10 Muharram, ada yang demo, ada yang belanja.
Tanggal 19 Januari tahun ini disambut dengan agak tidak biasa oleh warga Sulawesi Selatan. Sejak beberapa hari sebelumnya tanggal 19 Januari ini sudah menjadi perbincangan hangat di kalangan warga. Apalagi kalau bukan soal kemungkinan bakal ramainya aksi unjuk rasa para pendukung Gubernur terpilih vesi KPUD, Syahrul Yasin Limpo-Agus Arifin Nu’mang.
Sebagian besar warga mengkuatirkan timbulnya aksi kekerasan yang berujung pada kekacauan besar-besaran pada tanggal tersebut. Proses hukum atas hasil Pilkada bulan November 2007 kemarin memaksa tertundanya pasangan Syahrul Yasin Limpo-Agus Arifin Nu’mang dilantik menjadi gubernur Sulawesi Selatan. Berhembus isu kalau para pendukung pasangan ini akan berusaha melumpuhkan perekonomian di kota Makassar.
Pada hari Sabtu 19 Januari, konsentrasi massa memang sempat terjadi. Tepatnya di rumah dinas Gubernur Jl. Jend. Sudirman. Kekacauan besar yang dikhawatirkan tidak sampai menjadi kenyataan. Tapi tanpa disadari banyak pihak, di beberapa titik di kota Makassar juga sedang terjadi konsentrasi massa dalam jumlah cukup besar. Bedanya konsentrasi massa ini tidak ada hubungannya sama sekali dengan politik ataupun masa depan pemerintahan di Sulawesi Selatan.
Konsentrasi massa ini terjadi di pusat-pusat pertokoan, utamanya yang memperdagangkan alat-alat rumah tangga. Sebagian besar massa yang menyerbu pusat-pusat pertokoan tersebut adalah ibu-bu dan remaja putri, sisanya adalah kaum lelaki yang mengantar istri, keluarga atau pasangan mereka. Ada apa gerangan? Rupanya konsentrasi massa ini ada kaitannya dengan hari 10 Muharram 1429 H yang jatuh tepat pada tanggal 19 Januari.
Dalam tradisi sebagian masyarakat Bugis-Makassar, tanggal 10 Muharram dipercayai sebagai waktu yang paling tepat untuk berbelanja, utamanya barang-barang kebutuhan rumah tangga. Tak heran bila pada setiap tanggal 10 Muharram toko-toko,pusat perbelanjaan ataupun pasar-pasar tradisional menjadi lokasi yang ramai diserbu oleh mayoritas Ibu-ibu rumah tangga.
Tadisi turun temurun
Tidak ada catatan pasti tentang kapan sebenarnya kebiasaan ini menjadi sebuah tradisi bahkan cenderung menjadi ritual yang lazim dilakukan setiap tahun. Beberapa ibu-ibu rumah tangga yang saya temuipun tak ada yang bisa menjelaskan latar belakang dari tradisi ini. Rata-rata mereka hanya mengatakan kalau tradisi ini sudah dilakukan keluarga mereka sejak dulu kala. Turun temurun dari nenek moyang dan tetap mereka pertahankan hingga kini.
Ada juga yang mengatakan kalau tradisi berbelanja di tanggal 10 Muharram adalah sunnah nabi sembari menunjukkan selebaran berisi beberapa hal yang disarankan untuk dilakukan pada tanggal 10 Muharram. Saya melihat memang ada point yang mengatakan bahwa pada tanggal 10 Muharram keluarga sebaiknya membelanjakan sebagian hartanya untuk anak istri dengan harapan Allah akan melapangkan keuangannya dalam masa satu tahun ke depan. Tapi kenapa harus alat-alat rumah tangga?
Para ibu-ibu yang bersemangat menjalankan ritual tahunan ini memberikan jawaban yang rata-rata hampir sama ketika ditanya alasan kenapa harus berbelanja alat-alat rumah tangga. Berdasarkan pemahaman yang ditanamkan secara turun temurun dari nenek moyang mereka, mereka percaya kalau alat-alat rumah tangga yang dibeli tepat pada tanggal 10 Muharram akan memberikan rejeki lebih.
Daftar utama barang-barang yang katanya wajib untuk dibeli memang berisi barang-barang yang biasa kita temukan di dapur atau kamar mandi. Contohnya ember, gayung, tempat beras, tudung saji, panci, sendok dan barang-barang lainnya. Kenapa harus barang-barang itu?
