Gemuruh Dari Sidang Yusniar
“Apakah saudara terdakwa memang bermaksud menghina ketika membuat status Facebook itu?” Tanya hakim ketua.
“Tidak pak, itu saya cuma curhat ji,” jawab Yusniar sang terdakwa. Dalam bahasa Indonesia logat Makassar, kalimat itu bermakna penyangkalan. Yusniar hanya bermaksud curhat di status Facebooknya, sama sekali tidak bermaksud menghina.
*****
Selasa 24 Januari 2016, bertempat di ruang sidang anak Pengadilan Negeri Makassar, sidang kesebelas Yusniar digelar. Agenda sidang hari itu adalah pemeriksaan terdakwa. Pukul 14:05 WITA, sidang dibuka untuk umum. Puluhan orang memenuhi ruang sidang yang tak seberapa besar itu. Sebagian besar adalah awak media, baik cetak, elektronik maupun online. Rupanya sidang Yusniar masih menarik perhatian orang banyak, termasuk media arus utama.
Yusniar yang hari itu berbaju biru, bercelana jeans dan menutup kepalanya dengan hijab warna biru adalah tersangka kasus pencemaran nama baik. Adalah Sudirman Sijaya yang melaporkannya ke polisi setelah pria yang juga anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Jeneponto dari partai Gerindra itu merasa dihina di Facebook.
Kisah lengkap tentang Yusniar bisa dilihat di sini
14 Maret 2016, Yusniar mengunggah status sehari setelah rumahnya digeruduk massa dan hampir dibongkar paksa. Tanpa menyebut nama, Yusniar berkeluh kesah tentang aksi seorang pria yang waktu kejadian berteriak-teriak memproklamirkan diri sebagai seorang pengacara dan anggota dewan.
“Alhamdulillah Akhirnya selesai Juga Masalahnya. Anggota DPR tolo, Pengacara tolo. Mau nabantu orang yang bersalah, nyata-nyatanya tanahnya ortuku pergiko ganggui Poeng..,” Begitulah isi status Facebook Yusniar yang kemudian membawanya ke pengadilan.
Dalam pembelaannya, Yusniar menyangkal kalau kata “tolo” yang dituliskannya di status Facebooknya adalah hinaan. Menurutnya, kata “tolo” yang dalam bahasa Indonesia sepadan dengan kata tolol itu adalah ucapan yang biasa diungkapkan di lingkungannya. Yusniar memang tinggal di daerah sub urban, dia hidup bersama ratusan orang lain yang hidup dari sektor non formil. Menurutnya, sebagian besar tetangganya adalah tukang becak, supir angkot dan pedagang di pasar.
Yusniar sendiri tidak tamat SD, orang tuanya yang adalah seorang supir dan buruh cuci tidak sanggup menyekolahkan anak-anak mereka.
Tanpa bermaksud menggeneralisir, kita mungkin paham kalau di lingkungan seperti itu, etika dan adab akan sedikit berbeda. Kata-kata yang bagi orang lain terdengar kasar atau terkesan sebagai umpatan, bagi mereka tidak ada artinya. Kata-kata seperti itu kadang mengalir begitu saja, bahkan ajaibnya kadang mengikuti kata pujian.
“Deh, anass*ndala! Enakna lombokna itu di sana,” contohnya seperti itu.
Kalimat itu sebenarnya pujian atas kelezatan sebuah sambal, tapi diucapkan dengan nada khas kaum sub urban Makassar, lengkap dengan kata “anass*ndala” yang jika diucapkan di tempat lain bisa memicu pertumpahan darah. Anass*ndala yang begitu krusial saja bisa diucapkan dengan santai, apalagi hanya kata “tolo” yang buat mereka lebih “lembut”.
*****
“Jadi kamu memang biasa menggunakan kata “tolo” itu?” Tanya pak hakim kepada Yusniar.
