Beratnya Melawan Hoaks

Ilustrasi

Melawan hoaks memang tidak mudah, butuh kemauan kuat dan tentu saja siap menghadapi risiko dari lingkungan terdekat.

ALKISAH, SEORANG TEMAN –SEBUT SAJA NAMANYA MBAK L – bercerita di sebuah grup WhatsApp tempat kami sama-sama bergabung. Konon, di grup WhatsApp-nya yang lain, suhu sempat meningkat ketika salah seorang anggota memasukkan info hoaks ke dalam grup. Info ini membuat Mbak L agak gerah dan segera menyambarnya dengan bantahan lengkap yang intinya memperjelas kalau info itu hoaks. Bukannya meminta maaf, si pemberi info justru berkelit.

“Ambil hikmahnya saja.”

“Kalau gak suka ya tinggal dihapus saja.”

Kira-kira seperti itulah caranya berkelit. Mbak L tentu saja tidak puas dengan alasan itu dan terus berusaha memberi masukan tentang bahayanya info hoaks. Si pemberi info merasa tidak senang, meninggalkan grup dan mem-block Mbal L dari pertemanan.

Baperlah ceritanya.

*****

PERNAH MENEMUI HAL YANG SAMA? Saya pernah. Tidak sampai di-blokir sih, tapi setidaknya saya pernah bertemu dengan orang seperti si pemberi info hoaks di grup Mbak L itu. Ceritanya di sebuah grup ada seorang anggota yang menyebarkan info tentang bulan yang bertawaf mengelilingi ka’bah. Katanya ini terjadi 100.000 tahun sekali (apa 10.000 ya? Lupa saya). Karena ini kejadian sangat langka, maka kaum muslimin diharapkan untuk bangun tengah malam dan menunaikan salat sunnah.

Saya membantah info itu dengan memasukkan tautan dari sebuah laman berita daring. Intinya penjelasan dari BMG kalau info tersebut hoaks. Alih-alih meminta maaf, si pemberi info pertama justru bilang: kalaupun hoaks, ya ambil hikmahnya saja. Kita diminta bangun untuk salat sunnah di sepertiga malam.

Jawaban seperti itu bukan hanya keluar dari satu orang. Kebetulan info itu juga muncul di grup WhatsApp lain dan saya bantah juga. Kedua pelakunya memberi jawaban yang sama, tentu dengan redaksi yang beda. Tapi intinya tetap sama: ambil hikmahnya saja.

Waktu itu saya membalas dengan ucapan yang kira-kira begini: kalau cuma mau mengajak orang salat malam, ya silakan. Tapi tidak perlu sampai bawa-bawa info hoaks segala. Saya lalu menambahkan bahayanya bila permisif pada info-info hoaks seperti ini. Dalam pandangan saya (cieee pandangan) hoaks itu apapun bentuknya ya tetap hoaks. Walaupun sepintas tidak terlihat berbahaya, tapi kalau kita terlalu permisif dan tebang pilih, suatu saat nanti bisa saja kita akan menerima juga hoaks yang berbahaya karena sudah sangat terbiasa menerima hoaks dengan tangan terbuka.

Saya bayangkan ini ibarat tumor jinak yang tidak diobati. Awalnya memang jinak, tapi bisa saja itu akan menjadi ganas dan justru menggerogoti kita kalau memang tidak diantisipasi dari awal. Menggunakan pembelaan seperti: ambil hikmahnya saja, pada sebuah hoaks buat saya sama saja dengan bilang: lihat dagingnya saja, kepada tumor jinak. Sama-sama permisif kan?

Intinya sih, kalau mau menyarankan kebaikan ya langsung saja, atau mau menggunakan contoh? Gunakan contoh yang benar dan baik, bukan contoh yang berasal dari cerita hoaks. Misalnya mau mengajak orang untuk salat malam, ya masukkanlah cerita tentang pahala salat malam, atau istimewanya salat malam. Bukan justru membawa-bawa bulan. Kasihan, bulan dibawa-bawa untuk sesuatu yang tidak benar.

Terus, alasan lain yang bilang: kalau tidak suka dihapus saja, buat saya adalah alasan yang hmm..apa ya? Naif mungkin ya. Sebuah grup biasanya dihuni banyak orang dengan latar berbeda, kita tidak pernah tahu bagaimana sikap mereka dalam menerima informasi. Untung kalau semuanya kritis, kalau tidak? Bisa saja berita hoaks itu dicerna begitu saja, bahkan mungkin diteruskan ke grup lain. Kalau sudah begini, rantainya akan terus memanjang dan ujung-ujungnya korbannya akan terus bertambah.

Eh, tapi cara kerja hoaks memang seperti ini kan ya? Dibuat entah dengan sengaja atau tidak dan disebarkan secepat kilat oleh mereka yang tidak tahu.

*****

MELAWAN HOAKS MEMANG SUSAH. Apalagi di dalam lingkungan dekat, baik lingkungan keluarga, lingkungan alumni atau lingkungan rumah. Alamat buruk ketika kita berada dalam himpunan yang sama dengan orang-orang yang gemar menyebar hoaks. Kalau mau melawan, ya harus siap-siap dengan konsekuensinya.

Konsekuensinya adalah; menjadi musuh bersama (kalau ternyata lebih banyak yang percaya pada info hoaks di lingkungan itu), tidak sopan sama orang tua (kalau ternyata penyebar info hoaks itu orang yang lebih tua), tidak asik (karena dianggap membesar-besarkan hal sepele), dianggap partisan salah satu kubu (kalau hoaksnya tentang politik), dan apa lagi? Kalian mungkin bisa tambah alasannya di bagian komentar.

Intinya, melawan hoaks dalam satu lingkungan memang tidak mudah. Apalagi kalau kita sendirian. Kalau ada teman yang sama-sama rajin melawan mungkin usaha akan lebih mudah, tapi tidak ketika kita ternyata sendirian. Harus siap menanggung semua risiko tersebut di atas.

Selain risiko itu, beratnya melawan hoaks itu dirasakan ketika hoaks yang muncul seakan-akan membenarkan pikiran kita. Ini paling sering terjadi pada hoaks politik. Salah satu contohnya ketika bermunculan informasi kalau anak Amien Rais akan maju di Pilkada Gubernur Sumut berpasangan dengan calon gubernur non muslim. Wuih, info hoaks ini ramai disebar oleh mereka yang berseberangan dengan kubu Amien Rais. Kalau kita juga ada di kubu tersebut, pasti rasanya berat untuk tidak ikut menyebarkan hoaks tersebut, bukan?

Tapi kadang memang kita harus berani mengambil risiko itu. Permisif pada hoaks atau tebang pillih dalam menanggapi hoaks, akan berujung buruk untuk semua. Hoaks apapun kadarnya, bila tidak dilawan lama-lama akan membesar dan berdampak buruk. Di level paling ringan ya berdampak buruk untuk kita, membuat kita terlihat bodoh dan mungkin saja dijauhi pergaulan. Di tingkat yang lebih tinggi, hoaks akan merusak kedamaian.

Jadi pilih mana? Siap melawan hoaks dengan risiko seperti di atas? Atau diam saja dan melihat sendiri bagaimana hoaks suatu saat merusak semua yang kita cintai.

Kalau saya sih, pilih liburan dulu. Mumpung ini long weekend. Selamat berlibur teman-teman! Ingat, produsen hoaks tidak pernah libur. Jadi kita butuh liburan untuk melawan mereka yang kurang liburan itu. [dG]