Membangun Dari Atas, Bukan Dari Bawah
Nama gerakan Desa Membangun juga memberi kesan nyata kalau gerakan ini memang dari bawah, dari mereka sendiri.
Minggu pagi yang mendung. Bersama Mamie saya menyusuri jalan berliku dari kota Tasikmalaya menuju Cikalong. Sebenarnya tidak tepat ke Cikalong karena kami akan turun di Jamuku sebelum melanjutkan perjalanan ke desa Mandala Mekar. Jalanan berkelok, persis serupa jalanan ke kota Malino di kaki gunung Bawakaraeng.
Kami yang dipandu pak Dodi dari panitia acara Festival Jadul turun di Jamuku. Istirahat sejenak sebelum melanjutkan perjalanan ke desa Mandala Mekar tempat acara Festival Jadul digelar. Perjalanan dari Jamuku ke Mandala Mekar ternyata lebih sulit dari perjalanan sebelumnya. Jalanannya berkelok-kelok, naik turun dan yang paling menyiksa karena sempit dan tidak rata. Jalannya berlubang, gabungan antara tanah dan batu-batu. Mobil Kijang Krista yang kami pakai saja terasa susah payah menembusnya.
Dengan perjuangan berat akhirnya kami tiba juga di desa Mandala Mekar. Karena kami terlambat, maka tanpa menunggu lagi kami langsung saja dibawa ke kelas-kelas yang sudah digelar di SMP depan balai desa. Ada beberapa kelas yang sedang jalan bersamaan. Ada kelas Open Source, kelas Blogging dan satu lagi kelas Radio Komunitas.
Mamie yang selalu bersemangat mendengar kata Open Source tentu saja memilih untuk bergabung dengan kelas Open Source, saya sendiri memilih bergabung dengan kelas Blogging karena setidaknya di sana sudah ada Brad, kang Suryaden dan Very Kurniawan.
Kelas berjalan singkat, tentu saja karena kami sudah datang terlambat. Selepas kelas, kami kemudian menyantap makan siang yang sudah dihidangkan panitia. Makan siang sederhana a la kampung yang rasanya benar-benar nikmat. Kami menikmatinya sambil duduk lesehan di atas rumput. Selepas makan kami masih terus bercengkerama di sana, ngobrol apa saja sampai sore menjelang.
Festival Jadul atau Festival Jawa Kidul ini adalah sebuah acara yang digagas banyak pihak. Tujuan utamanya adalah menjelaskan tentang gerakan Desa Membangun, gerakan di mana ditunjukkan banyak contoh betapa desa yang selama ini lekat dengan ketertinggalan ternyata sudah mulai menggunakan kemajuan teknologi informasi untuk mengembangkan potensinya.
Desa-desa ini menggunakan Sistim Informasi Desa, sebuah sistim informasi yang sudah dibuat sedemikian rupa untuk mengakomodir kebutuhan desa, menata dengan baik informasi dari desa untuk dipergunakan demi kepentingan mereka. Ada banyak pihak yang terkait di dalamnya, mereka semua bekerja secara militan dan tidak kenal lelah.
Selepas ngobrol sampai hampir malam, kami kemudian beranjak meninggalkan balai desa. Semua peserta Festival Jadul diinapkan di rumah penduduk yang bertebaran di desa Mandala Mekar. Kami bertiga (saya, Mamie dan Brad) mendapat jatah menginap di rumah nomor 5. Sialnya, kami lupa menanyakan nama sang pemilik rumah.
Pemilik rumah adalah sepasang kakek dan nenek. Rumah mereka bisa dibilang bagus untuk ukuran desa. Modelnya tidak kalah dengan rumah di kompleks perumahan di kota-kota besar. Anak mereka ada empat, perempuan satu-satunya sudah meninggal ketika berumur 5 tahun. Tiga yang lainnya bekerja di Jakarta dan Tangerang. Saya pikir merekalah yang bahu membahu membangun rumah bagus itu untuk orang tua mereka.
Keramahan mereka khas keramahan warga kampung. Begitu kami tiba, si ibu langsung menghidangkan air putih. Itupun tadinya beliau bertanya mau minum teh atau kopi tapi kami menolaknya. Beliau mengeluarkan semua yang ada, pisang, kripik singkong dan kerupuk sambil berkata : maaf, cuma ada ini. Gak ada yang enak. Aduh, sungguh sebuah keramahan khas Indonesia.
Kami tidak berlama-lama di rumah singgah kami. Menjelang jam 8 malam kami beranjak ke pusat acara yang bisa ditempuh dengan jalan kaki 15 menit. Di sana sudah ada panggung dan kursi untuk para undangan.
Malam itu dalam rangkaian Festival Jadul, ada pagelaran seni tradisional Sunda serta talkshow tentang keterbukaan informasi. Talkshow ini menghadirkan beberapa pembicara termasuk beberapa kepala desa yang sudah berhasil mengusahakan keterbukaan informasi publik untuk desanya. Merekalah kepala desa keren yang tidak menunggu arahan dari atas, tapi mengusahakan dari bawah bagaimana caranya agar desa mereka bisa berkembang dengan memanfaatkan kemajuan teknologi informasi.
Nama gerakan Desa Membangun juga memberi kesan nyata kalau gerakan ini memang dari bawah, dari mereka sendiri. Tepatnya dari desa untuk desa. Mereka tidak menggunakan nama Membangun Desa karena itu bisa berarti inisiatifnya dari luar, bukan dari mereka sendiri.
Malam itu acara Festival Jadul ditutup dengan rangkaian kesenian tradisional mulai dari qasidah sampai calung. Sayang karena kebanyakan menggunakan bahasa Sunda, saya tidak bisa menangkap humor dari calung itu. Selain kesenian tradisional, di samping panggung juga ada pesta mendoan yang bisa dinikmati gratis. Ah, sungguh nikmat aroma pedesaan yang kami hirup malam itu.
Menjelang jam 12 malam kami kembali ke rumah tempat kami menginap. Sayang karena besok paginya kami sudah harus meninggalkan desa Mandala Mekar padahal acara masih berlangsung hingga hari Selasa. Tuntutan pekerjaan membuat kami tidak bisa berlama-lama di sana. Tapi setidaknya kami sudah melihat langsung dan merasakan langsung sebuah gerakan luar biasa, gerakan yang membangun dari bawah dengan insiatif sendiri, bukan menunggu perintah atau arahan dari atas.
Sekarang muncul harapan, semoga gerakan Desa Membangun ini bisa menular ke Sulawesi Selatan. Kami sedang berniat untuk memulainya, mungkin ada yang juga tertarik?
Lebih jauh tentang Desa Membangun bisa dibaca di sini.
[dG]
jadi harus kepalanya dulu yg sadar baru bawahannya?
gerakan ini memang luar biasa. baru sadar skalanya ketika hadir di sana. belum besar sih, tapi sudah ‘on the right track’ 😀