“Iyye yang mulia. Di dekat rumahku, kita biasa ji pakai kata “tolo”. Bukan ji untuk menghina. Misalnya begini yang mulia, saya bilang sama temanku ‘piko ambil ki itu cepat, tolo!’” Yusniar mencontohkan penggunaan kata tolo dalam bahasa pergaulannya sehari-hari.
Geeerr! Ruang sidang tiba-tiba dipenuhi gelak tawa sebagian besar pengunjung. Semua kalimat yang keluar dari bibir Yusniar benar-benar apa adanya, natural dan tidak dibuat-buat.
Ketika suara tawa mulai reda, hakim ketua kembali bertanya, “Apa kamu juga menggunakan kata “tolo” itu untuk orang yang tidak kamu kenal?”
“Iyye, biasa juga yang mulia. Misalnya begini, kalau ada orang yang mencuri biasa kita bilangi ‘tolo mentong inie pi lagi mencuri di sini’. Begitu yang mulia,”
Gelak tawa kembali merebak, kali ini tak seriuh sebelumnya.
Intinya Yusniar memaparkan kalau kata “tolo” itu bisa saja digunakan kepada orang yang tidak dikenal atau tidak diakrabi sepanjang konteksnya tepat. Misalnya jika orang tersebut melakukan sesuatu yang mengesalkan.
“Terus, apa kamu pernah menggunakan kata “tolo” itu ke bapak kamu misalnya?” Hakim kembali bertanya.
Yusniar berpikir sejenak, lalu menjawab, “Iyye pak biasa juga. Misalnya saya bilang begini, ‘tolona ini bapak e, pi lagi nakerja itu’.”
Gelak tawa merebak lagi. Yusniar dengan ucapannya yang apa adanya dan tidak dibuat-buat itu membuat ruang sidang jadi terasa sangat santai. Bahkan ketiga hakim yang memimpin sidang pun nampak tertawa lebar.
Dari penuturannya, jelas sekali kalau kata “tolo” yang membuat Sudirman Sijaya keberatan sebenarnya bukan kata yang bermuatan penghinaan. Kata itu hanya sekadar ungkapan kekesalan semata, seperti yang mungkin Yusniar lakukan sehari-hari.
Ketiga hakim yang sepertinya berasal dari Jawa mungkin kurang paham dengan penggunaan kata “tolo” yang oleh sebagian besar orang sub urban di Makassar adalah kata atau ungkapan biasa, sama sekali tanpa bermaksud menghina. Namun, gelak tawa pengunjung dan ketenangan Yusniar kala memberi contoh penggunaan kata “tolo” dalam bahasa sehari-hari semoga saja bisa membuat ketiga hakim memahami kalau kata “tolo” tidak seperti yang disangkakan oleh Sudirman Sijaya.
Dalam sidang hari itu, Yusniar kukuh menolak dituduh sengaja menghina Sudirman Sijaya. Menurutnya, justru dialah korban yang sebenarnya. Sebagai seorang wanita yang rumah orang tuanya hendak dibongkar massa berisi puluhan pria membawa balok, linggis dan palu, dia tak bisa berbuat apa-apa. Pelariannya hanya curhat di media sosial. Plus dia tidak menyebut secara spesifik siapa yang dia maksud, sama sekali tidak ada nama yang dia sebut.
“Sampai sekarang saya masih suka takut Yang Mulia. Kalau saya dengar kucing lompat di seng saja, suka ka kaget,” kata Yusniar. Bayangan puluhan pria bermuka garang masih menghantuinya. Trauma membayanginya, bahkan mendengar kucing melompat di atas seng saja, dia bisa kaget setengah mati.
Catatan akhir tahun dari SAFENET tentang UU ITE bisa dilihat di sini
Sidang berlangsung satu jam lebih. Rencananya akan dilanjutkan kembali tanggal 8 Februari 2017 dengan agenda pembacaan dakwaan. Semoga saja Yusniar mendapat keadilan. Semoga gemuruh tawa di ruang sidang itu akan terus berlanjut, hingga Yusniar bebas dari semua dakwaan. Aminn. [dG]