Selepas Mengunjungi Galeri Privasi
Sebuah catatan tentang kesan setelah mengunjungi Galeri Privasi. Sebuah karya seni instalasi tentang privasi dan perlindungan data pribadi.
Warganet Indonesia, khususnya pengguna Twitter mungkin tidak akan lupa sebuah kejadian setahun lalu ketika seorang pemilik akun Twitter dengan pengikut besar – di atas 10 ribu pengikut – membagikan data pribadi seseorang di akunnya. Semua bermula dari sebuah video yang menampakkan seorang warga mengancam ingin memenggal kepala presiden Joko Widodo. Si pemilik akun Twitter berpengikut besar itu, yang memang terkenal sebagai salah satu pendukung Joko Widodo kemudian mengunggah sebuah gambar yang berisi data lengkap seseorang yang dia tuduh sebagai pelaku pengancaman di video tersebut. Data yang dia bagikan sangat lengkap, persis seperti data KTP elektronik. Menampakkan wajah korban, lengkap dengan nomor induk kependudukan, alamat rumah, dan data rahasia lainnya.
Belakangan terbukti kalau data yang dia sebarkan itu ternyata data keliru. Artinya, orang yang datanya dia sebarkan itu bukanlah pelaku pengancaman di video yang beredar. Kasihan si korban. Sudah data pribadinya disebarkan begitu saja, eh salah orang pula.
Menteri Dalam Negeri (saat itu), Tjahjo Kumolo menanggapi kasus tersebut dan mengatakan kepada wartawan kalau pelakunya bisa dijerat hukum karena menyebarkan data kependudukan orang lain. Tapi kita tahu sendirilah kalau kasus itu tidak pernah benar-benar menjerat si pelaku penyebar data kependudukan tersebut, bahkan saat ini si pelaku sudah duduk tenang di posisi yang nyaman.
Rentannya Data Pribadi Kita
Kisah di atas menceritakan betapa rentannya data pribadi kita. Kita tidak tahu siapa saja yang bisa mengakses data pribadi kita, bahkan data kependudukan yang seharusnya hanya bisa diakses oleh orang yang berhak saja nyatanya bisa jatuh ke tangan orang lain. Sudah begitu, disebarkan pula tanpa merasa bersalah. Lebih parah lagi, tidak ada sanksi untuk pelakunya.
Kejadian di atas hanya satu dari sekian banyak kejadian yang menggambarkan betapa rentannya data pribadi kita. Pernah juga ada kabar kalau data KTP warga Indonesia diperjualbelikan, bahkan di media sosial. Kabarnya, jumlah data yang diperjualbelikan dan digunakan untuk penipuan itu berjumlah jutaan data. Ngeri, kan?
Itu baru satu jenis data, kita belum bicara data lain yang terkait pada aset-aset digital kita seperti email, akun media sosial, atau akun aplikasi lainnya. Sebagian besar aplikasi tersebut memang memberikan kemudahan dan kenyamanan, plus gratis. Tapi sebagai gantinya, harga yang kita bayar adalah data-data kita yang mereka olah sebagai modal untuk mengumpulkan uang. Data itu bisa digunakan oleh mereka, atau malah diberikan kepada pihak ketiga tanpa persetujuan kita sebagai pemilik data.
Berita terakhir adalah tentang aplikasi Muslim Pro yang menjual data penggunanya kepada pihak militer Amerika Serikat. Mengerikan, ya?
Untuk menambah kengerian itu, kita harus sadar bahwa Indonesia belum punya satu undang-undang yang mengatur secara spesifik tentang perlindungan data pribadi. Perlindungan data pribadi di Indonesia masih diatur secara terpisah dan tersebar di beragam perundang-undangan. Misalnya, ada UU No.36 tahun 2009 tentang kesehatan yang mengatur rahasia kondisi pribadi pasien, lalu ada juga UU No.10 tahun 1998 tentang Perbankan yang mengatur data pribadi nasabah penyimpan dan simpanannya. Belum ada satu undang-undang besar yang detail mengurus semuanya.
Usaha Membangun Kesadaran Publik
Sebenarnya sudah ada banyak pihak di Indonesia yang coba memberikan kesadaran atau edukasi tentang data pribadi ini. Baik yang melakukannya secara sendirian, ataupun secara bersama-sama dan dalam satu jejaring yang sama.
Salah satunya ICT Watch yang adalah – saya kutip dari lama mereka – organisasi masyarakat sipil yang fokus pada kolaborasi pembangunan kapasitas sumber daya manusia Indonesia atas pengetahuan dan kemampuan literasi digital, ekspresi online dan tata kelola siber.
