Komunitas ; Sebuah Sekolah Kehidupan

Anging Mammiri di acara Blog For Life - Juli 2007

Mereka tidak pernah menagih sejumlah rupiah untuk kerja keras mereka, mereka tak pernah membuat hitungan berapa jumlah rupiah yang harus dibayar untuk semua waktu dan tenaga yang sudah mereka buang untuk Anging Mammiri. Mereka percaya, cinta dan kebersamaan itu nilainya jauh lebih besar dari rupiah yang terbuang, dari tenaga yang terbuang dan dari waktu yang terbuang.

Suatu hari di awal tahun 2007, saya mulai aktif membuat blog. Sedikit demi sedikit kesenangan saya menulis mulai menemukan aliran yang pas. Dari membuat blog saya mulai blogwalking, berkunjung ke blog orang lain secara acak. Satu persatu dari mereka menjadi karib saya meski hanya di dunia maya.

Penjelajahan secara acak itu kemudian mendamparkan saya pada sebuah blog komunitas. Dari namanya saya tahu komunitas itu berbasis di kota tempat saya tinggal, Makassar. Komunitas blogger Makassar, namanya Anging Mammiri. Tak butuh waktu lama saya bergabung di sana, memasang banner di blog saya dan kemudian ikut mailing listnya.

Suatu hari di bulan Juli 2007, saya akhirnya punya kesempatan untuk bertemu mereka yang selama ini hanya saya kenal dari dunia maya. Suasana ribut, akrab dan guyub yang sudah menancap di kepala saya berkat interaksi di maling list ternyata berlanjut ke dunia nyata. Mereka semua hampir sama dengan gambaran yang ada di kepala saya selama ini.

Hari itu adalah awal dari sebuah interaksi panjang yang terus terjalin hingga hari di mana saya menuliskan cerita ini. Anging Mammiri perlahan-lahan menjadi sebuah bagian dari perjalanan saya hampir selama 5 tahun belakangan ini. Dari pertemuan pertama itu saya makin akrab dengan mereka. Empat bulan kemudian saya didaulat teman-teman baru itu untuk menjadi moderator dalam acara puncak ulang tahun Anging Mammiri yang pertama. Sebuah kehormatan di masa bergabung saya yang belum genap setahun.

Saya ketika menjadi moderator

Perlahan-lahan kedekatan itu memang makin terasa. Saya ikut larut dalam masa naik turunnya geliat komunitas itu. Tahun-tahun berikutnya saya makin larut dalam setiap derap kesibukan teman-teman Anging Mammiri yang menggelar acara, meski terkadang ada saja halangan yang membuat saya tidak bisa menampakkan diri.

Akhir 2009 Anging Mammiri masuk ke dalam fase vakum. Sang ketua kami sibuk dengan karirnya, pun dengan beberapa anggota inti lainnya. Jadwal pertemuan antar anggota makin melonggar, ide-ide kegiatan semua mengawang-awang. Anging Mammiri seperti seorang putri yang sedang terlelap menunggu datangnya ciuman dari sang pangeran.

Sampai awal 2010 kondisi ini masih berlangsung. Satu persatu anggota sibuk dengan hidupnya masing-masing. Mailing list yang biasanya menghantar ratusan email per hari saat itu sepi bagai Troya selepas serangan pasukan Yunani. Tersisa beberapa orang saja yang masih bertahan dengan semangat untuk terus menghidupkan Anging Mammiri.

Suatu malam kami berkumpul. Saya menyebut mereka sebagai survivor, orang-orang yang dengan semangat luar biasa dan kecintaan luar biasa pada komunitas ini tetap punya mimpi untuk kembali menghidupkan Anging Mammiri, membuatnya kembali berhembus seperti namanya, angin sepoi-sepoi. Perbincangan malam itu membuat sebuah lembaran baru terbuka.

Harapan itu kembali menyala, wajah-wajah kami sumringah, senyum mengembang. Anging Mammiri harus bertiup lagi, dan kami bisa melakukannya.

Tidak gampang, semua butuh usaha. Tapi satu hal yang saya yakini, kekuatan semangat dan rasa cinta yang besar dari teman-teman para survivor itulah yang kemudian membuat Anging Mammiri yang sempat tertidur nyenyak sekarang bangkit dan mulai menggeliat. Kekuatan semangat dan cinta yang sama sekali tidak melibatkan uang atau materi lainnya.

Bukan sekali dua kali saya melihat bagaimana teman-teman berjuang dengan menghilangkan kata lelah dari kamusnya. Bukan satu dua kali saya melihat bagaiman gesekan dan amarah kadang hadir dalam interaksi kami. Tapi, ketika semua cinta dan semangat itu diangkat maka segala gesekan dan amarah seperti debu yang tersapu air hujan. Hilang, lenyap tak berbekas.

Teman-teman bukan satu dua kali meluangkan waktu dan tenaganya untuk sebuah kegiatan yang dibangun atas dasar kebersamaan. Mereka tidak pernah menagih sejumlah rupiah untuk kerja keras mereka, mereka tak pernah membuat hitungan berapa jumlah rupiah yang harus dibayar untuk semua waktu dan tenaga yang sudah mereka buang untuk Anging Mammiri. Mereka percaya, cinta dan kebersamaan itu nilainya jauh lebih besar dari rupiah yang terbuang, dari tenaga yang terbuang dan dari waktu yang terbuang.

Anging Mammiri bagi saya adalah sebuah sekolah kehidupan. Di sana saya belajar bertoleransi, belajar berbagi pendapat, belajar berdebat dan tentu saja belajar menghargai orang lain. Bukan sekali dua kali saya terjatuh pada kesalahan yang membuat bara api seperti tersulut. Tapi mereka adalah orang-orang yang luar biasa. Mereka menerima itu semua sebagai sebuah pelajaran dan membuat saya bangga punya teman-teman seperti mereka.

Komunitas ini benar-benar seperti sebuah sekolah kehidupan bagi saya. Saya mencintainya dan saya melindunginya seperti seekor anjing yang melindungi tuannya. Saya akan gampang tersulut ketika seseorang berusaha mengusik teman-teman saya, mengusik kebersamaan yang sudah terbangun dengan susah payah ini.

Tahun ini hampir genap 5 tahun saya berada di komunitas ini. Semakin hari saya semakin sadar kalau saya berada di tempat yang tepat. Tempat untuk belajar banyak hal tentang kehidupan, belajar tentang kebersamaan, belajar tentang toleransi. Satu pelajaran penting yang saya terima dari perjalanan hampir lima tahun di komunitas ini adalah : uang tidak bisa membeli kebersamaan dan rasa cinta dan uang bukan perekat utama sebuah kebersamaan.

 

[dG]