Mengenal Kekerasan Berbasis Gender Online
Sebuah catatan dari diskusi yang diadakan oleh SafeNet bekerjasama dengan LBH APIK Makassar dan Komunitas Bloger Makassar, Anging Mammiri.
SEORANG PEREMPUAN MUDA BERKENALAN DENGAN SEORANG LELAKI di sebuah aplikasi kencan daring. Mereka bertukar sapa, lalu perlahan seiring waktu menjadi semakin dekat. Si perempuan terbuai, si lelaki begitu agresif namun sabar. Hingga akhirnya si perempuan merasa sangat dekat dengan si lelaki. Dia tidak menolak ketika si lelaki mulai membelokkan obrolan mereka ke saluran yang lebih privat. Obrolan mesum. Hingga akhirnya dia pun tidak menolak lagi ketika si lelaki mengajaknya berbagi foto-foto pribadi. Foto tanpa busana, layaknya bayi yang baru lahir.
Lalu dari bertukar foto, berlanjut ke video call. Bertukar sapa lewat panggilan video. Tanpa busana tentu saja, sama-sama memuaskan diri bermodalkan gambar lawan bicara di layar handphone. Satu hal yang luput dipikirkan oleh si perempuan adalah bahwa si lelaki merekam aktivitas mereka. Apa yang dilakukan si perempuan tertangkap layar, menjadi bahan buat si lelaki. Bahan untuk memeras si perempuan di belakang hari.
Si lelaki memeras si perempuan, meminta imbalan berupa uang. Kalau tidak dituruti, video yang jelas-jelas memperlihatkan wajah si perempuan sedang mengerang nikmat lengkap dengan seluruh anggota tubuhnya yang tidak terbalut kain akan disebar. Diperlihatkan ke publik.
Siapa yang tidak takut ketika ancaman seperti itu menghampirinya? Apalagi untuk seorang perempuan. Bayangan akan dipermalukan publik tentu menghantui. Si perempuan menjadi depresi, nyaris tidak bisa berbuat apa-apa. Kuliahnya terbengkalai, pekerjaan sebagai seorang freelancer ditinggalkannya. Dia takut bertemu orang, takut keluar rumah, takut beraktivitas. Ancaman si lelaki terus membayanginya.
Kekerasan Berbasis Gender Online.
Kisah di atas diceritakan oleh Siti Nurfaidah, atau akrab disapa Ida. Perempuan berkerudung ini adalah Korodinator Divisi Pelayanan dan Bantuan Hukum, LBH APIK Makassar. LBH APIK adalah sebuah lembaga yang fokus menangani masalah hukum yang menimpa perempuan dan anak. Ada beragam kasus yang mereka dampingi, termasuk kasus pemerasan berbasis seksual seperti di kisah di atas. Sekstorsi, istilahnya.
Lelaki Bugis pernah menulis tentang sekstorsi di blognya. Kala itu dia menyoroti kasus sekstorsi yang menimpa seorang polwan di Makassar. Seorang polwan yang tertipu hingga mau saja diminta mengirimkan foto bugil, foto yang di belakang hari justru dipakai untuk memerasnya.
Sekstorsi hanya satu dari sekian banyak kekerasan berbasis online yang menimpa perempuan. Ada banyak jenis kekerasan berbasis online yang bisa menimpa siapa saja. Menurut Komnas Perempuan, sepanjang 2017, setidaknya ada delapan bentuk kekerasan berbasis gender online yang dilaporkan kepada Komnas Perempuan, yaitu pendekatan untuk memperdaya (cyber grooming), pelecehan daring (cyber harassment), peretasan (hacking), konten ilegal (illegal content), pelanggaran privasi (infringement of privacy), ancaman distribusi foto/video pribadi (malicious distribution), pencemaran nama baik (online defamation), dan rekrutmen daring (online recruitment).
Kekerasan berbasis gender online bukan hanya yang berupa ancaman saja, namun ada beberapa macam aktivitas yang bisa dikategorikan sebagai tindakan kekerasan berbasis gender online. Aktivitas itu antara lain, adalah:
Pelanggaran privasi. Misalnya, pelaku mengakses, menggunakan atau memanipulasi data pribadi seseorang termasuk foto atau video tanpa persetujuan.
Pengawasan dan pemantauan. Misalnya, pelaku melakukan pemantauan dan pengawasan serta memberikan perhatian berlebihan yang membuat korban menjadi tidak nyaman.