Barang-barang seperti ember dan gayung mereka percaya sebagai simbol dari usaha untuk meraup rejeki. Gayung yang dibeli pada tanggal 10 Muharram dipercayai akan membantu mereka untuk bisa “menimba” rejeki sebanyak-banyaknya. Ember adalah simbolisasi tempat rejeki. Ember yang dibeli di tanggal 10 Muharram tersebut dipercaya dapat menampung rejeki mereka, bahkan ada yang percaya semakin besar ember yang dibeli maka akan semakin besar juga rejeki yang akan mereka dapatkan.
Tempat beras, tudung saji dan barang-barang lainnya juga dipercaya bisa mendatangkan khasiat yang sama. Harapan mereka, rejeki utamanya dalam bentuk beras yang adalah makanan pokok orang Indonesia tidak akan pernah surut bila barang-barang yang mereka gunakan adalah barang-barang yang dibeli khusus pada tanggal 10 Muharram.
Entah apakah tradisi dan kepercayaan ini hanya ada di Sulawesi Selatan, khususnya pada masyarakat Bugis Makassar saja. Beberapa kerabat yang berada di daerah lain di luar Sulawesi Selatan mengaku tidak pernah menemukan tradisi serupa di daerah lain.
Tak terpengaruh isu demonstrasi
Hari Sabtu tanggal 19 Januari yang lalu, salah satu toko yang paling ramai diserbu oleh ibu-ibu adalah toko Alaska Jl. Pengayoman. Toko yang mengkhususkan diri menjual barang-barang kebutuhan rumah tangga dan alat-alat elektronik ini memang selalu menjadi tujuan favorit setiap tanggal 10 Muharram. Harganya yang relatif lebih murah dengan berbagai variasi barang menjadikan toko ini selalu menjadi pilihan utama.
Sejak pagi hari Alaska sudah sesak oleh para pembeli yang datang seperti bergelombang dan tak pernah putus. Para petugas nampak agak kewalahan melayani para pembeli. Sementara itu membludaknya para pengunjung yang datang dengan kendaraan pribadi membuat ruas jalan Pengayoman menjadi macet. Kendaraan yang diparkir meluber sampai ke pinggir jalan. Beberapa bahkan harus parkir puluhan meter dari toko karena sudah tidak adanya lagi tempat yang kosong.
Maraknya isu akan terjadinya demo besar-besaran yang berbuntut pada aksi kekerasan nampaknya tidak mengendurkan niat para pengunjung.
Hafidah Fattah, seorang karyawati pada sebuah perusahaan swasta yang juga merupakan ibu rumah tangga mengakui kalau belanja pada tanggal 10 Muharram memang sudah menjadi tradisi yang rutin dia lakukan setiap tahun. Meskipun begitu dia tidak pernah memberikan alokasi dana khusus untuk keperluan tersebut. Jenis barang yang dibeli juga disesuaikan dengan kebutuhan.
?
Tahun lalu ibu ini sudah membeli sebuah ember besar yang kebetulan memang dia butuhkan sebagai pengganti bak air di kamar mandinya. Tahun ini Ibu Hafidah hanya membeli barang-barang kecil semisal gayung dan barang-barang plastik lainnya. Dana yang dikeluarkan juga tidak terlalu besar, yang penting katanya dia hanya menjalankan ritual yang sudah terlanjur dia yakini khasiatnya.
Berita tentang aksi demo para pendukung Syahrul Yasin Limpo membuat ibu ini berserta teman-teman kantornya yang lain harus menunggu sampai sore untuk menyerbu pusat perbelanjaan. Mereka terlebih dahulu memastikan kalau situasi kota tetap aman sebelum beramai-ramai bergabung dengan ratusan ibu-ibu lain yang sudah lebih dahulu berada di pusat perbelanjaan.
Di depan toko Alaska dengan mudah bisa kita temui ibu-ibu yang berlalu lalang dengan kantongan plastik berwarna hijau yang berisikan alat-alat rumah tangga yang sudah mereka beli. Di wajah mereka tergambar harapan-harapan yang besar semoga di tahun ini rejeki yang mereka dapatkan akan lebih besar dari dari tahun-tahun kemarin.
Dan begitulah, tepat di tanggal 19 Januari 2008 atau 10 Muharram 1429 H, sementara ratusan orang warga Sulawesi Selatan sibuk berdemonstrasi sampai akhirnya menduduki rumah jabatan Gubernur, ratusan lainnya sibuk menyerbu dan seakan-akan menduduki berbagai pusat perbelanjaan. Untunglah semuanya berakhir aman dan damai. [dG]
Tulisan menarik de-gas
walaupun buat saya ini sangat ironis, terutama karena momentum peristiwa 10 Muharram telah demikian bergeser pemaknaannya.
akhirul kalam,
sudah di p-kan ini?
he4
di “P” kan..?, nassamiiii….
orang ini dibikin memang untuk di ‘P” kan koq…:)