Gonjang-Ganjing GoJek
Karena masalah GoJek adalah masalah nasional!
Linimasa Twitter saya pagi ini riuh oleh satu isu, tentang larangan beroperasi untuk beragam jasa angkutan yang menggunakan media daring seperti GoJek, Grab Bike dan semacamnya. Katanya pemerintah melalui menteri perhubungan resmi melarang jenis kendaraan umum tersebut karena dianggap melanggar Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
Surat edaran tentang pelarangan itu sebenarnya sudah dibuat sejak bulan Nopember 2015, tertuang dalam surat bernomor UM.302/1/21/Phb/2015 tertanggal 9 November 2015 yang ditandatangani langsung oleh menteri perhubungan Ignatius Jonan. Alasannya, transportasi umum berbasis daring itu tidak termasuk kategori angkutan umum sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Meski sudah ditandatangani sejak sebulan lalu, entah kenapa isu ini baru menghangat di pagi ketika Makassar sedang dingin diguyur hujan. Apalagi keramaian ini terasa masih berpusat di ibu kota negara sana yang memang jadi pasar terbesar transportasi umum berbasis daring itu.
Reaksi warga atas upaya pelarangan GoJek dan sejenisnya itu hampir sama, setidaknya yang melintas di linimasa Twitter saya. Rata-rata mereka menyesalkan keputusan pemerintah yang melarang tanpa memberi solusi. Sebagian lagi mencaci maki, ada pula yang berprasangka kalau ini semua terjadi karena pemilik GoJek dan kawan-kawannya belum menyetor upeti ke kementerian perhubungan, makanya usaha mereka dipersulit.
Begitulah media sosial, beragam prasangka dan komentar bisa muncul dengan cepat.
Tapi sudah, kita fokus ke GoJek dan teman-temanya saja. Saya sendiri bukan pengguna aktif GoJek dan teman-temannya, maklum di Makassar saya punya kendaraan sendiri jadi urusan transportasi masih belum jadi masalah. Ketika berada di Jakarta pun saya lebih sering menggunakan moda transportasi umum konvensional seperti bus, Transjakarta, Commuter Line atau bahkan taksi. Hanya beberapa kali saya menggunakan jasa GoJek.
Dari beberapa kali penggunaan itu memang saya harus akui kalau GoJek benar-benar membantu. Selain lebih murah, pelayanannya juga lebih rapi dan menyenangkan. Sebagai contoh, dari rumah ke bandara Sultan Hasanuddin saya harus membayar Rp100 ribu lebih dengan menumpang taksi, kadang saya juga menggunakan jasa ojek konvensional dengan membayar Rp60ribu sampai Rp70ribu. Sekali waktu saya mencoba layanan GoJek dan saya hanya dikenai biaya Rp15ribu! Jumlah yang terpaut sangat jauh.
Urusan harga dan kenyamanan juga jadi salah satu alasan kenapa banyak orang yang jatuh hati pada layanan GoJek dan sejenisnya. Salah satu yang saya tanya adalah Dwiya. Wanita muda ini adalah pengguna aktif GoJek yang tinggal di Makassar. Menurutnya GoJek dengan beragam standar pelayanan dan ketetapan tarif berdasarkan jarak membuatnya lebih nyaman berpindah-pindah tempat.
Dwiya mengaku tidak begitu nyaman menggunakan jasa ojek konvensional atau kerap disebut ojek pangkalan dan bentor karena selain harga yang kadang terlalu mahal tanpa berdasar, juga karena pelayanan yang belum dianggapnya ramah.
“Taksi sebenarnya bagus, cuma ndak fleksibel. Tidak bisa nyelip-nyelip kalau macet.” Katanya lagi.
Alasan Dwiya sepertinya juga alasan banyak orang untuk kemudian menjadikan GoJek (atau Grab Bike dan layanan sejenis di kota lain) sebagai alternatif angkutan umum. Alasan yang masuk akal tentunya, meski sebenarnya kendaraan beroda dua tidak bisa dikategorikan sebagai angkutan umum.