Perusakan reputasi atau kredibilitas. Misalnya, pelaku membuat akun palsu dengan memuat data pribadi yang salah. Tujuannya adalah merusak reputasi seseorang. Termasuk juga mencuri data pribadi seseorang dan melakukan peniruan (impersonasi) dengan tujuan yang sama, merusak reputasi si korban.
Pelecehan, dapat disertai dengan pelecehan luring (offline). Pelaku biasanya melakukan pelecehan terus menerus kepada korbannya. Pelecehan ini bisa berupa pelecehan seksual, bisa juga berupa ancaman kekerasan atau ujaran kebencian yang didasarkan pada gender si korban.
Ancaman dan kekerasan langsung. Contoh paling nyata adalah perdagangan manusia menggunakan media sosial atau media lain di internet.
Serangan yang dialamatkan kepada komunitas tertentu. Serangan ini bisa berupa peretasan (hacking) website atau akun media sosial sebuah komunitas tertentu, pemantauan dan pengawasan terus menerus, ancaman kekerasan atau bahkan melakukan pengepungan kepada komunitas tersebut dan mengekspos data pribadi seseorang dari komunitas yang disasar.
Dua kasus sekstorsi yang saya sebut di atas hanya dua dari sekian banyak kasus kekerasan online yang menimpa seseorang, khususnya perempuan. Dua kasus lain yang bisa saya ceritakan adalah kasus yang menimpa Yusniar di Makassar dan Baiq Nuril di Mataram, NTB.
Kedua perempuan itu adalah korban UU ITE. Yusniar sempat mendekam di penjara dan dilaporkan oleh seorang anggota DPRD karena statusnya di Facebook. Sementara Baiq Nuril, dilaporkan oleh atasannya seorang kepala sekolah (waktu itu) di Mataram. Alasannya, sang kepala sekolah keberatan telepon mesumnya ke Baiq Nuril direkam dan disebar.
Selain kedua kasus itu, sebenarnya ada banyak lagi kasus lain yang menjadikan perempuan sebagai korban. Anda bisa membaca tulisan saya tentang perempuan-perempuan yang terpasung di sini.
Dalam tatanan sosial kita di Indonesia, perempuan memang masih menempati posisi yang lemah. Kadang dianggap warga negara kelas dua. Jauh di bawah kaum lelaki. Mereka seringkali hanya dijadikan objek, utamanya di sisi seksualitas mereka. Secara sadar maupun tidak, lelaki kemudian seringkali menjadikan perempuan sebagai korban di dunia nyata. Kebiasaan ini kemudian terbawa ke dunia maya. Internet hanya melanggengkan budaya yang ada di dunia nyata. Kadang bahkan membuatnya lebih buruk karena di dunia maya seseorang bisa tampil tanpa wajah atau anonim. Anonimitas itu kemudian membuat pelakunya berpikir bisa berbuat apa saja, bahkan melewati norma yang dianut masyarakat.
Bukan hanya perempuan sebenarnya. Beberapa orang yang memutuskan memilih gender yang berbeda pun tetap rentan menjadi korban. Mereka yang kerap disebut banci atau waria adalah sasaran lain dari kekerasan berbasis gender online ini. Diintimidasi, dicerca, bahkan diancam dan dilecehkan secara fisik adalah hal yang kerap terjadi pada mereka. Di dunia nyata hidup mereka sudah cukup susah, dan itu berlanjut ke dunia maya. Bahkan menjadi lebih kejam.
Beratnya Tantangan Buat Korban.
Selain harus menghadapi lelaki sebagai pelaku, perempuan juga sayangnya harus menghadapi sesamanya perempuan yang kadang belum punya sensitifitas pada isu-isu seperti ini. Salah satu buktinya adalah ketika artis Via Vallen mengunggah keluhan ketika dia merasa dilecehkan lewat direct message di Instagram-nya oleh seorang pesepakbola asing yang bermain di Indonesia. Alih-alih menyiratkan simpat dan empati, beberapa perempuan malah menuding Via Vallen berlebihan. Menganggap hal yang dilakukan si pesepakbola itu sebagai hal biasa yang tidak perlu dipermasalahkan. Mirisnya lagi karena beberapa perempuan justru menyoroti pribadi Via Vallen yang seorang penyanyi dangdut, yang kastanya dianggap lebih rendah dari si pesepakbola yang adalah orang bule.