Sudah sejak lama ICT Watch akrab dengan beragam kegiatan atau aksi yang berhubungan dengan literasi digital, ekspresi online dan tata kelola siber. Salah satunya adalah Internet Sehat, sebuah kegiatan yang dijalankan mungkin lebih dari 10 tahun lalu. Saya pertama bersinggungan dengan teman-teman dari ICT Watch lewat kegiatan tersebut. Berkali-kali juga saya hadir atau bekerjasama dengan beragam kegiatan yang digelar oleh ICT Watch.
Salah satu kegiatan paling anyar dari mereka adalah membuat pameran yang diberi nama Galeri Privasi yang mengusung tagar #KendalikanPrivasimu. Menurut keterangan di laman galeri.privasi.id tersebut: Galeri Privasi awalnya dirancang sebagai pameran seni offline, saat pengunjung dapat secara langsung mengalami dan berinteraksi dengan instalasi seni sekaligus materi edukasi. Namun, situasi berkehendak lain. Pandemi COVID-19 menghadirkan tantangan yang tidak pernah dibayangkan sebelumnya.
Maka dari rencana awalnya membuat pameran offline, sampai akhirnya diubah ke format online karena pandemi COVID-19 yang masih melanda Indonesia. Lahirnya Galeri Privasi ini adalah kerja sama ICT Watch dengan Studio Malya. Soal Studio Malya, terus terang saya tidak tahu banyak. Saya hanya kenal sang kurator, Gustaff H. Iskandar yang memang seorang pegiat seni selain karena pernah berada dalam satu forum bersamanya bertahun-tahun lalu.
Mengunjungi Galeri Privasi
Galeri privasi ini dibuat dalam bentuk seni instalasi. Seni instalasi sendiri adalah seni yang memasang, menyatukan, dan mengkontruksi sejumlah benda yang dianggap bisa merujuk pada suatu konteks kesadaran makna tertentu. Biasanya makna dalam persoalan-persoalan sosial-politik dan hal lain yang bersifat kontemporer diangkat dalam konsep seni instalasi ini. (Dikutip dari Wikipedia).
Kalau kalian pernah melihat beragam karya seni yang dibuat dari bahan yang biasa ditemukan di sekitar kita seperti bambu atau kawat, maka bisa jadi itu adalah bagian dari seni instalasi selama memang ada pesan kuat yang dibawa oleh hasil seni tersebut.
Kembali ke Galeri Privasi. Secara fisik, galeri ini dibuat di kawasan Tebet, Jakarta Selatan yang bisa diakses oleh publik lewat website galeri.privasi.id. Karena saya belum sempat ke Tebet, maka saya hanya mengunjungi galeri tersebut lewat online saja.
Di halaman depan, ada gambaran tentang isi utama galeri ini yang terdiri dari enam karya instalasi seni. Lalu ada pula pengantar kuratorial dari Gustaff H. Iskandar. Pengantar kuratorial ini memang agak sulit saya pahami karena bahasanya yang agak nyeni. Maklumlah ya, penulisnya memang seniman koq. Tapi intinya kira-kira tentang perkenalan apa yang ada di dalam galeri ini, apa latar belakangnya, dan apa saja makna dari karya seni instalasi tersebut.
Oke, karena yang diulas adalah karya instalasi seni yang jadi urat nadi utama dari galeri privasi ini maka mari kita bahas satu-satu tentang karya instalasi seninya.
Organ Vital Keenam
Sebuah gadget disambungkan ke sebuah kantung darah yang ditaruh di atas meja di sebelah sebuah sofa. Di atas meja tersebut juga ada sebuah tablet yang menayangkan video loop yang menggambarkan seorang perempuan yang duduk seperti menunggu.
Instalasi ini menggambarkan bagaimana saat ini gadget dengan segala fasilitas, kemampuan, dan koneksinya dengan internet sudah menjadi sebuah benda vital buat hidup kita. Sudah menjadi organ vital keenam kalau mengikuti istilah di atas.
Gadget yang disambungkan ke kantung darah mengingatkan kita untuk tidak berlebih-lebihan dalam menggunakan sesuatu, termasuk ketika menggunakan gadget.
Data Diecer
Di bagian ini ada gambaran beberapa benda yang dibuat semirip mungkin dengan KTP. KTP buatan ini kemudian dibiarkan berserakan di dekat kaleng kerupuk, sebagian lagi memberikan kesan seolah-olah baru saja jatuh dari sebuah tablet.
Pesan apa yang diberikan oleh instalasi ini? Kalau buat saya sih, ini seperti memberikan gambaran bagaimana kondisi saat ini ketika data pribadi kita yang terhimpun dari sebuah KTP tidak lebih dari data yang bisa diecer. Diakses siapa saja, dan dibagikan ke mana saja.
