Antara Blogger dan Vlogger
“Perubahan akan terus terjadi, di beberapa tahun ke depan konten video akan makin dinikmati melebihi konten tulisan,”
Begitu kata salah satu pembicara di forum internasional di ajang Viral Fest Asia 2016, 15 Juli 2016 yang lalu di Bali. Pembicara dari Malaysia bernama Ahmad Izham Omar itu percaya kalau perkembangan teknologi dan infrastruktur internet yang semakin membaik akan mendorong konten berupa video menjadi semakin diminati pecandu internet.
Buat saya pernyataan itu masuk akal, apalagi melihat realitas sebagian besar masyarakat pecandu internet (khususnya di Indonesia) masih malas membaca, apalagi tulisan yang panjang-panjang. Sebagian malah lebih senang membaca judul lalu membagikannya tanpa membaca secara saksama isi tulisan tersebut.
Masyarakat lebih gampang jatuh hati pada konten audio-visual. Mungkin ini juga jawaban kenapa lebih banyak orang yang rela berdiam diri di depan televisi utamanya di waktu-waktu utama (prime time) daripada yang memelototi buku, misalnya.
Perkembangan teknologi dan perbaikan infrastruktur internet bisa jadi memengaruhi perubahan pola konsumsi pengguna internet di masa depan. Mereka yang aslinya memang malas membaca akan merasa dimanjakan dengan semakin banyaknya konten audio-visual berbentuk video, baik yang ditayangkan di YouTube, Vimeo ataupun platform lainnya.
Dan inilah salah satu pemicu makin maraknya video blog (vlog) dan para vlogger (sebutan untuk pemilik video blog) dalam rentang beberapa tahun belakangan ini.
Kalau melihat sejarahnya seperti yang saya baca di WikiPedia, vlog sudah ada sejak tahun 2004 bahkan sebelum lahirnya situs YouTube. Kelahiran YouTube di tahun 2005 semakin merangsang perkembangan tren baru ini. Hingga kemudian grafiknya terus meningkat sepuluh tahun kemudian.
Saat ini entah sudah berapa banyak orang-orang yang terjun menjadi vlogger. Sebagian adalah mereka yang memang punya blog dulu atau seorang blogger, sebagian lagi adalah mereka yang benar-benar seorang vlogger fresh yang tidak melalui tahapan menjadi seorang blogger dulu.
Sebagai sebuah tren baru, vlog memang masih mengundang debat. Salah satunya adalah dari segi definisi. Masih ada yang perdebatan seru tentang apa sebenarnya definisi vlog itu. Apakah vlog memang harus menampilkan wajah si pemilik? Apakah video reportase sebuah kegiatan yang sama sekali tidak menayangkan wajah si pemilik masih dianggap sebagai vlog? Atau apakah video review sebuah barang atau produk juga dianggap sebagai vlog? Dan banyak lagi pertanyaan lainnya seputar vlog.
Buat saya vlog itu hanyalah bentuk lain dari blog. Isinya sama, hanya mediumnya yang beda. Kalau blog menggunakan medium tulisan dan foto, maka vlog menggunakan medium video serta suara. Isinya ya sama saja, entah itu reportase, tips dan trik, review, curhatan, terserah si pemilik. Entah itu isinya mau menampilkan wajah si pemilik video atau tidak ya tidak masalah, toh tidak semua blog juga diisi dengan tulisan dari sudut pandang si pemilik.
*****
Seperti yang saya ceritakan di postingan sebelumnya, ajang Viral Fest Asia 2016 yang saya ikuti memang seperti sebuah ekosistem baru buat saya. bertemu banyak vlogger dan YouTuber se-Asia memberi dampak baru buat saya. Kalau selama ini saya lebih fokus ke tulisan dan foto maka sepertinya sekarang saya harus menambah satu fokus lagi yaitu video.