Itu soal pandangan, kita belum bicara soal hukum.
Menurut Siti Nurfaida, hukum di Indonesia pun belum memihak perempuan yang menjadi korban. Sebagai seorang anggota LBH APIK, Ida sudah punya banyak pengalaman mendampingi perempuan yang menjadi korban kekerasan, termasuk kekerasan seksual berbentuk perkosaan.
Produk hukum dan proses hukum di Indonesia menurut Ida seringkali menempatkan perempuan kembali menjadi korban. Mereka yang melapor karena diperkosa harus menerima tekanan berat ketika melapor. Hanya sedikit pemeriksa dan penyidik kepolisian yang punya empati pada perempuan korban perkosaan dan kekerasan seksual.
“Halah, kau suka juga kan?”
“Ah, pasti itu cuma suka sama suka toh?”
“Sudahlah, nda usah diteruskan. Nikah saja, toh dia itu pacarmu?”
Kata-kata itu menurut Ida adalah kata-kata yang sangat biasa dilontarkan oleh penyidik kepolisian. Kadang malah dilakukan beramai-ramai, bukan hanya oleh satu orang saja. Bisa dibayangkan bagaimana tertekannya si korban. Sudahlah menjadi korban, dilecehkan pula oleh orang yang seharusnya menjadi penolong.
Agar Tak Jadi Korban.
Ketika seseorang menjadi korban kekerasan berbasis gender online, bisa dipastikan hidupnya akan jungkir balik. Bayang-bayang menyeramkan akan menghantuinya, membuatnya kehilangan semangat dan fokus menjalani hidup. Dalam beberapa kasus, korban bisa saja memutuskan untuk bunuh diri. Mengakhiri hidupnya.
Menurut Aksan Nugroho dari SafeNet, salah satu cara terbaik bagi para korban kekerasan berbasis gender online adalah dengan meminta bantuan. Ada beberapa individu dan lembaga yang siap mendampingi para korban. Salah duanya adalah LBH APIK dan Komnas Perempuan.
Namun, sebelum melapor korban sebaiknya mendokumentasikan dengan jelas serangan yang menimpanya. Jika bisa, detailkan jenis serangan apa saja yang dilakukan oleh pelaku beserta kronologisnya. Pendokumentasian ini akan membuat laporan lebih jelas dan lebih mudah diproses. Tapi korban juga harus ingat untuk memantau situasi, menimbang apakah dia bisa menghadapi pelaku sendirian atau memang butuh bantuan sejak awal.
Menjaga diri agar tidak menjadi korban kekerasan berbasis gender online tentu adalah cara terbaik. Paling penting adalah menjaga privasi dan data-data pribadi di internet. Selain jangan semudah mungkin mengumbar data pribadi, pengguna internet pun sebaiknya mempelajari beragam cara untuk mengatur privasi ata data pribadi di berbagai aplikasi yang digunakan. Setiap aplikasi pasti memiliki aturannya sendiri-sendiri. Sebisa mungkin aturan itu kita pelajari, jika memang dirasa akan merugikan kita maka tidak ada pilihan lain selain tidak menggunakannya.
Istilah orang, bijak berinternet. Ini salah satu yang ditekankan oleh Evhy Kamaluddin dari komunitas bloger Makassar, Anging Mammiri. Evhy tampil sebagai salah satu narasumber di kegiatan diskusi bertajuk “Memperjuangkan Internet Aman Untuk Perempuan” yang digelar sebagai kerjasama SafeNet, LBH APIK Makassar dan Anging Mammiri. Acara ini digelar Jumat, 22 Maret lalu di Kedai Pojok Adhyaksa.
Menurut Evhy, internet memang serupa pisau bermata dua. Di satu sisi dapat dimanfaatkan untuk hal-hal positif, namun di sisi lain hal-hal negatif pun terus mengintai. Tidak ada pilihan lain selain terus bijak menggunakan internet. Jangan terbuai, apalagi bujuk rayu lawan jenis yang di belakang hari ternyata menyengsarakan.
*****
DALAM PRAKTIKNYA, INTERNET MEMANG TERUS BERKEMBANG. Banyak sekali hal-hal yang dulu sama sekali tidak terpikirkan, sekarang justru menjadi jamak. Beberapa hal lain yang sudah jamak di dunia nyata justru menjadi semakin menggila di dunia maya. Salah satunya adalah kekerasan berbasis gender itu. Perempuan dan kaum transpuan menjadi dua pihak yang paling rentan menjadi korban.