Tak Semua (Obat) Mengobati
Instalasi berupa sebuah wastafel dengan jarum suntik bekas dan berbutir-butir obat di dalam wastafel tersebut. Instalasi ini menggambarkan situasi saat ini ketika informasi itu datang dengan sangat deras dan terkadang sudah sulit dibedakan antara informasi yang benar atau tidak. Atau, kita bahkan sudah tidak bisa menilai, informasi ini penting untuk kita atau tidak.
Kondisi ini diibaratkan obat-obatan yang terlalu banyak tapi sebenarnya tidak semuanya berguna, atau bahkan ada yang palsu. Alih-alih mengobati, justru hanya menambah penyakit.
Keranjang Hoaks
Ini mungkin karya instalasi yang paling eksplisit di galeri ini. Karya yang langsung bisa kita terjemahkan maknanya. Berisi sebuah keranjang sampah dengan isi yang sudah kepenuhan, dan di bagian atasnya ada kertas dengan tulisan Waspada Internet Hoax.
Pesan dari karya ini jelas memberikan pengingat untuk mewaspadai hoaks atau berita bohong yang masih akan ada di internet. Kita tidak hanya waspada dalam menerima, tapi juga ketika memproduksi dan mendistribusikan informasi. Jangan sampai menjadi bagian dari penyebar hoaks.
Bahagia di Balik Layar
Nah, ini bagian yang paling saya suka. Berisi tiga buah monitor komputer yang diubah menjadi akuarium dengan tiga ekor ikan cupang di dalamnya. Monitor tersebut berisi gambaran tiga ruang yang paling diakrabi manusia di masa pandemi COVID-19 ini, yaitu: kamar tidur, kamar mandi, dan ruang tengah.
Makna dari instalasi seni ini adalah, meski kita tidak bisa ke mana-mana di masa pandemi COVID-19 ini, tapi kita tetap bisa mengakses dunia luar lewat kecanggihan elektronik dan komunikasi saat ini. Kita bisa tetap terhubung dengan orang lain, bisa menonton hiburan, bisa bekerja, bisa belajar, dan bahkan bisa tetap berbelanja meski cuma ada di dalam rumah seharian.
Tapi, sebagai balasannya semua kegiatan tersebut justru memungkinkan orang untuk semakin mengetahui kebiasaan kita ataupun sisi-sisi paling pribadi di dalam diri dan lingkungan kita. Semua konten yang kita buat selama di rumah saja membuat kita seolah-olah berada di dalam akuarium tersebut, bisa dipandangi dan diawasi oleh siapa saja.
Ini adalah dua realitas yang bertolak belakang. Kita bisa mengakses apa saja, tapi orang pun bisa mengawasi kita kapan saja.
Kamu Mengintip Aku Mengintip
Sebuah instalasi seni yang dipasang di dinding, memuat foto-foto yang menggambar sebuah cerita tentang situasi saat ini. Situasi ketika data atau privasi dan kebiasaan kita begitu mudahnya diintip oleh orang lain.
Ini mungkin instalasi seni yang paling sulit saya maknai. Saya hanya bisa berusaha menebak-nebak makna dari instalasi seni yang satu ini.
Oh ya, dari semua bagian di Galeri Privasi ini ada satu bagian yang buat saya agak “mengerikan”. Bagian CCTV Surveillance. Bagian ini memungkinkan kita melihat secara real time apa yang terjadi di lokasi pameran di Tebet, saat itu juga. Buat saya agak “mengerikan” karena memberikan gambaran bagaimana kehidupan kita sekarang ini di zaman internet. Nyaris tidak ada yang bisa kita sembunyikan lagi, rasanya selalu ada orang lain yang bisa melihat apa yang kita lakukan secara real time.
Kesan Selepas Mengunjungi Galeri Privasi
Saya belum pernah mengunjungi galeri seni secara virtual, dan baru kali ini melakukannya. Meski bukan murni galeri seni, dan jumlah instalasi seni yang ditampilkan pun sedikit, tapi menurut saya Galeri Privasi yang dibuat ICT Watch bekerja sama dengan Studio Malya ini sudah cukup memberikan suasana yang baru.
Memahami seni kadang memang tidak mudah. Butuh kepekaan dan keluasan pengetahuan untuk bisa memahami sebuah karya seni. Termasuk karya seni instalasi. Apa yang disajikan di Galeri Privasi pun kalau tidak dibarengi penjelasan yang detail saya kira akan cukup memusingkan bagi orang awam seperti saya. Setidaknya, apa yang disampaikan oleh instalasi seni itu tidak akan langsung tertangkap.
Di sisi lain, menampilkan pesan-pesan edukasi berbalut karya instalasi seni adalah sebuah terobosan luar biasa. Selain karena berbeda dengan kebiasaan kita, juga karena kesan yang ditinggalkan. Pesan yang disajikan dengan teknik yang tidak biasa itu membuat kita yang melihatnya akan mengingatnya dalam waktu yang lama. Pesannya sampai, kesannya pun tertinggal.
