Tips Menulis Opini
Ini adalah catatan dari Kelas Menulis Opini yang diadakan oleh Kelas Menulis Kepo. Pematerinya adalah salah satu penerima beasiswa Tempo Institute.
SABTU DAN MINGGU (16-17 JULI) kemarin, Kelas Menulis Kepo kembali menggelar kelas ekstrakurikuler. Kelas kali ini mengambil tema “Menulis Opini”. Kebetulan salah satu peserta Kelas Menulis Kepo yaitu Halia Asriyani atau Alya baru saja mendapatkan beasiswa dari Tempo Institute untuk mengikuti Kelas Menulis Opini yang diadakan oleh Tempo. Nah, hasil dari pelatihan itulah yang ingin dibagikannya kepada peserta Kelas Menulis Kepo.
Agenda kelas memang digelar dua hari, satu hari untuk teori yang diselingi pembuatan kerangka tulisan sedang hari kedua adalah pra tinjau tulisan yang sudah dibuat.
Luar biasa ya? Akhir pekan bukannya bersantai atau berlibur ke mana gitu, minimal bermalas-malasan di kamar, eh ini malah sibuk belajar. Memang luar biasa anak muda ini ckckck. Pantas saja mereka susah dapat pasangan #eh
Tiap media memang punya standarnya sendiri untuk rubrik opininya. Tulisan opini saya sudah pernah dimuat di media lokal, tapi tentu saja belum jadi kebangaan yang besar. Buktinya, ketika dibedah, tulisan opini yang sudah dimuat di media cetak lokal itu masih ada banyak kekurangan. Makanya saya semangat juga untuk ikut kelas berdurasi dua hari itu.
Di tulisan ini saya akan coba untuk menulis sedikit tentang materi yang dibagikan kemarin, tentang bagaimana menulis opini khususnya kalau mau menembus media cetak. Sebenarnya menulis opini buat para blogger bukan hal yang baru kan? Sebagian besar dari blogger pasti sudah pernah menulis opini di blognya masing-masing, tentu dengan gaya atau aturannya sendiri. Ada yang opininya dangkal atau emosional, ada juga yang penuh dengan data.
Mau ikut lomba blog? Ini ada tips dari saya. Baca di sini ya
Apa yang dipelajari di Kelas Menulis Opini kemarin adalah panduan untuk membuat tulisan bergenre opini sesuai dengan standar media nasional, utamanya Tempo.
Dasar Penulisan Opini
PADA DASARNYA TULISAN OPINI adalah tulisan yang berisikan pendapat pribadi sang penulis. Opini bisa berbasis pada berita yang kemudian dikomentari oleh si penulis dari sudut pandangnya sendiri. Opini yang bagus adalah yang penuh dengan data dan fakta, bukan asal opini apalagi yang membawa-bawa emosi pribadi.
Kalau mau tulisan opini kamu dimuat di media cetak maka salah satu syarat utamanya adalah opini tersebut harus faktual atau berdasarkan kenyataan dan mengandung kebenaran serta menawarkan kebaruan ide. Sebaiknya isu yang disorot dalam opini tersebut sejalan dengan sebuah isu yang sedang hangat saat ini.
Misalnya, kamu menulis opini tentang kasus perundungan terhadap mahasiswa autisme di Gunadarma. Kemungkinan besar opini kamu akan dimuat dibandingkan dengan opini tentang pesta pertunangan Raisa-Hamis Daud misalnya. Alasannya karena kejadian pertama itu sedang hangat-hangatnya dibicarakan dibanding kejadian kedua.
Oh iya hampir lupa. Media besar seperti Tempo, Kompas, Jawa Pos atau Republika dan teman-temannya biasanya melihat benar latar belakang sang penulis opini. Apakah opini yang dia tulis sesuai dengan kapasitasnya? Kalau iya maka tentu saja tulisannya akan punya kesempatan tayang lebih besar. Orang seperti saya misalnya, tentu akan dipertanyakan kapasitasnya bila menulis opini tentang politik Timur Tengah. Lah, siapa saya? Dokter gigi bukan, pengamat Timur Tengah bukan, kenapa ujug-ujug menulis opini tentang politik Timur Tengah?
Untuk media besar sekelas yang saya sebut di atas, latar belakang penulis opini memang banyak diisi oleh para praktisi atau akademisi. Mereka yang namanya sudah jadi jaminan dan tentu saja kapasitanya sesuai dengan topik yang dia bahas.
Hal lain yang harus diperhatikan adalah ideologi dari media bersangkutan. Kalau kamu menulis opini tentang keruhanian atau sesuatu yang berhubungan dengan keislaman, maka media yang tepat adalah Republika. Media ini memang fokus pada isu-isu seperti itu bukan? Sebaliknya, kalau mau menulis tentang pluralisme atau hal-hal yang berkaitan dengan isu sosial atau politik maka media seperti Kompas atau Tempo adalah tempat yang tepat. Kesesuaian ideologi dengan media tujuan tentu akan memperbesar peluang tulisan kita ditayangkan.
Perhatikan juga syarat teknis yang ditentukan media-media tersebut. Tempo misalnya, mereka menetapkan maksimal jumlah karakter dalam tulisan opini adalah 5000 karakter, sedang Kompas menetapkan jumlah 5000 sampai 7000 karakter. Kurang atau lebih dari jumlah itu akan sangat memengaruhi editor untuk meneruskan mengedit tulisan kamu atau tidak.
