Belajar Di Kelas Makassar Nol Km
Membuat tulisan feature yang dalam dan penuh dengan data memang tidak mudah, perlu latihan panjang dan semangat yang konsisten. Cara-cara itulah yang coba kami pelajari bersama di Kelas Makassar Nol Kilometer.
“Deh, maceku sampe tanyakka: kenapa kau selalu pulang malam? Barang narkobako iyya?. Dia juga tanyakka: siapakah itu Awa? Pacarmu?”? Kata Anna sambil tertawa lebar dan menutupi wajahnya karena malu. Kalimat di atas kira-kira berarti: ibu saya sampai bertanya, kenapa kamu selalu pulang malam? Jangan-jangan kamu terlibat narkoba. Kemudian dia bertanya lagi: Awa itu siapa? Pacarmu?
Cerita di atas diutarakan Anna, salah seorang peserta kelas menulis dan meneliti Makassar Nol Kilometer. Gadis bertubuh subur ini kebetulan menulis tentang perjalanan panjang sebuah warung mie kering khas Makassar yang bernama mie Awa. Anna rupanya bukan orang yang suka setengah-setengah, dalam meneliti dan mengumpulkan bahan untuk tulisannya dia sampai rela pulang malam bahkan bangun subuh hanya untuk bisa ikut pemilik mie Awa ke pasar tradisional.
Anna satu dari 9 peserta kelas menulis dan meneliti bersama Makassar Nol Kilometer angkatan pertama. Kelas ini sudah berjalan 3 pertemuan, setiap sabtu sore bertempat di Kampung Buku Jl. Abdullah Daeng Sirua, para peserta hadir dan ikut dalam proses belajar yang lebih mirip proses berbagi itu. Semua duduk melantai di teras rumah yang juga berfungsi sebagai perpustakaan itu.
Selama 3 pertemuan saya selalu hadir, bukan sebagai pengajar tapi lebih kepada pendamping karena sesungguhnya di kelas ini memang tidak ada pengajar. Saya dan Anwar Rahman atau akrab disapa Jimpe lebih memilih posisi sebagai pendamping. Kebetulan saja kami sudah lebih dulu tahu sedikit tentang jurnalisme warga dan bagaimana membuat tulisan feature hasil dari pengalaman selama bertahun-tahun. Kami tak hendak sok pintar, hanya hendak berbagi apa yang kami tahu. Maka berjalanlah kelas itu selayaknya kelas berbagi, tidak ada yang lebih pintar dan tidak ada yang lebih jago dari yang lainnya.
Ketika pertama menggagas kelas ini bersama teman-teman penjaga laman Makassar Nol Kilometer lainnya saya berasumsi peserta mungkin tidak akan lebih dari 5 orang. Menulis setahu saya belum menjadi pilihan dan kesukaan banyak orang, apalagi jika menyangkut tulisan fiksi yang mungkin masih dianggap terlalu serius dan berat. Tapi saya salah karena ternyata peminat sangat jauh melampaui harapan.
Setelah pendaftaran dibuka secara resmi di laman Makassar Nol Kilometer, total ada 23 orang yang mendaftar. Sangat jauh dari harapan saya di awal. Dari 23 orang itu ada 15 tulisan yang dimasukkan. Karena dari awal kami memang berharap ini bukan sebagai kelas formal maka salah satu syarat yang diajukan adalah calon peserta harus datang dengan 1 modal tulisan fiksi. Tulisan inilah yang nantinya akan dikembangkan selama kelas berlangsung. Kami tak hendak mengajar, apalagi dengan teori-teori yang mungkin saja malah membosankan.
Tapi kamipun tak lantas menerima semua tulisan yang masuk. Ada proses sederhana untuk memilah tulisan mana yang memang punya potensi untuk dikembangkan. Dari 15 tulisan yang masuk akhirnya terpilih 9 tulisan yang menurut kami bisa dan pantas untuk dikembangkan. Beberapa tulisan lainnya lebih tepat sebagai tulisan opini, curhat dan masih kurang fokus.
Sama-Sama Belajar.
Dan akhirnya kelas perdanapun digelar tepat tanggal 1 Maret 2014. Kesembilan peserta rata-rata belum saling mengenal, mereka datang dari latar yang berbeda-beda. Ada mahasiswa, wartawan media daring, pekerja LSM hingga ibu rumah tangga. Meski latarnya berbeda-beda namun ternyata tujuan mereka sama, ingin belajar banyak tentang bagaimana menulis dan menjadi jurnalis warga yang baik. Tulisan merekapun mengangkat tema yang berbeda-beda. Ada tulisan tentang penjahit sepatu, mie kering, makam Raja Tallo, pemangkas rambut Madura, relawan Lingkar Donor Darah, musik jazz hingga gelaran Rock In Celebes. Satu kesamaan dari mereka semua, tulisan mereka sudah cukup matang untuk dikembangkan dan disempurnakan.
Karena namanya saling belajar, maka proses yang terjadi juga dua arah. Para pendamping mengeluarkan pengalaman dan pengetahuan mereka semantara para peserta juga mengeluarkan pengalaman dan pengetahuan mereka sehingga yang terjadi kemudian adalah saling menambahkan pengetahuan dari peserta dan pendamping.
Hal yang sangat menarik buat saya adalah ketika mendengar bagaimana usaha teman-teman peserta untuk mencari data yang melengkapi tulisan mereka. Mewawancarai dan mendekati nara sumber adalah pengalaman yang menarik dan berkesan bagi masing-masing peserta. Anna adalah salah satu peserta yang paling bersemangat, bukan hanya waktu dan tenaganya yang dia korbankan untuk melengkapi data tulisannya tapi juga materi karena setiap kali mendatangi Mie Awa dia harus menyantap satu porsi mie kering yang berukuran besar itu hanya supaya bisa punya alasan untuk mengobrol dengan sang pemilik.
“Itumi na saya tambah gemuk”? Katanya sambil tertawa.
Apapun risiko yang diterima, nampaknya Anna dan teman-teman yang lain tetap senang. Meski harus meluangkan waktu, tenaga dan mungkin biaya tapi mereka senang-senang saja ketika harus kembali mengecek lokasi latar tulisan mereka atau menemui narasumber yang menguatkan tulisan mereka. Belum lagi mencari data lain yang bisa memperkuat tulisan mereka.
Membuat tulisan feature yang dalam dan penuh dengan data memang tidak mudah, perlu latihan panjang dan semangat yang konsisten. Tapi ketika tulisan itu sudah selesai maka rasa leganya mengalahkan semua proses berat yang terlewati. Dalam beberapa hari ke depan mungkin kita akan sama-sama membaca tulisan hasil belajar bersama teman-teman di kelas Makassar Nol Kilometer. Mari menantikannya. [dG]