Dulu Ada Bioskop Kelas B di Makassar
Sebenarnya ini tulisan lama yang pernah ditayangkan di Panyingkul! Tapi saya tiba-tiba tergelitik untuk menyajikannya kembali dengan perubahan di beberapa detail.
Demam super hero sedang melanda Makassar belakangan ini. Setelah digebrak oleh pahlawan yang tergigit laba-laba si Spiderman, satu lagi pahlawan super dengan kostum kelelawar menyerbu kota ini. Ratusan ( atau bahkan mungkin ribuan?) orang terlihat sibuk memadati beberapa bioskop di kota Anging Mammiri, hanya ingin mempertegas kalau mereka dapat tempat untuk bisa menonton aksi laga dua super hero itu.
Ini bukan soal sang pahlawan bertopeng itu, tapi soal deretan bioskop yang menjadi pusat keramaian dalam beberapa minggu belakangan ini.
Semua film box office itu hadir di layar bioskop yang merk-nya hanya dua: 21 dan XXI – meski sebenarnya dimiliki oleh satu korporasi. Harga tiketnya memang beragam, meski tidak berbeda jauh antara studio yang satu dengan studio yang lainnya. Satu hal yang jelas, para penonton hanya punya dua pilihan itu, tidak ada pilihan bioskop yang lain. Indonesia sudah terlanjur dikuasai oleh korporasi besar yang menelurkan 21 dan XXI. Hanya ada satu dua korporasi yang menyelip monopoli pengusaha yang dekat dengan rejim orde baru itu.
Ingatan saya melayang ke masa sekitar 15-20 tahun yang lalu.
Makassar belum seperti sekarang. Kota ini masih sangat jauh tertinggal dari kota besar di Jawa, sebutlah Jakarta dan Surabaya. Jalanan masih lengang, tak ada macet seperti sekarang. Mungkin ada arus lalu lintas yang terhambat, tapi itu adalah kejadian luar biasa.
Ketika itu Makassar punya banyak bioskop. Jauh sebelum 21 masuk di kota ini dan berdiri di sebuah sudut di Jl. Ratulangi yang sekarang sudah jadi gerai makanan cepat saji, bioskop-bioskop kecil milik pengusaha lokal hadir di berbagai sudut kota ini. 21 sendiri baru masuk Makassar sekitar tahun 1994 dan langsung menjadi bioskop kelas satu dengan HTM tertinggi kala itu. Saya ingat harganya Rp. 5.000,- sebuah angka yang besar untuk anak sekolah dengan orang tua miskin seperti saya.
Sebelum 21 datang, setidaknya ada Makassar Theatre yang juga duduk sebagai bioskop kelas atas di kota Makassar. Bioskop yang terletak di Jl. Bali ini juga menetapkan HTM yang tinggi, sama seperti standar HTM bioskop 21. Tak heran kalau bioskop ini jadi tempat favorit mereka yang berkantong tebal. Sayang karena bioskop ini kemudian terbakar setahun yang lalu dan sampai sekarang belum jelas nasibnya.
Makassar Theatre ( dan kemudian 21 ) memang menjadi pintu masuk film-film baru yang berkelas. Tentu saja karena level mereka yang tinggi. Dulu bioskop dibagi dalam 4 kelas: A, B, C dan D. Untuk film Hollywood dan box office urutannya adalah dari level A, bila sudah sepi penonton akan turun ke level B dan kemudian ke level C dan D sebelum benar-benar hilang dari kota ini.
Untuk bioskop level A, kita tahu sendiri bagaimana kondisinya. Ruangan yang super sejuk dengan kursi warna merah yang empuk dan tentu saja tata suara yang benar-benar membuai. Dari dulu sampai sekarang nyaris tidak ada perubahan kecuali mungkin di bagian lobby bioskop yang semakin tampak mentereng membuat pengunjung yang berpakaian kumal jadi minder.
Menunggu film turun ke kelas B
Sebagai anak sekolah dengan orang tua yang miskin, saya dan teman-teman hanya bisa menelan ludah setiap kali melihat poster film baru terpasang di koran. Harga Rp. 5.000,- berarti sama dengan bekal kami selama 5 hari sekolah. Selama masa sekolah saya hanya sekali menginjakkan kaki ke studio 21, itupun dari uang hasil membuat kartu lebaran untuk teman.
