Teman Online Yang Tidak Offline

Ilustrasi (Sumber: bitrebels.com)
Ilustrasi
(Sumber: bitrebels.com)

Sebuah pertanyaan, benarkah teman dunia maya itu adalah teman? Atau sekadar tempat kita saling mention atau saling bertukar komentar?

Sore kemarin saya dan Made dapat kesempatan berkopdar ria dengan Eka, salah seorang blogger wanita yang namanya cukup harum di dunia blogger Indonesia. Kami bertemu di Fort Rotterdam, di sore hari ketika matahari perlahan mulai terbenam. Bahan obrolan kami beragam, dari mulai soal dunia kepegawaian negeri sesuai latar pekerjaan Eka sampai ke dunia blogging, komunitas dan media sosial yang sama-sama kami geluti.

Dari Fort Rotterdam kami beranjak ke Kampung Popsa yang berada tepat di depannya. Di sana obrolan makin hangat dan makin melebar kemana-mana.

Dari sekian banyak obrolan itu ada satu hal yang buat saya cukup menarik. Eka kebetulan curhat tentang satu kejadian ketika suaminya terkena suatu penyakit yang entah apa namanya. Sudah periksa darah segala macam, penyakitnya tetap tidak ketahuan. Stress dan kelelahan Eka menumpahkan perasaannya di media sosial. Sontak dalam sekejap ucapan pemberi semangat berdatangan dari teman-teman online-nya.

Eka merasa biasa saja awalnya. Dia katanya baru berpikir ketika melihat kenyataan kalau ternyata tidak ada satupun dari teman-teman online-nya itu yang datang langsung menjenguk dan memberi semangat. Berbeda dengan teman-teman offline dari kantor, tetangga sampai ibu-ibu arisan RT yang berbondong-bondong datang menjenguk.

Secara interaksi teman-teman yang datang menjenguk itu tidak punya interaksi yang sama lekatnya dengan teman-teman online yang tiap hari berbalas mention atau berbalas komentar. Sementara pada teman-teman yang datang menjenguk itu mereka hanya sesekali bertegur sapa, kadang hanya bertemu sekali sebulan ketika arisan tiba.

“Gue ngerasa teman-teman online gue jadi gak nyata. Mereka hanya ada di dunia maya, sementara di dunia nyata justru teman-teman offline yang beneran ada.” Kata Eka. “Gimanapun, gue tetap butuh bahu buat bersandar atau minimal tepukan di bahu ketika gue benar-benar lagi down.” Sambungnya lagi.

*****

Cerita Eka itu membekas cukup lama di kepala saya. Menjadi bahan pikiran, benarkah memang teman-teman di dunia maya itu sebagaimanapun dekatnya tetap saja tidak nyata?

Saya tidak tahu apakah kasus yang terjadi pada Eka itu kasuistik atau tidak, tapi membandingkanya dengan diri saya rasanya saya tidak seperti itu. Entah saya beruntung atau tidak, tapi teman-teman yang akrab dengan saya di dunia maya rasanya juga jadi teman akrab di dunia nyata.

Sebenarnya tidak tepat kalau menyebut kami geng, tapi setidaknya ada 4 atau 5 orang dari kami yang bisa dibilang hampir setiap hari berkumpul di sebuah kedai. Kami dipertemukan oleh dunia maya, entah dari blog ataupun twitter. Dari sana interaksi hangat terjalin yang kemudian membuat kami malah akrab di dunia nyata.

“Atau mungkin ini hanya terjadi di Jakarta aja ya?” Tanya Eka.

Saya mengangguk dan sedikit membenarkan. Apa yang dialami Eka mungkin saja dialami oleh banyak orang Jakarta lainnya. Kondisi Jakarta dengan persaingan dan tekanan kerja yang berat membuat banyak orang sulit untuk bersosialisasi dengan nyata. Itu belum termasuk kondisi geografis yang luas dan hampir dihiasi macet dimana-mana. Sulit membayangkan orang Jakarta Utara bisa melipir sejenak ke Jakarta Selatan hanya untuk sekadar nongkrong-nongkrong di warung kopi dengan teman-teman online mereka minimal dua kali seminggu.

Hal yang berbeda terjadi pada kami di Makassar. Makassar tidak seberapa luas dan meski sudah mulai sering macet, tingkatnya masih di bawah tingkat kemacetan Jakarta. Akibatnya banyak teman-teman online yang dengan mudahnya bisa bertemu dengan sesama teman online di banyak tempat hampir setiap hari. Seperti saya dan beberapa teman misalnya. Akibatnya keakraban di dunia maya terbawa ke dunia nyata.

Mengutip John Greene:

?I dislike the phrase “Internet friends,” because it implies that people you know online aren’t really your friends, that somehow the friendship is less real or meaningful to you because it happens through Skype or text messages. The measure of a friendship is not its physicality but its significance. Good friendships, online or off, urge us toward empathy; they give us comfort and also pull us out of the prisons of our selves.

Mungkin memang benar, di dunia yang semakin riuh dengan perkembangan internet yang semakin luar biasa ini teman sudah bisa dikategorikan dalam dua kategori; teman dunia nyata dan teman dunia maya.

Bagaimana dengan Anda? [dG]