Tentang Perang Tagar

ilustrasi
ilustrasi

Perang tagar jadi salah satu cara untuk kampanye, baik produk maupun pikiran. Sayang, perang tagar banyak yang tak lagi efektif dan malah sia-sia.

BELUM SETAHUN MEMIMPIN INDONESIA, Jokowi sudah menuai banyak hadangan. Terang-terangan maupun gelap-gelapan. Hadangan gelap datang dari sejumlah orang besar yang ditengarai berada di belakang beberapa masalah seperti beras impor, kereta cepat hingga perkara bongkar muat di pelabuhan Tanjung Priok. Belum lagi sikap beberapa pembantu beliau yang secara tersirat seperti melakukan pembangkangan pada perintah atasan.

Hadangan terang-terangan tentu datang dari kubu yang dulu menjadi lawan politiknya pada pemilihan presiden 2014. Bukan hanya pelakunya tapi juga para pendukung lawan politiknya. Beragam opini muncul untuk menyudutkan pak presiden, termasuk tentu saja serangan digital yang menyeruak di berbagai media sosial, salah satunya Twitter.

Beberapa waktu belakangan ini tagar atau hashtag yang “menyerang” sang presiden bermunculan di lini masa Twitter. Ada yang berbunyi #JokowiBukanKita #JokowiTurunDollarTurun sampai beberapa tagar lain yang rasanya mulai tidak sopan.

Di sisi lain, para pendukung Jokowi juga meluncurkan tagar tandingan yang seperti berusaha menghadang laju pengguna tagar serangan tersebut. Akhirnya perang tagar terjadi di dunia maya, saling serang antara pendukung dua kubu yang berseberangan.

Kemarin (6/10), secara kebetulan saya membaca dua tulisan tentang perang tagar ini. Satu dari Pakde Blontang dan satunya lagi dari Mas Damar. Keduanya menyoroti hal yang sama, tentang perang tagar yang terjadi di dunia maya.

Dalam tulisannya, Pak De Blontang menyoroti sikap para pembuat tagar yang menurutnya keluar dari konteks pertarungan yang sebenarnya. Satu pihak hanya menyerang membabi-buta dengan mengesampingkan objektivitas apalagi kejujuran sementara pihak lainnya juga bertahan dengan mengesampingkan objektivitas dan pokoknya junjungannya selalu benar.

Soal penggerak tagar yang menyerang bapak presiden, Pakde Blontang hanya mengupasnya sedikit. Toh secara umum kita sudah tahu apa yang sebenarnya berada di dalam batok kepala mereka para pembenci Jokowi itu. Apapun yang dilakukan Jokowi tak ada yang benar, semua salah dan pasti ada salahnya. Dalam menjalankan aksinya para pembenci (haters) itu bisa saja meluncurkan fitnah yang ketika tidak terbukti kebenarannya mereka enggan untuk meminta maaf.

Dalam tulisannya, Pakde Blontang lebih menyoroti para pendukung Jokowi yang seperti kehilangan nalar untuk mendukung Jokowi dan malah terseret arus dalam pertarungan tagar yang sejatinya tidak penting-penting amat.

Saya kutip salah satu paragraf dalam tulisan Pakde Blontang:

Jika Support Presiden RI dimaksudkan sebagai bentuk ‘nyata’ dukungan kepada presiden, menurut saya justru aneh. Bukankah bentuk support paling nyata dari pendukung Jokowi adalah menunjukkan kekurangan Pak Presiden sambil memberi alternatif solusi , atau menunjukkan buruknya kinerja kabinet dan aparatur negara?

Saya bisa menyimpulkan kalau buat Pakde Blontang, perang tagar dan meladeni para haters sia-sia saja apalagi kalau menurutkan nafsu dan emosi yang mulai terpancing. Lebih baik ikut memberi bantuan kepada Jokowi dengan menunjukkan semua kekurangannya atau kekurangan kabinetnya, mungkin seperti itu yang dimaksud Pakde Blontang.

*****

DI TULISAN LAIN, Mas Damar yang seorang aktivis kebebasan berpendapat di internet juga mengomentari tentang perang tagar dalam kaitannya dengan kebebasan berpendapat di era digital. Secara singkat Mas Damar menyayangkan riuh rendahnya pertempuran tagar yang keluar dari konteks dan seakan-akan tidak lebih dari kekerasan tekstual semata.

Ada beberapa contoh dari sia-sianya keriuhan perang tagar itu, apalagi yang berawal dari perang cuitan atau tweet war. Kita mungkin masih ingat bagaimana dua pengguna akun @redinparis dan @panca66 beradu jotos di Februari 2015 yang berawal dari perang di Twitter.

Meski begitu Mas Damar juga menunjukkan satu fakta positif bagaimana perang tagar di dunia maya pada periode pemilihan presiden tahun 2014 tahun lalu berhasil memaksa banyak orang yang awalnya apatis dan memilih golput menjadi tergerak untuk menjatuhkan pilihan. Contoh ini disebut Mas Damar sebagai bukti bagaimana teknologi digital bila dimanfaatkan sebaik-baiknya bisa dipakai untuk membuat wacana tandingan.

Saya kutip satu paragraf dari tulisan Mas Damar:

Perang hestek yang sesungguhnya adalah yang menyediakan kontestasi wacana. Saat terjadi kontestasi wacana tersebut, netizen sebagai bagian dari masyarakat digital bisa memilah dan menyatakan keberpihakannya berdasarkan argumentasi logis dari wacana yang dipertarungkan. Maka ketika kontestasi wacana tidak terjadi dan malah berujung pada caci maki, sakit hati dan bahkan ada yang terluka karena berbeda pendapat, yang terjadi bukanlah demokrasi digital, melainkan sekedar kekerasan tekstual.

Ada satu hal yang sama-sama disoroti oleh Pakde Blontang dan Mas Damar, yaitu; trending topic. Trending topic adalah pengelompokan tagar yang dilakukan oleh Twitter dengan algoritma tertentu yang kemudian mengeluarkan hasil berupa tagar mana saja yang termasuk tagar paling populer entah di dunia ataupun di area tertentu. Posisi dalam trending topic yang kemudian dijadikan tujuan utama para pencipta tagar, utamanya tagar dengan tujuan tertentu.

Dalam mencapai tujuan mereka, berbagai cara dikerahkan. Bukan semata mengundang banyak orang untuk menggunakan tagar yang sama tapi juga menggunakan bot atau akun bukan manusia. Twit yang muncul kemudian tidak melulu berhubungan dengan konteks wacana yang diusung tapi bisa berupa twit apa saja yang sama sekali tidak ada hubungannya. Dalam wacana perang tagar, penggunaan bot ini tentu saja sudah mereduksi muatan utama yang diusung. Trending topic hanya jadi tujuan yang berdasarkan pada kuantitas, bukan kualitas.

Buat saya, perang tagar yang hanya berakhir pada keinginan untuk masuk trending topic tanpa mengutamakan kualitas wacana yang diusung hanya akan sia-sia belaka. Buang-buang waktu dan energi dan tak ada untungnya buat kita meski saya yakin tetap membawa untung buat pihak-pihak tertentu. [dG]