Apa Kabar Kebebasan Berekspresi?
Tahun 2014 bisa dicatat sebagai tahun terburuk untuk kebebasan berekspresi di internet di Indonesia. SAFENET (South East Asia Freedom of Expression Network) mencatat selama tahun 2014 ada 28 kasus karena UU ITE atau 27% dari total 78 kasus yang tercatat sejak UU ITE diberlakukan tahun 2008.
Dari total 78 kasus tersebut sebagian besar memang berakhir tanpa kejelasan alias menguap begitu saja, beberapa di antaranya berlanjut hingga berakhir dengan putusan sidang termasuk kasus Benhan. Hanya ada 3 kasus yang berakhir dengan putusan bebas murni; Prita Mulyasari, Muhammad Arsyad dan paling terakhir Ervani di Jogja.
UU ITE (khususnya pasal 27 ayat 3) memang seakan jadi momok bagi para pengguna internet di Indonesia. Pasal karet yang sangat mudah diinterpretasikan sedemikan mudah itu jadi favorit banyak orang yang bermasalah dengan orang lain. Bukan salah mereka sih, sayapun pasti akan menggunakan pasal yang menguntungkan saya jika saya memang punya masalah dengan orang lain. Masalahnya, apakah semua persoalan memang harus dibawa ke meja hukum sementara masih ada cara lain untuk memperbaikinya? Tentu tidak. Membawa semua masalah ke depan hukum hanya membuang waktu, tenaga dan pikiran.
Keberadaan UU ITE (pasal 27 ayat 3) juga seperti salah satu favorit bagi orang-orang berkuasa yang tidak senang kekuasaannya diusik lewat kritikan. Ada banyak bukti bagaimana pasal ini jadi favorit beberapa penguasa untuk membungkam mereka yang mengkritik. Iya, beberapa kritikan memang sulit untuk dibuktikan dan dianggap sebagai penghinaan dan pencemaran nama baik saja. Tapi, apakah semua itu lantas harus diselesaikan di depan hukum? Kalau memang tak salah dan yakin bersih, warga pasti akan ikut membela bukan?
Kasus terakhir yang meruak ke publik (utamanya publik di Sulawesi Selatan) adalah kasus diajukannya Fadli ke depan meja pengadilan. PNS asal Kabupaten Gowa ini diadukan oleh Bupati Gowa gara-gara ocehannya di grup chatting Line. Fadli menuduh sang bupati mempersulit investor karena selalu meminta fee yang besar, atau mendorong perusahaan miliknya untuk jadi bagian dari sebuah proyek.
Tuduhan seperti ini memang sulit dibuktikan tapi kadang-kadang sudah menjadi obrolan dari mulut ke mulut dan Fadli kebetulan terkena sialnya. Obrolan yang harusnya tetap berada dalam ruang chat ternyata keluar dan tiba di hadapan sang bupati. Akibatnya Fadli harus menanggung resiko, dapat sanksi secara administratif dan diajukan ke meja hijau. Konon ibunya yang seorang guru juga menanggung akibat dari perbuatannya.
Buat saya tindakan pak Bupati sudah keterlaluan, menjadi bukti betapa beliau tidak senang diusik. Kalau memang tuduhan Fadli tidak benar toh beliau sudah berhasil memberi sanksi administratif pada Fadli yang adalah seorang PNS. Menurunkan pangkatnya saya pikir sudah cukup sebagai shock therapy bagi mereka yang dianggap menyebarkan cerita bohong. Tak perlulah sampai menyeretnya ke meja hijau.
Tapi begitulah, kekuasaan memang bisa membuai dan membuat pemiliknya jadi merasa super power. Apalagi karena ada UU ITE yang seperti mengakomodir beberapa orang yang memang tidak suka diganggu. Merasa dicemarkan nama baiknya sedikit saja orang bisa langsung bereaksi dengan menggunakan senjata UU ITE yang ujung-ujungnya membuang waktu, tenaga dan pikiran untuk berurusan dengan hukum. Benar-benar sesuatu yang kontra produktif.
Lalu bagaimana dengan masa depan kebebasan berekspresi di internet di Indonesia? Entahlah, sampai sekarang masih kabur. Pemerintah belum terlihat serius menghapus pasal 27 di UU ITE, pasal yang paling banyak memberi harapan bagi orang-orang manja dan punya kuasa.
Atau jangan-jangan pemerintah memang tidak punya niat untuk memelihara kebebasan berekspresi warganya? [dG]
Saya menyimak, semoga akan bijaksana untuk semua pihak.
Tulisan ini tepat sasaran dan tepat guna, manusiawi 😀
Sayangnya UU ITE yang sekarang ini malah digunakan oleh beberapa oknum untuk lari dari kritik ya 🙂 seharusnya UU ITE ada semacam landasan hukum untuk melindungi transaksi elektronik atau perjanjian secara elektronik. begitu 🙂