Teknik Penulisan Opini
SECARA UMUM TULISAN OPINI yang baik itu memuat empat hal sebagai berikut:
- Menjelaskan masalah yang menjadi fokus utama dari tulisan tersebut.
- Menafsirkan atau memberi konteks terhadap masalah tersebut.
- Menganalisis baik latar belakang atau penyebab dari munculnya masalah tersebut, dan
- Memberikan alternatif atau solusi pemecahan masalah tersebut.
Semua masalah sebenarnya bisa menjadi ide untuk sebuah tulisan opini. Sebuah isu lokal juga bisa diangkat menjadi isu nasional, contohnya tentang persiapan pemilihan gubernur SulSel yang sekarang sudah mulai memanas. Kita bisa menuliskan opini terkait praktik kampanye atau perang antar bakal calon kandidat.
Seperti halnya tulisan-tulisan lain, lead atau alinea pertama dari tulisan opini sudah harus memikat. Dalam sehari seorang editor media (apalagi media nasional) pasti menerima begitu banyak tulisan opini. Mereka tidak mungkin membaca dengan seksama satu per satu tulisan yang masuk, jadi teknik yang digunakan adalah membaca lead dari tulisan yang terkirim. Apakah lead itu menarik atau tidak? Kalau menarik maka besar kemungkinan editor akan membacanya hingga tuntas. Tapi kalau tidak menarik, hmm…bisa jadi editor akan bergumam, “next!”
Lalu bagaimana teknik membuat lead yang bagus? Beberapa tips dari Alya (meneruskan tips dari Tempo Institute yang diterimanya) adalah:
Pertama, buatlah lead yang ringkas dan tidak bertele-tele. Sejak awal jelaskan dengan gamblang apa yang kamu akan bahas. Tidak usah memulai dengan bahasa yang mendayu-dayu atau terlalu deskriptif. Opini tidak membutuhkan itu.
Kedua, gaet pembaca sejak awal. Lead yang bagus akan membuat pembaca betah dan kemudian meneruskan membaca hingga akhir. Sementara lead yang bertele-tele akan langsung membuat pembaca bosan dan malas.
Ketiga, gunakan kata-kata aktif seperti “menendang, melakukan, menandatangani” dan bukan kata-kata pasif seperti “ditendang, dilakukan, ditandatangani”.
Keempat, jangan gunakan kata-kata seperti: dalam rangka, setelah itu, pada suatu hari dan kata-kata sejenisnya yang tidak menunjukkan kejelasan.
Ingat! Lead itu hanya pengantar. Ada hal-hal lain yang juga sangat penting dalam sebuah tulisan opini. Hal tersebut yang pertama adalah struktur tulisan. Tulisan apapun (bukan hanya opini) harus punya struktur yang bagus, mengalir dari awal hingga akhir dan terbangun dengan argumen yang kuat dan alur yang tidak tersendat. Opini juga bisa diperkuat dengan hasil wawancara narasumber, namun penyajiannya tentu berbeda dengan penyajian di tulisan reportase atau feature.
Membuat struktur yang bagus ini memang tidak mudah, butuh latihan. Tapi intinya, kita harus bisa dengan jernih menjelaskan fakta dan data yang kita punya, kemudian menunjukkan opini dan keberpihakan kita pada sebuah isu yang dibahas, lalu ditutup dengan tawaran solusi atau alrternatif yang tentunya berbasis data juga.
Sebuah tulisan opini juga diharapkan tidak terlalu emosional dan menggebu-gebu. Opini yang terlalu emosional dan menggebu-gebu konon adalah bukti kedangkalan data si penulis. Mereka hanya bisa berteriak penuh emosi, tapi tidak tahu bagaimana cara membela opininya. Eh, kedengaran familiar ya?
Satu hal lagi yang ditekankan oleh Alya adalah pemilihan judul dalam sebuah opini. Tempo adalah media yang terkenal dengan judul-judulnya yang kadang terasa nakal dan menggelitik, tapi sekaligus menarik perhatian. Misalnya, salah satu opini memilih judul “Goyang-goyang Pucuk Beringin.” Judul ini menyoroti kisruh (waktu itu) para petinggi partai Golkar. Beringin tentu akrab dengan partai itu, dan kata “goyang-goyang” menggambarkan kisruh itu
Persoalan judul ini juga agak-agak tricky. Butuh latihan panjang dan banyak membaca agar kita bisa dengan gampang memilih judul yang menarik.
Menulis opini sebenarnya hampir sama dengan menulis genre lain. Bedanya hanya bahwa opini tidak boleh berpanjang-panjang. Opini harus singkat, padat dan jelas. Opini pun tidak lepas dari dasar jurnalisme yaitu 5W1H (saya baru tahu kalau Tempo menggunakan istilah ADIK SIMBA).
Kira-kira itulah intisari berita, eh maksud saya intisari pelatihan menulis opini yang diadakan oleh Kelas Menulis Kepo. Terima kasih ibu guru Alya yang sudah mau membagikan ilmu mahalnya kepada kami di Kelas Menulis Kepo. Semoga habis ini, tulisan opini kami di blog semakin kuat dan mungkin suatu hari nanti bisa menembus media nasional.
Semoga juga ibu guru yang cantik dan cerdas itu segera beroleh pasangan hidup yang setara. Aminn [dG]
Serunya ternyata Kelas Kepo, daeng. Selain belajar tentang blog, belajar tentang Opini yang baik dan benar juga. Semoga bisa join Kelas Kepo yang berikutnya. 🙂
hihihi Insya Allah…kalau ada kelas lagi pasti akan diumumkan
mantap gan infonya.. memang beropini itu perlu