***
Tapi Indonesia memang negara yang tidak selalu berjalan sesuai aturan atau buku manual. Warganya penuh dengan kreativitas yang kadang susah ditebak. Melihat adanya kesenjangan antara kebutuhan warga dengan ketersediaan transportasi umum, maka lahirlah ojek. Saya belum menemukan catatan sejarah kapan pertama kalinya ojek muncul. Tapi dari film-film Alm. Benyamin S di tahun 70an saja sudah bisa kita temukan kalau ojek memang sudah ada di Jakarta di periode tahun tersebut.
Kreativitas yang tak bisa diredam itu pula yang kemudian menjadikan layanan ojek kemudian berkembang dan melakuan perkawinan dengan teknologi digital yang berbasis internet. Lahirlah GoJek, Grab Bike, Blue Bike dan lain-lain. Mereka adalah anak-anak yang lahir mengisi kesenjangan antara kebutuhan warga dan ketersediaan angkutan umum. Mereka juga adalah anak-anak yang tak (atau belum) diakui pemerintah, masih dianggap anak haram.
Untungnya si anak haram itu yang tadinya sempat dilarang beroperasi, sekarang sudah mendapatkan pengampunan sementara. Menteri perhubungan seperti yang dirilis oleh Tempo.co menyatakan kalau pihaknya menarik larangan beroperasi untuk Gojek dan teman-temannya.
“Ojek dan transportasi umum berbasis aplikasi dipersilakan tetap beroperasi sebagai solusi sampai transportasi publik dapat terpenuhi dengan layak,” kata Jonan saat menggelar konferensi pers, di Jakarta, Jumat, 18 Desember 2015 dan saya kutip dari laman Tempo.co.
“Kalau GoJek memang dilarang, bakalan ribet mi kak pengguna kayak saya karena bakal kembali pakai bentor dan ojek biasa yang ndak pakai argo dan kadang harganya gila-gilaan.” Begitu jerit hati Dwiya ketika saya tanya pendapatnya kalau GoJek benar-benar dilarang.
Dwiya hanya satu dari sekira 1.8 juta orang pengguna GoJek di Indonesia. Jumlahnya memang masih sangat sedikit dibanding 200 juta penduduk Indonesia, tapi mereka ada di kota besar utamanya Jakarta. Sebagai orang Indonesia kita tidak boleh lupa kalau masalah orang kota besar adalah masalah nasional, harus direspon cepat. Pemerintah melalui kementerian perhubungan sudah menjalankan tugasnya dengan sangat baik. Responnya seperti perasaan seorang pria jomblo yang menerima undangan pernikahan mantan, cepat dan tepat!
Tapi sudahlah, gonjang-ganjing GoJek ini untuk sementara sudah berhenti. Pemerintah bereaksi cepat mendengarkan keluhan pengguna dan pengusaha GoJek dan sejenisnya. Mudah-mudahan pemerintah juga bisa bereaksi cepat untuk urusan lain yang lebih besar. Urusan HAM dan kebebasan berekspresi misalnya. Tapi, ah sudahlah. [dG]
Ini jelas pengalihan issue paonganan yang disel karena hashtag
betul sekali!
Bukan pengguna gojek meskipun ada aplikasinya terinstal di hape. Tapi kata teman di quiqui, gojek ini mmg benar2 solusi mudah dan murah saat butuh antar jemput dan memenuhi hasrat lapar :))
deh apamo, anak2 kalau ngumpul di Halimun juga sering terbantu sama GoJek
Pernah ada debatnya antara owner gojek dan mentri perhubungan … Soal “siapa yg untung dan rugi”
Halaaah pemerintah ! Uhuhu… No comment hahahh
lah, ini apa? bukan komen kah? hahaha
Ya mungkin sudah dibahas lebih lanjut mengenai mekanisme bisnisnye Daeng, setidaknya Presiden Jokowi cukup sigap menyelesaikan permasalahan nasional ini. Itu baru namanya Presiden… 🙂
Iyya dong, presiden pilihan rakyat Indonesia loh
Yudi males komentar mengenai boleh nggak motor jadi angkutan umum. Yang yd mau Tanya, jomblo atau jomlo sebenarnya nih Daeng? Hehehe
ndak tau hahaha, yang jelas jomblo yang biasa dipakai
sebentar, saya mau bikin aplikasi transportasi berbasis tamiya!
jangan lama-lama nah