Lebih menyenangkan lagi karena instalasi seni di Galeri Privasi ini bukan hanya berisi instalasi seni tapi juga pesan-pesan edukasi. Kita, para pengunjung bisa mendapatkan informasi tambahan tentang bagaimana menjaga privasi di tengah semakin maraknya penggunaan internet di zaman sekarang.
Garis besarnya, buat saya pilihan menampilkan edukasi tentang pengelolaan data pribadi lewat instalasi seni yang disebarkan secara virtual adalah sebuah terobosan luar biasa. Sebuah cara kreatif yang akan meninggalkan kesan mendalam.
*****
Memang jadi sesuatu yang mustahil untuk benar-benar melindungi data pribadi kita di saat kita menggunakan begitu banyak fasilitas yang disediakan di zaman internet ini. Beragama aplikasi sudah kita gunakan, dan sebagai bayarannya kita memberikan data kita secara sukarela ataupun tanpa kita ketahui. Hal yang bisa kita lakukan hanya mengurasi risikonya. Meminimalisir penyalahgunaan data pribadi atau kata sederhananya #KendalikanPrivasimu.
Selamat menyambut tahun baru 2021, semoga tahun yang baru membawa lebih banyak kebahagiaan untuk kita semua. Dan ingatlah kalau kita punya hak untuk mengendalikan data pribadi kita sendiri. [dG]
saya cukup senang tinggal di Eropa yang menegakkan aturan GDPR. masalah data pribadi bukan hanya data kita, tapi juga data pribadi milik orang lain. dengan adanya GDPR, memiliki dan memanfaatkan data pribadi orang lain tanpa konsen dan tanpa kesepakatan, hukumannya cukup berat. jadi perlindungannya dua arah, yang pertama dari sisi kita pemilik data dan kedua adalah pihak yang diserahi data. saya pernah membaca draft UU perlindungan data pribadi tersebut, yang secara sekilas memang mengikuti beberapa poin dari GDPR. hanya saja, meski nanti sudah disahkan, penerapannya entah bagaimana.
kantor juga terikat oleh aturan GDPR. ada audit rutin yang tiba-tiba saja ada inspeksi, yang mana kami harus memastikan bahwa data pelanggan tersimpan aman, dan bila konsumen meminta data dihapus jika sudah berhenti berlangganan, harus bersih data itu dari database kami. kondisi ini bertolak belakang dengan di Indonesia, di mana meski sudah berhenti berlangganan pun (yang syaratnya lebih ribet dari saat mendaftar), ternyata data itu masih disimpan. saya bahkan beberapa kali masih dikirimi informasi dan newsletter, meski sudah tidak menjadi pelanggan (saya tidak pernah konsen untuk meminta newsletter). soal newsletter, ini juga kalo dari sisi GDPR, pelanggan harus konsen apakah mau dikirim newsletter, dan bisa dengan mudah untuk berhenti dari newsletter tersebut.
untuk galerinya, cukup menarik, terutama dari sisi awareness untuk melindungi diri. namun dari sisi pengedar dan penyalahguna data, sepertinya tidak ada ancaman atau hukuman yang mampu membuat jera.
menyambung ke kasus yang lagi hits itu, yang mana si pelaku video justru jadi tersangka, karena alasannya adalah menyebarkan meski untuk keperluan pribadi. orang yang menyebarkan ke publik malah sepertinya lolos dari jerat hukum. ini menurutku yang harus dibenahi, bukan hanya dari sisi kita yang melindungi data sendiri, tapi juga data orang lain.
oiya, tambahan. memotret yang mana wajah orang terpotret, lalu menyebarkan wajah orang tersebut tanpa konsen si orang tersebut, di sini bisa kena jerat pelanggaran data privasi, karena wajah orang adalah data. seketat itu aturannya di sini.
Memang beda ya kalau negara yang sudah settle. Mereka sudah punya aturan yang jelas bahkan terkait data pribadi sekalipun
Saya juga cukup anxiety dengan khasus data privasi yang waktu-waktu ini menjadi masalah market place di Indonesia. Padahal mereka adalah salah satu Unicorn di Indonesia. Jadi agak ragu-ragu untuk menjadi jasanya. Terima kasih juga telah berbagi pengetahuan kakak tentang isu data privasi ini. Galeri privasi sebagai sindiran satir dan media pengingat dalam karya seni sangat menjadi hal yang menarik dan kreatif. Terima kasih telah berbagi beberapa fotonya kak.
Oh yah kak, kalau kakak mau berbagi tentang pengalaman kakak di berbagai platform jangan lupa kunjungi website kami di yoexplore, kami tunggu artikel menarik dari kakak!
Terima kasih juga sudah berkunjung