Kami hanya bisa menunggu orang-orang yang lebih berduit semua sudah selesai menonton film itu dan berharap film itu bisa segera turun ke bioskop kelas B. Jangka waktunya tidak menentu. Kadang seminggu atau kadang malah lebih.
Di Makassar ada beberapa bioskop kelas B. Sebut saja bioskop Arini yang punya 3 theatre di Jl. Rusa, bioskop Artis juga dengan 3 theatre di Jl. Gunung Lompobattang. bioskop Mall Theatre di Jl. Cendrawasih dan bioskop Istana di Jl. Sultan Hasanuddin yang mengkhususkan diri memutar film-film Hong Kong. Itu adalah bioskop yang siap menadah film-film Hollywood dan film-film Hong Kong kelas satu dari bioskop kelas A yang sudah saya sebut duluan.
Selain bioskop-bioskop itu ada dua lagi bioskop yang bisa dianggap kelas B, Paramount dan Dewi. Bedanya, kedua bioskop ini punya jalur sendiri dan spesifikasi film sendiri. Paramount khusus memutar film Indonesia dan film-film Hollywood kelas dua atau yang tidak masuk dalam jajaran box office. Sementara itu bioskop Dewi terkenal sebagai penyalur film-film Bollywood. Kedua bioskop ini memang milik pengusaha berdarah India.
Sebenarnya ada satu lagi bioskop kelas B, namanya bioskop Mitra di Jl. Kajaolalido yang sekarang jadi bangunan sebuah bank pemerintah, tapi bioskop ini sudah duluan mati ketika bioskop-bioskop lain masih berjaya.
Di Jalan Rappocini Raya juga belakangan juga muncul bioskop kelas B bernama Kembang Melati dengan 3 theater, tapi waktu itu era bioskop sudah mulai sepi sehingga tidak heran kalau bioskop ini tidak bertahan lama. Sekarang bekas bioskopnya sudah berubah jadi kampus.
Bioskop-bioskop kelas B ini memang punya fasilitas yang sedikit di bawah bioskop kelas A. Kursinya tidak seempuk 21 atau Makassar Theatre dan suaranya tidak senyaman dua bioskop itu. Desain lobby-nya juga sederhana. Kisaran harga bioskop kelas B adalah antara Rp. 2.500,- hingga Rp. 3.000,-
Di antara semua bioskop itu, bioskop Paramount dan Istana punya struktur bangunan yang unik. Theaternya berlantai dua, ada balkon di bagian atas sehingga sepintas saya membayangkannya seperti theater di luar negeri tempat para pembesar dan bangsawan menonton pertunjukan opera.
Dengan harga yang separuh dari harga HTM bioskop kelas A, kami bisa menikmati film-film kelas atas Hollywood atau Hong Kong meski tentu saja ketika perbincangan soal film itu sudah mulai basi. Bila kurang beruntung dan ternyata film incaran kami tak juga bisa kami sambangi di bioskop kelas B maka incaran selanjutnya adalah bioskop kelas C atau D dengan fasilitas yang lebih sederhana.
Minggu depan saya akan bercerita tentang bioskop kelas C dan D ini. Level bioskop yang lebih banyak menorehkan cerita karena tentu saja lebih banyak kami sambangi di masa ABG dulu.
[dG]
Demi toutatis, di Jember juga bioskop macam ini juga “dibakar” entah faktor hubungan pendek listrik atau kesengajaan. Bioskop pada masa saya kecil adalah hiburan yang hebat. Bersama teman, bapak dan saudara-saudara saya selalu menanti pilem turun dari 21. Karena ya itu tadi murah.
Sekarang keknya urusan bioskop dimonopoli Cineplex.
setuju, sekarang semua sudah dimonopoli satu pihak..
*sigh*
Di Jakarta juga ada sih yang kayak gini, tapi kelas apa ya.. yang di Senen ituh 😀 yang diputer pilem esek2 sih katanya 😀
Kalo Arini pernah masuk sekali, karena punya temen yg pas tetanggaan hya beda 2 rumah dari situ .. hihihii.. Jadi apa ya sekarang?
Setau saya masih ada satu bioskop lagi di jalan cenderawasih sebelum adanya mall teater, namanya bioskop cenderawasih..