Cerita Para Perantau


Cerita tentang para perantau asal Sulawesi Selatan. Dari alasan merantau sampai kehidupan di perantauan.


“Bapak saya itu sudah merantau ke sini sejak tahun 70,” kata Wati, seorang perantau dari Pangkep, Sulsel yang saya temui di Enarotali, ibu kota Paniai, Papua. Saya membayangkan, datang ke Paniai di tahun 1970 itu pastilah membutuhkan keberanian dan tekad yang luar biasa. Di tahun 2020 saja, Paniai masih tergolong daerah yang tidak mudah dijangkau. Jauh dari kota besar dengan akses jalan darat yang sulit. Apalagi di tahun 1970, wow! Saya sulit membayangkan suasana Enarotali di tahun itu.

Orang Bugis dan Makassar termasuk orang-orang yang suka merantau. Memang tidak semasif orang Jawa atau orang Minang, misalnya. Orang Bugis dan Makassar lebih banyak merantau ke daerah yang spesifik seperti Sumatera, Kalimantan, dan beberapa daerah di wilayah timur Indonesia. Tapi biasanya lokasi perantauan mereka justru adalah lokai yang tidak terlalu ramai atau jauh dari pusat keramaian.

Alasan utama para perantau ini tentu saja adalah mencari peluang kehidupan yang lebih baik. Kesulitan hidup di tanah asal bisa memaksa mereka untuk keluar dan mencari tempat lain yang menurut mereka lebih menjanjikan. Ada pula alasan lain yang juga cukup mendasari banyaknya orang Bugis dan Makassar yang merantau, yaitu alasan politis. Alasan ini banyak mendasari keputusan merantau orang Bugis dan Makassar di masa lalu, masa ketika pergolakan politik terjadi di Sulawesi Selatan. Ada yang merantau karena merasa terdesak di tanah kelahirannya, ada pula yang merantau karena berharap bisa melebarkan pengaruh ke wilayah lain.

Masa terakhir ramainya gelombang perantaukan karena alasan politis ini adalah ketika Sulawesi Selatan masih panas oleh pertikaian antara TNI dengan tentara DI/TII di bawah pimpinan Kahar Muzakkar.

Bertemu Perantau di Banyak Tempat

Ketika mendatangi beberapa daerah di Indonesia, saya kerap kali bertemu dengan para perantau dari Sulawesi Selatan, khususnya dari daerah Bugis. Alasan mereka merantau lebih banyak karena alasan ekonomi daripada politik. Mereka mencari penghidupan yang lebih baik di tanah rantau, kebanyakan karena ajakan keluarga atau kerabat yang sudah lebih dulu merantau.

Di desa Tangkit Baru, Jambi saya bertemu dengan para perantau dari Wajo yang sudah hidup selama tiga generasi di sana. Generasi ketiga itu meski belum pernah menengok kampung halaman kakek-neneknya tapi masih fasih berbahasa Bugis. Rumah mereka pun masih dibangun dengan arsitektur rumah Bugis.

Ketika mendatangi Kalimantan Utara, bukan hal yang aneh bila mendengarkan orang-orang yang bercakap-cakap dalam bahasa Bugis atau Makassar di banyak tempat. Beberapa daerah di Kalimantan memang sudah terkenal sebagai tempat berkumpulnya para perantau dari Sulawesi Selatan.

Di Sumba Timur, saya bertemu dengan perantau dari Sinjai yang memilih tinggal di sana dan berdagang makanan. Begitu pula ketika ke Ambon. Sementara di Lombok, orang dari Sulawesi Selatan juga mudah sekali ditemui.

Di Papua, seperti yang saya ceritakan di awal tulisan, ada banyak sekali perantau dari Sulawesi Selatan. Kadang saya malah merasa sedang berada di kota Makassar saking mudahnya menemui makanan khas Sulawesi Selatan di sana. Selain orang Bugis dan Makassar, orang dari Tana Toraja pun banyak merantau ke Papua. Sebagian besar sebagai tenaga pendidikan dan supir kendaraan umum di daerah pegunungan.

Cerita Para Perantau

Daalm episode keenam siniar Cerita Makassar kali ini, saya dan Anchu mencoba mengungkit kisah dari para perantau. Kami mengundang dua orang narasumber. Ada Daeng Rusle yang sejak lepas SMA di tahun 1995 merantau ke Jawa dan kemudian berseliweran ke banyak tempat setelahnya. Saat ini, Rusle berdiam di Dubai, UEA.

Narasumber kedua adalah Rara. Di komunitas Blogger Makassar, Anging Mammiri, Rara adalah sosok penting karena dia adalah salah satu pendiri komunitas sekaligus ketua pertama. Sejak tahun 2008, Rara sudah meninggalkan Makassar. Awalnya merantau sebagai tenaga PTT di pulau Tambelan, Kepulauan Riau. Selepas pengabdian itu dia kemudian memutuskan untuk mencari kesempatan bekerja di Jakarta.

“Bagaimanapun peluang untuk menambah ilmu kan lebih banyak di Jakarta,” katanya.

Alasan mencari peluang yang lebih baik juga menjadi alasan Daeng Rusle untuk mengejar ilmu di UGM selepas menamatkan SMA-nya di Makassar.

“Kita harus akui di zaman Orba, pendidikan belum merata di Indonesia. Ada pemikiran kalau mau sukses itu harus belajar di Jawa,” kira-kira begitu katanya.

Perjuangan mencari peluang yang lebih bagus itu akhirnya menjadi alasan utama mereka hingga akhrinya memilih tetap di perantauan. Bertahun-tahun mereka habiskan hingga akhirnya merasa kalau hidup di perantauan adalah pilihan terbaik. Mereka bahkan sudah tidak menempatkan opsi “pulang kampung” dalam rencana hidup mereka.

*****

Ada beberapa hal menarik yang diceritakan oleh kedua narasumber itu dalam episode kali ini. Mulai dari alasan merantau, kehidupan di perantauan, rasa rindu pada kampung halaman, hingga pilihan untuk tetap di perantauan di hari tua nanti. Apa yang dirasakan kedua orang ini mungkin bisa mewakili cerita dan banyak perantau lainnya.

Cerita tentang mereka bisa didengarkan di sini: