Hidup Tanpa Sinyal, Bagai Taman Tak Berbunga
Hidup tanpa sinyal selular dan sinyal internet berat bagi orang kota. Saya sudah mengalaminya, seminggu lebih hidup tanpa sinyal.
Dari bandara Sultan Aji Muhammad Sulaiman saya bertolak ke bandara Juwata, Tarakan. Kali ini saya tidak sendiri, saya bergabung dengan dua teman perjalanan lain yang datang dari Jakarta. Kami bertiga meninggalkan Balikpapan sesaat setelah Kenny Bailes wasit yang memimpin pertandingan Manny Pacquiao vs Floyd Mayweather memastikan kemenangan Floyd.
Tarakan berjarak kurang dari satu jam penerbangan dari Balikpapan. Dengan cepat saya menemukan bandara yang berbeda jauh dengan bandara keren yang baru saja saya tinggalkan. Bandara Juwata biasa saja, kecil dan sama sekali berbeda dengan Sultan Aji Muhammad Sulaiman.
Dari Tarakan kami menumpang motor boat menuju Kabupaten Tana Tidung (KTT) yang kemudian dilanjutkan dengan perjalanan darat menuju Malinau. Sebenarnya dari Tarakan ada motor boat yang langsung menuju ke Malinau, tapi kami hampir satu jam terlambat setelah boat terakhir berangkat.
Malinau bukan tujuan akhir kami. Selama 1 minggu ke depan kami masuk lebih jauh ke perut Kalimantan, hidup di desa yang sederhana dan penuh keterbatasan. Di sinilah cerita berawal.
*****
“Gue kangen sinyal.” Kata mbak DJ, rekan satu tim yang sama-sama masuk ke pedalaman Kalimantan.
Saya tertawa. Sayapun sebenarnya sama dengan dia, sama-sama kangen sinyal. Padahal baru 5 hari kami berada di desa yang jauh dari Malinau. Desa yang jangankan sinyal internet, sinyal selularpun susah. Selama 5 hari itu handphone kami menganggur dan tidak berfungsi sebagaimana mestinya. Handphone hanya dipakai untuk memotret sambil sesekali memutar musik. Tidak heran kalau handphone yang biasanya rakus daya, selama 5 hanya diisi baterai 2-3 kali. Beda dengan biasanya yang harus diisi baterai sampai 2 kali sehari.
Kondisi tanpa sinyal selular (sebenarnya sinyal internet) awalnya memang lumayan membuat kikuk. Sebagai orang yang sudah mulai adiktif pada internet, menatap handphone di tangan adalah sebuah keharusan. Bukan sekadar mengecek beragam media sosial tapi juga untuk bercakap-cakap di kanal chatting.
Ketika memasuki kawasan tanpa sinyal semua berubah. Suara-suara notifikasi yang biasanya lancar berbunyi mendadak hilang. Sesekali tanpa sadar saya menatap handphone, tapi langsung sadar ketika melihat nama operator yang berubah menjadi “no service”.
Di siang hari kondisi ini memang masih belum terasa. Maklum, di siang hari kami beraktifitas penuh sesuai tugas utama kami ke Malinau. Aktifitas itu sejenak bisa membuat kami melupakan kebiasaan mengintip handphone dan bergantung pada sinyal. Kalaupun ada waktu luang kami melewatkannya dengan mengobrol bersama penduduk lokal atau sesama kami anggota tim.
Kondisi baru terasa menyiksa ketika malam tiba. Apalagi di beberapa desa yang kami datangi listrik hanya mengalir sampai jam 10 malam karena mereka menggunakan genset, bukan listrik negara. Lepas jam 10 suasana jadi gelap gulita, warga tentu saja sudah masuk ke peraduan mereka masing-masing, menyisakan suasana sepi yang ditimpali suara jangkrik, burung, anjing dan kadang hujan.
Di saat seperti itulah saya tiba-tiba mati angin dan mati gaya. Bingung mau bikin apa. Apalagi saya termasuk orang yang terbiasa tidur setelah hari berganti. Mau membuka handphone sia-sia saja, tak ada sinyal dan saya bukan orang yang senang bermain game. Mau membaca juga tidak bisa, lampu sudah dimatikan. Jadilah saya bolak-balik di tempat tidur, pikiran kemana-mana, membayangkan ini-itu, mengingat ini-itu sampai capek dan tertidur. Untung ada iPod yang setia menemani, membawa alunan musik yang menemani bahkan sampai saya tertidur.
Di hari kelima kami mulai delusi.
“Halo…” kata mbak DJ sambil meletakkan batu seukuran bata di kupingnya seolah-olah sedang menerima telepon. “Mbak baru 2 hari di sini tapi sudah mulai gila kayaknya.” Kata Ningsih, seorang guru SM3T yang berdinas di pelosok Kalimantan. Kami semua tertawa geli.
Sayapun sesekali seperti mendengar suara notifikasi dan dering telepon. Tapi itu hanya ada di kepala, hanya ilusi semata.
*****
Hidup di desa yang tak bersinyal membuat saya sangat bersyukur. Bersyukur karena selama ini hidup di daerah yang sinyal seluler maupun sinyal internetnya selalu tersedia meski kadang tidak secepat yang diharapkan. Internet bagaimanapun membuat kita lebih mudah menerima dan bertukar informasi, mendapatkan hal-hal positif yang bisa kita terima dan daur ulang menjadi hal yang sama positifnya.
Tapi, hidup di desa tanpa sinyal juga membuat saya bisa lebih akrab bergaul dan berinteraksi dengan warga lokal. Akibatnya, banyak cerita yang bisa diserap dan bisa diceritakan ulang. Mungkin kalau desa-desa itu diguyur sinyal internet saya malah lebih asyik masyuk dengan handphone saya. Sinyal internet yang alpa membuat saya merasa kembali seperti manusia yang dulu, yang lebih menghargai manusia di depan mata bukan di depan handphone.
Tapi, seberapa lama saya bisa bertahan hidup tanpa sinyal? Saya yakin tidak lama. Saya sudah terlanjur jadi orang yang ketergantungan pada sinyal. Mungkin Anda juga.
Karena hidup tanpa sinyal bagai taman tak berbunga. Tidak lengkap [dG]