ini selalu memilih bahan yang ramah lingkungan.
“Saya senang diajak ke Jakarta Biennale 2015 ini. Buat saya ini bukti kalau mereka menghargai seni, bukan hanya seni dekoratif.” Katanya lagi.
Meski namanya hanya terdengar sayup-sayup di dunia seni Indonesia, tapi sesungguhnya dia sudah malang melintang ke berbagai negeri yang jauh. Memamerkan karyanya dan buah pikirannya.
Bersama Firman ada tiga lagi seniman lain yang akan memamerkan karya mereka tanggal 15 November 2015 – 17 Januari 2016 nanti. Salah satunya adalah Reza Enem, gitaris band lokal Theory of Discoustic. Buat saya Reza dan Firman adalah seniman, tidak ada yang aneh dengan pemilihan kedua nama itu.
Tapi tidak dengan dua nama lainnya.
Nama berikutnya adalah Muhammad Cora, pria gondrong berdarah Enrekang yang pernah lama tinggal di Jawa. Sehari-harinya Cora saya kenal sebagai arsitek dan bukan seniman. Karyanya memang lebih banyak berkaitan dengan dunia arsitek termasuk beberapa penelitian yang dilakukannya di daerah pinggiran kota Makassar.
Lalu terakhir ada komunitas Qui-Qui Makassar. Komunitas ini berisi para perajut yang sebagiannya adalah perempuan, perempuan lajang dan ibu-ibu muda. Sudah tiga kali mereka menggelar acara bom benang, acara “aneh” (sengaja saya beri tanda kutip) yang lumayan menarik perhatian publik Makassar.
Nah, dua nama itu yang menurut saya tidak lazim. Mereka bukan seniman murni seperti Firman Djamil atau Reze Enem. Cora arsitek, komunitas Qui-Qui berisi ibu-ibu, perempuan dan beberapa pria biasa yang jauh dari gambaran saya tentang seniman. Kenapa mereka bisa ikut acara seni bertajuk Jakarta Biennale?
Rupanya inilah bentuk “perlawanan” dari Jakarta Biennale, perlawanan untuk mendobrak bayangan orang awam selama ini tentang seniman yang seolah-olah berjarak dengan kenyataan. Seniman yang bukan orang biasa, duduk tenang dalam dunianya sendiri dan berbicara tentang kenyataan tanpa mencoba bergaul dengan kenyataan itu sendiri.
Firman Djamil, Reza Enem, Cora dan Komunitas Qui-Qui adalah seniman yang murni. Mereka secara sadar maupun tidak sudah menciptakan karya seni yang semuanya disadur dari kenyataan yang ada di sekitar mereka. Keempat nama itu hidup di tengah-tengah warga, menyesap realita lalu mengapresiasikannya dalam bentuk karya indah yang bisa disebut sebagai karya seni. Mereka tetap seniman meski latar mereka berbeda-beda.
Keempat pilihan Jimpe yang kemudian diakui oleh kurator lainnya itu adalah sebuah dobrakan, sebuah usaha mengembalikan seni ke tempatnya yang seharusnya. “Seni harus dekat dengan kenyataan, seni tidak boleh berjarak.” Kata Jimpe. Pilihan kurator Jakarta Biennale 2015 dari Makassar ini memang tak lazim, meski mungkin sesungguhnya harus seperti itu.
Seni harusnya memang sederhana dan dekat dengan kehidupan kita. Bukan sesuatu yang begitu mewah dan jauh. [dG]
Pertamax!