Memang sebelum ke Bali saya sudah membuat beberapa video blog (vlog) yang bertemakan tips dan trik menulis, tapi sepertinya saya masih kurang fokus. Banyak sekali kekurangan dari video-video itu yang harus saya perbaiki. Maklum, ini dunia yang baru buat saya. Dunia baru yang sekaligus juga menjadi tantangan dan keasyikan yang baru.
Membuat satu vlog memang lebih repot dari satu postingan blog. Ada lebih banyak persiapan yang harus dilakukan. Mulai dari penentuan ide vlog, mau menggunakan alat yang mana, persiapan teknis saat merekam video sampai tentu saja editing. Jauh lebih repot dari membuat satu postingan.
Proses yang panjang ini memang lebih melelahkan, tapi bisa menjadi satu keasyikan tersendiri ketika semua sudah jadi dan siap dipublikasikan. Jelas ini juga yang membuat harga untuk satu video blog lebih mahal dari satu harga postingan blog. Pertimbangan biaya dan waktu yang lebih besar menjadi alasan utama.
Terus, apakah suatu saat nanti vlog benar-benar akan menggusur blog konvensional? Saya tidak yakin. Meski minat baca orang Indonesia dianggap rendah, tapi sepertinya keberadaan blog masih akan terus berjaya dalam jangka waktu yang panjang. Kenapa? Karena tidak semua orang senang menonton muka orang lain di video, apalagi yang belum terkenal dan mukanya pas-pasan.
Oke, alasan itu mungkin tidak tepat.
Tapi alasan yang ini mungkin bisa dipakai; perkembangan infrastruktur internet di Indonesia memang sudah bagus, tapi tidak cukup bagus untuk membuat semua orang bebas memutar video di YouTube atau sejenisnya. Harga kuota internet masih jadi patokan, belum semua orang bisa membeli kuota besar dengan mudah.
Alasan lainnya, bacaan tetap akan punya tempat di hati orang. Tidak percaya? Coba lihat buku konvensional yang dicetak. Meski katanya minat baca orang Indonesia rendah, toh penulis buku terus saja bertambah, dari yang benar-benar penulis sampai yang hanya menciptakan sampah baru karena bukunya sebenarnya tidak layak cetak.
Jadi, menurut saya yang paling pas adalah menyandingkan antara blog dan vlog. Masing-masing akan punya pasar sendiri-sendiri, dan buat yang bisa bermain di dua pasar itu tentu akan punya kelebihan tersendiri. Minimal membedakan dia dari yang murni seorang blogger atau murni seorang vlogger.
Masa kejayaan vlog berangsur tiba, tinggal bagaimana para blogger atau para pengguna internet bisa memanfaatkannya. Mau jadi sekadar penikmat saja atau mau mengambil peran juga? Semua kembali ke tiap-tiap orang.
Bukan begitu? [dG]
Catatan: silakan kunjungi channel YouTube saya di: http://youtube.com/ipulgassing dan jangan lupa subscribe ya.
Vlog primadona bagi orang-orang kelahiran 1990-an akhir dan setelahnya, karena mereka tumbuh di era youtube.
Blog bakal tetap eksis hingga 20-30 tahun mendatang karena masih banyak orang-orang kelahiran 1970-an hingga 1990-an awal yang pernah mengalami fase kehidupan saat membaca buku tulis dan membuat diary online sedang hip.
sama juga dengan media cetak masih akan tetap ada peminatnya hingga tuntasnya kehidupan generasi kelahiran 1940-an hingga 1970-an.
nah ini jawaban paling masuk akal…top mas!
Untuk sementara tetap di blog dulu. Belum pede untuk tampil di depan kamera, apalagi dengan suara kaya kaleng pecah seperti saya.
Hahaha padahal vlog juga bisa ji ndak kelihatan muka Rif..
paling sepakat dengan pernyataan “tidak semua orang suka melihat muka orang lain di video, apalagi yang belum terkenal dan muka pas-pasan”..
Saya masih akan tetap mendukung blog-tulisan. Hidup, blogger! 😀