Update Kasus UU ITE; Dari Fadhli ke Wisni

Fadhli Rahim, terpidana kasus UU ITE di Gowa. (foto: Iqbal Lubis)
Fadhli Rahim, terpidana kasus UU ITE di Gowa. (foto: Iqbal Lubis)

Entah sudah berapa kali saya menulis tentang beragam kasus UU ITE yang terjadi di negeri ini. Dua di antaranya masih sedang bergulir, kasus Fadhli Rahim di Gowa dan kasus ibu Wisni Yetty di Bandung. Dua-duanya sama, disangkakan pasal 27 ayat 3 UU ITE meski dengan latar yang sedikit berbeda.

Kasus Fadhli di Gowa.

Fadhli Rahim, PNS asal kabupaten Gowa Sulawesi Selatan tersandung kasus UU ITE akibat ucapannya di grup LINE. Ucapan yang menuduh bupati Gowa tidak inovatif dan memungut fee dari investor itu diteruskan seseorang ke sang bupati dan membuat Fadhli terseret ke pengadilan.

Senin 9 Februari kemarin sidang Fadhli memasuki pembacaan tuntutan. ?Jaksa penuntut umum pengadilan negeri Sungguminasa menuntut pria yang sehari-harinya bertugas di Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Gowa ini dengan hukuman penjara 1 tahun 6 bulan. Pasal yang digunakan jaksa adalah pasal 27 ayat 3 UU ITE.

Menurut jaksa penuntut umum, Fadhli sudah terbukti sengaja mengeluarkan perkataan yang mencemarkan nama baik bupati Gowa Ichsan Yasin Limpo. Fadhlipun sudah terbukti sengaja mentransmisikan dan mendistribusikan pernyataan itu ke grup LINE sehingga dapat dibaca dan diakses oleh penghuni grup lainnya.

Logika jaksa penuntut umum ini sebelumnya sudah dibantah oleh saksi ahli dari ICT Watch Donny BU yang bersaksi seminggu sebelumnya. Dalam kesaksiannya Donny BU mengatakan kalau percakapan di grup LINE yang hanya beranggotakan 7 orang itu seharusnya dikategorikan sebagai perbincangan privat dan bukan untuk konsumsi publik. Kalau pembicaraan itu sampai keluar dari grup dan diakses oleh orang lain maka itu adalah perbuatan ilegal dan karenanya pihak yang mentransmisikannya adalah pihak yang paling tepat untuk dikenai hukuman.

Sampai sekarang pelaku transmisi percakapan itu memang masih belum ketahuan. Hasni, salah seorang anggota grup yang ditengarai sebagai pelaku yang meneruskan percakapan itu ke bupati Gowa sampai saat ini masih membantah. Hasni mengaku kalau dia hanya memotret percakapan itu, bukan melakukan cetak layar (print screen). Meski menolak mengakuinya, tapi bukti yang diajukan di persidangan memperlihatkan posisi perbincangan yang menunjukkan kalau print screen tersebut diambil dari handphone milik Hasni.

Dalam persidangan Senin kemarin ibunda Fadhli Rukmini mengamuk di persidangan selepas pembacaan tuntutan oleh Jaksa. Guru SMA yang baru saja dimutasi ke Parangloe (sekira 40 km dari rumahnya) ini menuding bupati Gowa tidak berperasaan. Anaknya dipidanakan dan dirinya yang dua tahun lagi akan pensiun juga kena getahnya.

“Saya tidak terima. Jaksa sangat memaksakan tuntutan kepada anak saya,” katanya seperti yang dikutip dari Tempo Makassar. Ibunda Fadhli kemudian melanjutkan, “Ini namanya pembantaian terhadap ibu dan anak. Tidak ada pembinaan. Kami diperlakukan seperti seorang kriminal saja.”

Senin depan (16/2) sidang Fadhli akan memasuki agenda pembelaan.

Kasus Wisni Yetty di Bandung.

Sementara Fadhli masih bergelut dengan kasusnya, nun jauh di tanah Parahyangan ibu Wisni Yetty juga masih harus berjuang untuk membela dirinya. Ibu rumah tangga berdarah Padang ini tersandung kasus UU ITE atas laporan mantan suaminya sendiri. Awalnya dari laporan KDRT yang diajukan si ibu yang kemudian dibalas dengan laporan sang suami menggunakan UU ITE dengan bukti percakapan inbox FB ibu Wisni dan temannya.

Kasus KDRT yang dilaporkan ibu Wisni berhenti di tengah jalan sementara laporan sang suami ditanggapi dengan cepat.

Sidang kasus ibu Wisni Yetti ini ternyata juga menyimpan beberapa kejanggalan. Berikut ini kejanggalan yang saya himpun dari beberapa sumber:

  1. Bukti cetak (print out) percakapan ibu Wisni dengan teman Facebook-nya yang diserahkan ke pengadilan ternyata berbeda dengan percakapan aslinya. Hal ini terungkap setelah polisi melakukan uji forensik digital.
  2. Saksi yang mengaku mencetak percakapan itu mengaku kalau bukti yang dibawa ke pengadilan berbeda dengan bukti yang dia cetak. Dari total 200 lbr bukti percakapan yang dia cetak, yang muncul di persidangan adalah 900 lbr percakapan.
  3. Terdakwa mengakui kalau memang terjadi percakapan di inbox FB, tapi sekaligus membantah kalau percakapan tersebut sampai mengandung unsur pornografi seperti yan disangkakan oleh mantan suaminya.
  4. Unsur percakapan via inbox Facebook dianggap tidak cukup kuat untuk dijadikan bukti karena dilakukan di ruang privat dan bukan di depan umum.

Meski sudah ada kejanggalan dari kasus ibu Wisni ini tapi persidangan tetap dilanjutkan. Ibu Wisni terancam dibui 6 tahun penjara atau denda 1 miliar rupiah sesuai pasal 27 ayat 3 UU ITE. Sementara itu kasus KDRT yang dilaporkannya masih mengendap entah sampai kapan.

Kalau sudah begini, apa kabar keadilan? [dG]