Salah satu hal yang menurut saya cukup penting adalah edukasi. Edukasi bukan hanya kepada perempuan dan transpuan yang seringkali menjadi korban, tapi juga kepada lelaki yang kerap menjadi pelaku. Edukasi jangan hanya menyasar korban, tapi juga pelaku. Penting menanamkan kepada lelaki sedari dini bahwa perempuan dan transpuan pun punya hak untuk dihormati, dianggap setara, dianggap sebagai subjek dan bukan hanya objek.
Karena kemanusiaan harusnya berada di atas segalanya. [dG]
Wah jadi nyesel gak ikut bincang2 nya kemarin. Taoi bener sih, cerita2 pelecehan seoerti itu sejak beberaoa tahun terakhir marak diperbincangkan, apalagi dengan adanya kasus polwan yang tertipu beberapa waktu yang lalu. Saya bukannya menyalahkan perempuan, tapi perempuan juga memang harus pintar2 untuk bisa menjaga diri. Harus skeptis, lalo kata mba Najwa Shihab. Hihi
sepertinya hukum di Indonesia harus berkaca pada kasus percakapan grup chat yang terjadi di Korea Selatan, dimana melibatkan artis yang ditangkap karena iseng mengunggah teks, foto, serta video asusila bersama bbrp wanita di grup chat temannya untuk dijadikan bahan joke,
akibatnya si artis pensiun dari pekerjaan, dan dihukum penjara, sedangkan korban si artis dilindungi dan diadvokasi.
di Indonesia sendiri, yang kasian seringkali korbannya karena mendapat perlakuan miris, misalnya seperti pada kasus Baiq Nuril.
Ketika lelaki menuliskan hal ini, sebagai perempuan, saya merasa gender saya dihargai. Tak banyak lelaki yang menuliskannya. Terima kasih Daeng.
Perusakan reputasi atau kredibilitas, baru-baru terjadi juga di Makassar ini. Laki-laki yang sakit hati karena diputuskan pacarnya dan mereka punya rekaman video yang tak senonoh.
Sayang sekali ya. Memang di satu sisi perempuan harus menjaga dirinya sebaik-baiknya, butuh kesadaran semua pihak untuk memberi perspektif yang layak untuk hal seperti ini, juga butuh perlindungan hukum pada korban.
Kasus ini juga menjadi topik waktu acara kick andy. Bagaimana perlindungan kepada perempuan (dominan perempuan; meski pelecehan itu bisa ke siapa saja) masih belum bisa teratasi dengan baik. Kadang pelaku masih bisa mengelak dengan berbagai cara.
Deh, bahayanya ini isu gender online. Saya setuju dengan solusi diatas dengan memberikan edukasi baik terhadapa calon korban dan juga calon pelaku. Dan juga penanaman nilai-nilai moral dan agama sangat penting dalam hal ini.
penting sekali untuk sering mengadakan kegiatan edukasi untuk isu ini mengingat semakin banyak korban untuk mencegah bertambahnya korban. selain itu, sangat perlu juga membuat semacam supporting system untuk mendampingi korban.
behh ngerinya cerita diatas yang memanfaatkan dunia maya untuk hal yang tak pantas.
untuk cerita polwan diatas saya baru dengar, bagus juga dibahas kayaknya di artikel selanjutnya
Saya ngeri sendiri dengar cerita dari Ibu Ida kemarin itu. Saat niat bertemu dengan kesempatan, lagi-lagi perempuan yang menjadi korban.
Dunia maya memang menjanjikan kenikmatan (semu), kalau nda hati-hati mainnya bisa-bisa kena libas. Kakakku pernah kejadian, dikejar2 laki-laki ujungnya minta uang sampai dia terpojok mau kasi. Tapi sy berkeras bilang abaikan saja dan blok nomernya.
Ngeri baca prolog di atas. Ngeri juga ya kasus yang menimpa perempuan sampai diperas begitu. Tapi miris juga karena si perempuan jadi korban karena kebodohannya sendiri.
Dan setuju banget dengan pendapat Daeng, untuk mengatasi hal seperti ini yang perlu diedukasi bukan cuma korbannya saja tapi juga pelakukanya.
Oia saya langsung tertarik baca potingan Daeng lainnya yang membahas tentang Perempuan