Bingkai Media Dalam Pilpres 2014
Apa jadinya kalau media sudah mulai memihak? Apa jadinya kalau media sudah dipakai untuk membingkai dan menggiring opini demi kepentingan satu golongan tertentu?
Berpekan-pekan belakangan ini ada satu topik yang sedang jadi hidangan paling sering disajikan untuk rakyat Indonesia, apalagi kalau bukan topik tentang pemilihan presiden. Pembicaraan yang awalnya adalah menebak siapa yang akan maju ke pemilihan presiden tahun ini kemudian bergulir ke topik yang lebih tajam: siapa yang akan memang di pemilihan presiden tahun ini? Sepertinya semua tempat sudah disusupi oleh topik ini, dari warung kopi belasan ribu rupiah sampai cafe puluhan ribu rupiah. Dari pembicaraan nyata di media massa hingga pembicaraan maya di media sosial.
Keriuhan pemilihan presiden dengan semua bumbu-bumbunya yang kadang panas dan pedis ini juga ikut diramaikan ragam media televisi swasta di negeri kita. Kita pasti tahu dong bagaimana beberapa televisi besar di negeri ini juga dikuasai oleh mereka yang ikut berebut kepentingan di pemilihan presiden kita. Ada Surya Paloh pemilik Metro TV yang juga ikut di gerbong pasangan Jokowi-JK, terus tentu saja ada Aburizal Bakrie sang taipan pemilik Viva News (termasuk TVOne) dan Hari Tanoe pemilik grup MNC (RCTI, Global TV dan MNC TV) yang ikut di gerbong Prabowo-Hatta.
Mereka punya kepentingan dan mereka juga punya media, jadilah media milik mereka itu dipakai untuk memuluskan kepentingan mereka. Mainnya memang tidak terlalu kasar, malah para pemilik media itu memainkan kepentingan mereka dengan cara yang sangat halus yang kadang tidak terlihat sebagai framing atau usaha membentuk opini publik.
Kira-kira sepekan terakhir saya sering menikmati siaran berita di televisi, tujuannya bukan untuk mencari informasi tapi lebih kepada melihat seberapa jauh mereka membingkai dua pasang capres ini dalam usahanya membentuk opini publik yang ujung-ujungnya tentu saja memenangkan sang jagoan di 9 Juli nanti.
Salah satu televisi swasta yang paling sering saya tongkrongi adalah Metro TV punya Surya Paloh. Karena sang pemilik ada di gerbong Jokowi-JK maka tentu saja isi beritanya banyak menggiring penonton untuk bersimpati pada Jokowi-JK. Halus memang, bukan semacam iklan yang langsung meminta orang memilih pasangan nomor urut dua itu. Metro TV rajin sekali menayangkan berita tentang aktifitas pasangan Jokowi-JK itu, tentu dengan menitikberatkan pada penampilan mereka berdua yang sederhana dan dianggap dekat dengan rakyat. Ulasan ini diulang berkali-kali dalam sehari, dan sesuatu yang diulang terus menerus lambat laun akan diterima sebagai sebuah kebenaran.
Tentu saja mereka juga tidak lupa menayangkan aktifitas pasangan Prabowo-Hatta meski dengan porsi yang lebih sedikit. Sesekali Metro TV juga tidak lupa untuk menayangkan beberapa catatan yang bisa dikaitkan dengan pasangan nomor urut satu itu, misalnya catatan tentang pelanggaran HAM pada tragedi Mei 1998 atau catatan kelam dari musibah lumpur Lapindo yang masih terkatung-katung hingga sekarang. Khusus untuk bagian kedua, targetnya memang bukan langsung ke pasangan Prabowo-Hatta tapi lebih kepada Aburizal Bakrie yang juga ikut di gerbong mereka.
