Merekam Sedikit Sudut Jakarta
Keesokan harinya kami dibawa melihat realita lain kota Jakarta. Melihat langsung kehidupan warga di satu titik di pinggiran sungai Ciliwung.
Jakarta adalah kota yang begitu menggoda. Setiap tahunnya ribuan atau mungkin bahkan puluhan ribu orang terseret arus mimpi menuju kota itu, kota yang sudah sejak lama dianggap sebagai ibu dari seluruh kota di Indonesia. Jakarta adalah magnet besar yang menghisap mimpi orang daerah untuk datang dan mencicipi nikmat madu kota itu.
Tidak semua berhasil mencicipi madunya, sebagian harus rela menghisap pahit getirnya ibukota. Tidak semua menyerah, meski hanya pahit yang dirasakan. Sebagiannya memilih bertahan di pinggiran kota Jakarta, di belakang gedung mewah dan tepat di tepi bantaran kali.
Ada jutaan mimpi yang ditawarkan Jakarta. Hadir lewat gedung tinggi nan megah dengan lampu-lampunya yang memikat. Banyak yang larut dalam mimpi indah itu, sebagian tidak menyadari kalau Jakarta bukan hanya gedung tinggi yang megah itu. Jakarta juga? punya wajah lain, wajah bopeng yang kadang tersamarkan oleh meriahnya gedung tinggi.
18-22 Juni kemarin saya dan 11 orang teman dari daerah luar Jakarta dapat kesempatan melihat beberapa sudut kota yang tahun ini berulangtahun ke 485. Hari pertama kami dibawa menyusuri jalan tol lingkar luar dari selatan ke timur dan terus ke utara. Mampir di kota tua dan melihat langsung beberapa rekam jejak sejarah yang tertinggal pada bangunan tuanya.
Hari kedua kami dibawa berjalan-jalan ke Rawa Belong. Sebuah daerah yang terkenal sebagai pasar bunga. Mempelajari dinamika perkembangan daerah pusat bunga yang perlahan berubah menjadi daerah kost-kostan akibat hadirnya sebuah kampus besar di tengah perkampungan penduduk.
Di akhir perjalanan kami dibawa mengunjungi Central Park, sebuah kota di dalam kota. Sebuah mimpi indah yang ditawarkan bagi warga Jakarta. Berada di dalamnya kami serasa dilempar ke sebuah kota lain yang selama ini hanya kami lihat di buku-buku atau di kota kaca televisi. Ubin mengkilap dan pendingin udaranya yang sejuk dengan cepat membuat kami serasa menciut. Jakarta sangat indah di dalam Central Park.
Keesokan harinya kami dibawa melihat realita lain kota Jakarta. Melihat langsung kehidupan warga di satu titik di pinggiran sungai Ciliwung. Di sana kami dihadapkan pada realita kota yang sesungguhnya. Ada sungai yang membentang membelah kota, ada sampah di pinggirannya dan ada warga yang memanfaatkan sungainya. Ada juga ratusan rumah yang saling berdempetan serupa penumpang di atas bus di waktu pulang kantor. Mereka bersenggolan satu-sama lain.
Itulah Jakarta, kota terbesar di republik ini. Kota tempat sekitar 8 juta orang berdiam dan mengadu nasib setiap harinya. Saya tidak pernah nyaman berlama-lama di sana, tapi mungkin suatu hari harus memaksakan diri untuk nyaman di sana. Untuk sebuah mimpi, seperti mimpi jutaan orang yang sudah terlanjur hidup di kota itu.
Ah, Jakarta.
[dG]
Ya begitulah Jakarta. Kota dimana yang kaya dan miskin saling berpacu.
Yang kaya berpacu mengejar kemewahan, yang miskin berpacu mengejar sekepal nasi.
Jakarta enaknya buat jalan2 aja.. tapi kalo untuk tinggal disana kayaknya harus dipikir matang2 deh… macet, panas, sumpek, padat, mahal, dll… Jakarta udah kepenuhan disegala bidang 🙂