Cerita Pak Ramli si Tukang Ojek Bandara
Dalam perjalanan pulang saya mengobrol dengan seorang tukang ojek bandara.
Saya keluar terminal kedatangan sekitar pukul 9 malam waktu Makassar. Terminal tidak terlalu ramai kala itu, mungkin karena jam sibuk sudah terlewati. Sempat berhenti sejenak untuk mengisap sebatang rokok sebelum turun menuju pintu keluar. Seperti biasa, dari jarak beberapa meter sudah terdengar keriuhan teriakan para supir taksi dan mobil rental yang menawarkan jasa.
“Pak, taksi pak!” Teriakan mereka begitu bersemangat, berebutan dan seperti setengah memaksa. Ini adalah salah satu hal yang paling saya hindari dari bandara Sultan Hasanuddin. Keriuhan para supir taksi dan mobil rental membuat saya tidak nyaman.
Saya tidak mengacuhkan mereka, terus berjalan ke arah pintu pagar pembatas. Di sana sudah ada beberapa orang yang mengacungkan kertas kecil bertuliskan tarif sewa mobil. Melihat saya mendekat mereka seperti lebih bersemangat, saya tetap tak acuh.
“Ojek pak?” Tanya seorang pria kecil berjaket kulit warna hitam.
Pertanyaan itu membuat saya tertarik, dari awal saya memang berniat untuk menggunakan ojek saja. Selain tentu saja karena alasan harga, naik ojek juga buat saya lebih cepat dan praktis. Kalau memang tak membawa banyak barang atau jalan bukan karena urusan kerjaan maka ojek selalu jadi pilihan utama.
“Berapa ke Baruga?” Tanya saya singkat.
“70 ribu pak.” Jawabnya juga singkat.
Angka itu adalah angka normal, tarif dari bandara ke Bukit Baruga memang segitu dan saya tak hendak menawarnya. Saya langsung menggamitnya menjauhi keriuhan supir taksi dan mobil rental yang seperti masih mencari kesempatan untuk menarik saya. Tukang ojek yang belakangan saya tahu bernama pak Ramli itu mengambil satu tas yang saya bawa dan mulai berjalan ke parkiran. Saya menurut di belakangnya.
“Saya baru mulai tadi sore.” Jawabnya ketika saya tanya mulai jam berapa dia beroperasi. Kami sudah sama-sama berada di atas motor bebek, meninggalkan bandara. “Kalau sedang tidak ada kerjaan jadi tukang, saya biasanya mulai siang di sini.” Sambungnya lagi.
Selain menjadi ojek, pak Ramli ternyata juga bekerja sebagai buruh bangunan. Dia menyebut pekerjaan mengojek hanya untuk mendapat tambahan. “Anak saya empat, tiga orang masih sekolah. Kalau hanya mengandalkan gaji buruh tidak cukup pak.” Suaranya tersapu angin malam. Di langit gumpalan awan menutup bintang, kami melaju mulus di atas aspal.
Pak Ramli mengaku menyambi jadi tukang ojek sudah sejak lama, sejak bandara baru beroperasi sekira tahun 2008. Dia tergabung dalam organisasi tukang ojek bandara yang menurutnya iakui dan dicatat resmi oleh pihak Angkasa Pura. Setiap bulan mereka membayar iuran Rp.30.000,- ke organisasi.
“Organisasi ini hanya beranggotakan tukang ojek yang tinggal di sekitar bandara, tidak menerima tukang ojek dari luar kawasan bandara.” Ujarnya. Untuk menjadi anggota tukang ojek harus menyetor foto kopi tanda pengenal sebagai bukti kalau mereka memang warga sekitar bandara. Mungkin ini adalah kesepakatan bersama dengan pihak Angkasa Pura sebagai pengelola bandara untuk memberdayakan warga sekitar, entahlah.
Jumlah pengojek yang dinaungi oleh organisasi itu menurut pak Ramli sekitar 90 orang, tapi sejak beberapa bulan ini jumlah pengojek di bandara sudah semakin bertambah karena kebutuhan yang juga semakin besar. Pengojek yang baru itu tidak semua masuk organisasi yang dimaksud pak Ramli, tapi mereka tetap harus menunjukkan tanda pengenal yang membuktikan mereka warga sekitar bandara.
*****
Pelanggan pak Ramli menurutnya cukup banyak, dari orang tua sampai anak muda, pria dan wanita. Dia menyebut beberapa tempat yang saya tahu, katanya pelanggannya tinggal di daerah itu. Alasan mereka mungkin sama dengan saya, ojek lebih murah dan lebih praktis, apalagi di jam-jam macet yang membuat mobil bisa seperti parkir berjamaah di jalan raya. Di saat seperti itu ojek bisa menyelip keluar dari kemacetan dengan gesit.
