Ini Hanya Dunia Maya, Bukan Dunia Nyata
“Why you always look at your cell phone? You look so busy”
Suatu hari di bandara Ngurah Rai saya sedang bersantai dengan seorang teman. Di samping kami ada seorang lelaki bule duduk bersama seorang lelaki lokal. Si lelaki bule yang ternyata warga Amerika Serikat menyapa kami dan mulai mengajak ngobrol.
Obrolanpun berlanjut. Ternyata dia sudah lama tinggal di Bali, punya satu rumah di daerah Ubud dan tinggal bersama anak lelakinya. Sepanjang perbincangan saya bolak-balik melihat ke layar blackberry, membalas bbm dan tentu saja melirik lini masa di Twitter.
Hingga akhirnya dia mengajukan pertanyaan seperti di atas.
Saya tidak tahu harus menjawab apa, saya hanya bilang kalau saya sedang chat bersama seorang kawan. Rasa tidak enak sempat menjalar ke dalam hati, mungkin dia menganggap saya kurang sopan karena sepanjang obrolan santai itu saya masih sibuk melirik ke telepon selular yang saya genggam.
Apa yang saya lakukan mungkin juga dilakukan jutaan orang di Indonesia. Ketika telepon selular makin menambah fungsinya, kehidupan sosial orang-orang juga mulai bergeser. Dulu telepon selular hanya digunakan untuk menelepon dan mengirim pesan lewat sms. Kemudian teknologi memungkinkan munculnya fungsi baru. Telepon selular bisa digunakan untuk berselancar di internet.
Makin jauh, teknologi juga makin berkembang. Muncullah beragam media sosial yang menggunakan telepon selular sebagai mediumnya. Perlahan-lahan kecanduan orang akan sosial media juga makin tinggi, ini belum termasuk mereka yang juga punya hobi baru: bercakap-cakap lewat perangkat chatting atau grup chatting.
Orang Indonesia mungkin memang punya hobi bersosialisasi. Tak cukup dengan mailing list, kita membuat grup di Facebook, sebagian membuat grup BBM, kemudian datang Line dan Whats App yang juga memungkinkan dibuatnya grup chat. Itu belum cukup, orang Indonesia juga aktif di Twitter. Entah berkicau sendirian atau saling bersahutan.
Lama kelamaan dunia maya mulai merasuk menggantikan dunia nyata. Jika berada di kota besar cobalah melongok ke cafe atau warung kopi. Sebagian besar mereka yang berkumpul di sana tidak lagi sibuk dengan obrolan yang melibatkan tatapan mata dan gerak tubuh. Sebagian besar dari mereka sibuk dengan benda di genggaman masing-masing atau malah sibuk dengan laptop yang sedang menampilkan layar Facebook atau game online.
Sebenarnya ini tidak terjadi di kota besar saja. Cobalah bergeser sedikit ke pinggiran kota atau ke kota kecil kabupaten. Anak-anak mudanya juga sudah mulai menempatkan porsi dunia maya lebih besar hingga mendekati porsi dunia nyata mereka. Interaksi dunia maya pelan-pelan mengaburkan interaksi dunia nyata.
Anak-anak gadis dibodohi teman Facebooknya, pengguna Twitter disetel pola pikirnya oleh akun tertentu, anak-anak muda berpikiran pendek menganut fanatisme buta pada satu akun. Itu adalah hal yang sudah makin jamak. Lesatan teknologi tidak dibarengi dengan perkembangan mental yang bisa membuat penduduk dunia maya bijaksana dalam berinteraksi.
Kecanduan Social Media
Kecanduan sosial media jadi perdebatan, benarkah itu ada atau hanya mitos? Beberapa ahli mengatakan kalau kecanduan sosial media adalah kondisi di mana orang sudah benar-benar sudah susah membedakan antara dunia maya (yang diwakili oleh beragam sosial media) dengan dunia nyata yang dijalaninya sehari-hari. Pada berbagai kasus, penderita mengalami kesulitan berinteraksi dengan dunia nyata karena sibuk dengan kehidupannya di dunia maya.
The Wall Street Journal melansir data yang masih bisa diperdebatkan bahwa di Amerika Serikat 1 dari 5 pernikahan rusak gara-gara Facebook. Sherry Turkle seorang peneliti pada Institut Teknologi Massachussetts pernah menulis bahwa sosial media sebenarnya membuat hubungan manusia di dunia nyata menjadi lebih renggang. Dalam bukunya yang berjudul Alone Together; Why We Expect More From Technology and Less From Each Other dia merumuskan beberapa efek buruk perkembangan teknologi (termasuk internet) yang secara konstan menjauhkan orang dari teman di dunia nyata dan malah membuatnya merasa makin sendiri dan terpinggirkan.
Teknologi tidak bisa dibendung, suka atau tidak perkembangannya akan makin pesat. Sebagai warga dunia maya kita hanya bisa berharap kalau teknologi tidak sampai benar-benar membuat kehidupan nyata kita menjadi kabur. Kebijaksanaan sangat dibutuhkan di sini karena bagaimanapun kemajuan teknologi bila disikapi sesungguhnya bisa sangat memudahkan interaksi kita sebagai manusia.
Selamat berinteraksi di dunia maya, dan jangan lupa untuk tetap menjadi manusia di dunia nyata.
[dG]
Sebuah “cubitan” reflektif, Daeng. Semoga bisa menyeimbangkan kehidupan di dunia maya dan dunia nyata. Thanks to reminder us, especially me…hehehe
sama-sama pak, ini juga refleksi buat saya yang kadang jadi lupa dengan kehidupan nyata
semenjak kerja di perahensian, untuk menyeimbangkan hidup saya lebih menikmati interaksi nyata.
lagian Twitter sudah kayak pasar. ruaaameee bener!
:))
Hahaha..iyyakah? saya masuk twitter pas memang sudah rame mi..