Dari FreeBenhan Ke DRAmart

Ilustrasi (sumber: huftington post)
Ilustrasi (sumber: huftington post)

Minggu kemarin, dunia media sosial Indonesia heboh oleh kasus penahanan Benny Handoko alias Benhan. Di hari yang sama, media sosial di Makassar juga heboh oleh sebuah kasus berbau pelecehan di dalam toko retail besar.

Awalnya dari sebuah twit nomention sekisar bulan Desember tahun lalu sampai kemudian twit itu diteruskan ke yang bersangkutan dan kemudian terjadilah perang twit atau yang biasa disebut twitwar. Benny Handoko atau di ranah twitter menggunakan nama @benhan kemudian berakhir di Cipinang ketika lawan twit war-nya, Misbakhun merasa tidak terima.

Mantan politisi dari PKS yang sekarang menyeberang ke Golkar itu tidak terima dituding perampok oleh Benhan. Dalam twitnya, Benhan memang secara frontal menuduh Misbakhun sebagai perampok berkaitan dengan kasus LC fiktif Bank Century. Twit war keduanya memang panas (bisa dibaca di sini) dan wajar jika ada yang emosinya terpancing.

Emosi yang terpancing itu berakhir pada laporan ke pihak berwajib dan berujung pada penahanan Benhan pada hari Kamis 5 September. Warga republik twitter kaget, beberapa pemilik akun besar dengan cepat menggalang dukungan untuk mengeluarkan Benhan dari Cipinang. Gerakan itu diberi tagar #FreeBenhan. Entah karena gerakannya atau karena ada sebab lain, Benhan kemudian bisa keluar dari Cipinang beberapa hari kemudian. Tidak benar-benar bebas karena status penahanannya hanya ditangguhkan.

Di hari yang sama ketika Benhan ditahan, pengguna twitter di Makassar juga diramaikan oleh sebuah twit yang diberi tagar #Alfuckmart. Isinya tentang seorang perempuan yang mengaku mendapat perlakuan tidak menyenangkan bahkan menjurus ke pelecehan seksual dari 4 orang pegawai sebuah retail besar. ?Twit ini dengan cepat menyebar dan menyedot perhatian dari pengguna twitter di Makassar.

Ketika pertama membaca twit dengan tagar #Alfuckmart itu saya tidak 100% percaya. Saya merasa ada yang janggal, utamanya dari cara penyampaian si korban yang masih terkesan santai dan bahkan bernada bercanda. Agak sulit bagi saya membayangkan seorang korban pelecehan oleh 4 orang sekaligus masih bisa ngetwit dengan nada yang santai jauh dari kesan emosi apalagi trauma. Tapi saya juga tetap menyimpan asumsi kalau bisa saja kejadian itu memang benar.

Sepanjang hari itu, twit tentang usaha pelecehan di gerai retail itu menyebar dengan cepat dan mengundang banyak simpati. Tapi angin tiba-tiba berubah keesokan harinya. Angin yang tadinya bertiup ke arah retail besar itu tiba-tiba berbalik ke si korban. Penyebabnya, setelah kasus itu semakin membesar, si korban malah menghilang. Retail yang mencoba menghubungipun tidak mendapat respon. Beberapa orang yang mengecek langsung ke lokasi juga tidak menemukan tanda-tanda lemari pecah seperti yang ditwitkan si korban. Asumsi kalau cerita korban adalah bualan semata kemudian menyeruak. Tagar #Alfuckmart kemudian berubah jadi #DRAmart mengacu pada drama dan nama retail tempat kejadian.

Kejadian di retail itu kemudian jadi bahan bercandaan, sebagian malah terang-terangan mem-bully si korban yang sudah benar-benar menghilang dari dunia maya. Apalagi ketika seorang sahabat karib korban muncul dan ngetwit tentang kebiasaan si korban yang katanya sering melakukan hal yang sama. Makin lengkaplah alasan orang untuk berbalik dari simpati jadi menyerang.