Pak Ramli juga membeberkan ciri khas pengojek lama dan baru. Menurutnya pengojek lama atau yang disebutnya pengojek senior tidak akan memasang harga tinggi kepada calon penumpang. Saya mengamininya, bulan lalu ketika hendak meninggalkan bandara Sultan Hasanuddin saya sempat kesal ketika dengan seenaknya seorang tukang ojek menawarkan harga Rp.100.000,- untuk tujuan yang sama. Itu artinya hanya beda Rp.10.000 dengan ongkos taksi.
“Berarti anak baru itu pak.” Kata pak Ramli ketika kejadian itu saya ceritakan.
Dari pak Ramli pula saya tahu kalau ojek bandara itu terjamin keamanannya. Mereka semua terdaftar di Angkasa Pura sehingga kalau mereka melakukan kecurangan, mudah untuk menemukannya. Dia bercerita, suatu hari ada tukang ojek luar yang mengantar penumpang dari bandara. Si tukang ojek ini bukan tukang ojek resmi bandara, hanya tukang ojek luar yang kebetulan berada di bandara dan mengambil penumpang. Rupanya di jalan si tukang ojek itu tergoda untuk berbuat curang. Ketika penumpangnya berhenti sejenak membeli pulsa di sebuah kios, si tukang ojek melarikan diri bersama sebuah koper sang penumpang yang masih bertengger di motornya.
“Akhirnya dia ditangkap juga, bukan sama orang bandara tapi sama orang AURI.” Kata pak Ramli.
Soal keamanan penumpangnya dia bisa menjamin, tapi keamanan sendiri ternyata tidak semudah itu. Suatu hari pak Ramli kena sial, sepulang mengantar penumpang di malam hari dia dihadang beberapa anak muda teler di kawasan Tidung Mariolo yang memang terkenal sebagai daerah rawan di kota Makassar. Beruntung dia bisa meyakinkan para pemalak itu kalau dia hanya punya rokok dan tidak punya uang tunai. Rokoknya diambil dan dia bisa kembali melanjutkan perjalanan.
“Makanya pak, kita ndak mau pakai seragam atau tanda pengenal. Takutnya kalau dihadang begitu, mereka tahu kalau kita ojek bandara.” Ujar pak Ramli. Ojek bandara tentu menarik bayaran lebih tinggi dan itu jadi mangsa empuk buat para pemalak dan begal.
Kami masih melaju di atas aspal di jalan yang tak seberapa ramai ketika seorang pengojek dengan jaket hijau bertuliskan GoJek melintas. “Kenapa tidak coba jadi supir GoJek pak?” Tanya saya.
“Itu kan cuma untuk yang di kota pak, saya tinggalnya di Maros.” Jawabnya. Oh iya, benar juga. GoJek untuk sementara masih beroperasi di kota Makassar, belum sampai ke kawasan kabupaten Maros tempat bandara Sultan Hasanuddin berada.
Sekira setengah jam perjalanan akhirnya kami tiba di tujuan. Saya membayar sesuai kesepakatan dan berterima kasih untuk layanan pak Ramli. Dia tersenyum sebelum berpamitan. Katanya dia akan langsung pulang, hari ini cukup dua penumpang saja dan malam sudah cukup larut.
“Rejekiku hari ini cuma begitu ji pak. Besok pi lagi.” Katanya. Pak Ramli dengan motor bebeknya membelah malam, kembali ke kawasan bandara. Kembali ke keluarganya, siap untuk menyambut rejeki lain di hari yang lain. [dG]
Selalu ada cerita menarik tentang ojek ya, Daeng. Saya pernah naik Gojek Dari rumah ke Bandung Timur, jaraknya 14 km dan bayarnya 28.000. Drivernya masih muda, baru lulus kuliah. Saya ga tega maksa dia nganterin saya sampai rumah teman Karena di daerah Bandung Timur banyak pangkalan ojek dan mereka menolak kehadiran ojek aplikasi ini.
Berhubung kalau jalan kaki cukup jauh (kurleb 4 km) say a lanjut dengan ojek pangkalan dan tarifnya 20 ribu. Saya tawar eh temannya belain kalau tarif normalnya emang segitu. Ya sih, saya bisa bujukin driver tadi buat nganterin saya ke dalam. Lebih murah, tapi dipikir-pikir kalau nanti dia dihadang dan dihajar (beberapa kasus seperti ini sempat terjadi) ga tega. Saya irit, dia babak belur.
Di Bandung parah juga ya perlawanan terhadap ojek digital ini? Sampai dikeroyok coba.
moment2 seperti ini seolah hilang dalam keseharian yudi, Daeng, dulu. ketika di jakarta, sering ngajak ngobrol tukang taksi, ojek, sampai supir angkot. bukan untuk nyari murah sih, tapi dari keseharian mereka, dan cerita sederhana mereka, kita akan dapat banyak cerita luar biasa. ya kayak pak ramli itu 🙂
Betul Yud, ngobrol dengan orang-orang seperti ini menyenangkan. kita bisa dapat banyak cerita dan kadang jadi lebih mensyukuri hidup