Metro TV bukan satu-satunya televisi swasta nasional yang bisa dituding menunjukkan keberpihakan, TV swasta yang lain juga sama. Di TvOne, berita yang muncul selain keunggulan dan kewibawaan Prabowo sesekali juga mereka tidak lupa menayangkan berita tentang macet Jakarta atau banjir yang kadang masih sering datang di ibu kota ini. Maksudnya apa lagi kalau bukan memberi gambaran kalau Jokowi yang adalah lawan dari pasukan boss besar mereka ternyata belum becus menjalankan tugasnya sebagai gubernur DKI Jakarta.
Untuk semua keberpihakan ini KPI tercatat sudah melayangkan teguran kepada 5 televisi swasta yang dianggap tidak netral dalam menayangkan berita atau liputan tentang pilpres ini. Selain Metro TV ada TvOne, MNC TV, Global TV dan RCTI yang juga kenal tegur.
Anggota Komisi Penyiaran Indonesia Iddy Muzayyad mengatakan bahwa dalam periode 19 hingga 25 Mei, kelima stasiun televisi itu jelas telah menayangkan berita tentang capres yang tidak berimbang. KPI mencatat pasangan Jokowi-Kalla mendapat porsi liputan sebanyak 187 kali dalam periode tersebut, jauh lebih tinggi dari pasangan Prabowo-Hatta yang mendapat porsi 110 kali liputan. Sementara itu di TV One ada 153 liputan tentang Prabowo-Hatta, berbanding jauh dengan 79 liputan tentang Jokowi-JK. Di RCTI perbandingannya juga jauh, pasangan Jokowi-JK hanya diliput 7 kali berbanding 30 kali liputan tentang Prabowo-Hatta.
Dasar-dasar itulah yang kemudian digunakan oleh KPI untuk melayangkan teguran tertanggal 30 Mei 2014 kepada 5 stasiun televisi yang dianggap tidak berimbang dalam menyiarkan berita tentang pemilihan presiden 2014.
(sumber: Jakarta Pos http://www.thejakartapost.com/news/2014/06/02/kpi-warns-tv-stations-over-unbalanced-campaign-coverage.html dan website KPI : http://www.kpi.go.id/)
*****
Bagi warga biasa seperti saya kenyataan di atas sungguh mengerikan. Frekuensi yang mereka pakai adalah frekuensi publik yang seharusnya digunakan untuk kepentingan publik, bukan untuk membangun opini sesuai kepentingan satu golongan tertentu. Sejatinya pemilihan presiden adalah bicara tentang hajat hidup orang banyak, kita para pemilih harusnya diberi informasi berimbang tentang dua calon yang akan kita pilih sehingga diharapkan kita benar-benar bisa memilih sesuai hati nurani atau berdasarkan data dan fakta yang kita dapat dari ragam sumber informasi itu.
Idealnya seperti itu, tapi sayang karena kita tidak hidup di dunia yang ideal. Kita hidup di dunia di mana modal dan uang adalah penentu. Mereka punya modal, mereka punya uang dan karenanya mereka punya kuasa untuk menentukan bingkai pemikiran dan opini yang sesuai dengan kepentingan mereka.
Kalau sudah begini, sebagai orang biasa kita bisa apa? Masih mencoba percaya pada jurnalis yang katanya menjunjung tinggi kode etik jurnalisme itu? Atau mungkin kita akan berakhir pada pemakluman massal, menganggap semua itu biasa saja karena toh memang mereka yang punya uang jadi terserah mereka mau bikin apa dengan uang (dan kuasa) yang mereka punya itu. Mungkin sebagian besar dari kita berpikir seperti itu sampai kita lupa kalau mereka memuaskan hasratnya itu menggunakan frekuensi publik yang harusnya digunakan untuk kepentingan publik.
Hingga akhirnya saya sampai pada satu pertanyaan pamungkas: salahkah saya kalau saya makin apatis pada semua hal yang berkaitan dengan pemilihan presiden ini? [dG]
but… it’s still better than sinetron…
dan saya mulai bosen nonton metro dan tvone yang pemberitaannya itu lagi-itu lagi…