Sampai sekarang kasus ini masih bergulir tanpa kejelasan. Saya masih berpegang pada tiga kemungkinan. Pertama, kejadian tersebut memang terjadi di lapangan dan pihak retail yang menyembunyikan faktanya. Kedua, tidak ada kejadian sama sekali di lapangan, si korban saja yang mengarang cerita. Ketiga, memang terjadi sesuatu yang tidak menyenangkan hanya saja si korban terlalu membesar-besarkan cerita dan menambahkan dengan sesuatu yang dia karang sendiri. Ketiga kemungkinan itu sama besar. Saya masih menunggu akhir dari cerita ini meski sebagian besar pengguna twitter sudah terlanjur mengambil kesimpulan sendiri.

Media Sosial itu kejam.

Dari dua kasus di atas saya melihat ada satu benang merah yang menghubungkannya, benang merahnya adalah: media sosial itu kejam! Media sosial yang menawarkan kebebasan dengan langit sebagai pembatasnya itu juga punya banyak perangkap yang bisa menggiring kita ke dalam lubang yang dalam.

Dalam kasus Benhan, meski dia hanya meneruskan apa yang sudah jadi berita tapi dengan cara yang kurang bijak maka ujungnya bisa membuat orang lain bereaksi berlebihan. Undang-undang ITE memang memungkinkan seseorang untuk menjerat orang lain yang dianggapnya sudah mencemarkan nama baiknya di dunia maya.

Kasus Benhan ini bagi saya agak berlebihan kalau sampai benar-benar diajukan ke depan hukum. Bukankah masih ada cara lain yang bisa digunakan untuk mematahkan tuduhan orang lain tanpa harus melibatkan hukum? Tulisan dibalas dengan tulisan misalnya. Lagipula jika memang ingin menegakkan hukum, kenapa pemilik akun lain yang jelas-jelas sudah dilaporkan ke polisi dengan tuduhan mencemarkan nama baik tidak ditahan juga sampai sekarang? Apa bedanya?

Sementara itu kasus DRAmart di Makassar juga jadi bukti betapa kejamnya media sosial. Si korban yang awalnya berharap simpati dari pengguna twitter akhirnya berbalik jadi korban dalam arti yang berbeda ketika dia gagal menjadi orang yang bijak dalam menggunakan media sosial. Ketika memutuskan untuk menyebar ceritanya di media sosial, si korban tidak menyiapkan mentalnya untuk menerima dampak dari penyebaran berita yang dia lempar ke media sosial. Akibatnya ketika asumsi makin liar dan panas kemana-mana, si korban malah jadi stress dan merasa tertekan.

Kejanggalan ceritanya yang ditambah dengan beberapa fakta yang dipertanyakan seperti kaca pecah, laporan ke polisi yang tidak ditemukan dan pemecatan karyawan pelaku pelecehan yang tidak terkonfirmasi kemudian disempurnakan dengan menghilangnya dia dari media sosial membuat orang jadi bebas untuk berasumsi sendiri berdasarkan data dan fakta yang ada.

Kita tidak bisa menyalahkan para pengguna twitter yang dengan cepat berubah sikap. Tindakan mereka berdasar pada fakta yang tersaji, apalagi karena dalam jangka waktu tertentu tidak ada teman dekat si korban yang berusaha melindungi atau memberi klarifikasi. Perlindungan dan pendampingan baru ada ketika bola sudah terlanjur panas dan susah dikontrol.

Dua kasus di atas membawa pesan yang sama, hati-hati dan bijaklah menggunakan media sosial. Media sosial bisa sangat menyenangkan dan menguntungkan kalau kita tahu cara memakainya, tapi bisa jadi sangat kejam kalau kita salah menggunakannya.

Kebebasan yang dibawa media sosial tidak gratis, selalu ada harga yang harus dibayar. Kadang harganya sangat mahal, kadang bisa sangat murah. Semua tergantung kita, pemakainya. Asal kita ingat untuk selalu bijak tanpa harus berlebihan. Menurut saya sih begitu, bagaimana menurut Anda? [dG]