5 Catatan Internet Indonesia di Tahun 2015
Dari UU ITE sampai buzzer.
Tahun 2015 sebentar lagi berlalu, berganti dengan tahun yang baru. Sama seperti tahun-tahun sebelumnya, tahun 2015 pun masih diwarnai dengan perkembangan internet yang semakin hari semakin menjadi kebutuhan primer manusia abad 21.
Dari sekian banyak kejadian dan perkembangan internet di Indonesia, setidaknya ada lima hal yang menarik bagi saya. Lima hal yang coba saya catat di sini.
1. Residu dari Pilpres.
Pemilihan presiden dan wakil presiden Indonesia memang sudah digelar setahun sebelumnya, tapi residu dari acara itu masih juga tersisa di tahun 2015. Pengguna internet Indonesia seolah terbagi atas tiga bagian; pendukung Jokowi, anti Jokowi serta pihak netral yang sering ditarik ke sana-ke mari.
Dampak dari pembelahan kubu ini, timeline media sosial masih sering dipenuhi beragam perdebatan, pesan atau cerita seputar aksi kedua kubu. Pihak anti Jokowi seperti tidak kehabisan tenaga untuk menyebar berita, tautan atau apa saja yang sifatnya menyerang pemerintah. Apalagi di tahun 2015 nilai tukar rupiah sempat anjlok mendekati Rp17.000,-.
2. Berita Hoax Masih Ramai.
Masih ada kaitannya dengan bagian pertama, tahun 2015 internet Indonesia masih juga diwarnai banyaknya berita maupun tautan yang berbau hoax dan fitnah. Dari berita tentang kebijakan pemerintah sampai berita tentang kondisi ekonomi Indonesia yang katanya sangat terpuruk dan siap-siap bangkrut.
Ketika berita itu terverifikasi sebagai berita hoax dan bahkan berkesan fitnah, sama sekali tidak ada permintaan maaf dari pembuat dan penyebarnya. Klasik!
3. UU ITE dan Surat Edaran Kapolri.
Sampai bulan Desember 2015 UU ITE khususnya pasal 27 ayat 3 dan pasal 28 sudah menelan 132 korban sejak diberlakukan tahun 2008. Jumlah korban terbanyak ada di tahun 2015 dengan 61 kasus, bandingkan dengan tahun sebelumnya yang hanya 40 kasus.
Desakan untuk merevisi UU ITE khususnya pasal 27 ayat 3 terus bergema. Sampai akhir tahun desakan itu masih seperti menepuk angin, belum jadi kenyataan. Naskah revisi UU ITE tidak masuk dalam prolegnas 2015 dan bahkan sempat dinyatakan hilang entah di meja yang mana.
Kebebasan berekspresi di internet semakin terancam ketika Kapolri mengeluarkan surat edaran untuk membendung ujaran kebencian atau hate speech di bulan Oktober. Mungkin niatnya baik, tapi surat edaran itu tidak didukung dengan kapasitas penegak hukum yang sama. Surat edaran itu bisa multi interpretasi dan mengundang kesalahan penggunaan. Sama dengan kasus UU ITE pasal 27 ayat 3.
4. Internet Gratis dan Google Loon
Bulan April 2015 salah satu perusahaan internet terbesar di dunia, Facebook menandatangani kerjasama dengan salah satu penyedia layanan selular di Indonesia. Isi kerjasamanya adalah untuk menyediakan internet gratis bagi pengguna layanan selular tersebut. Terdengar menggoda; internet gratis.
Pada kenyataannya kesepakatan ini mendapat kritikan dari pegiat internet Indonesia. Alasannya adalah kesetaraan atau net neutrality yang tentu saja jadi tidak setara atau netral lagi karena adanya kesepakatan ini. Akses gratis hanya diberikan ke beberapa situs yang sudah bekerjasama dengan dua pihak tersebut, semacam pengistimewaan yang seharusnya tidak ada di dunia internet yang egaliter.
Di bulan Oktober 2015 gantian Google sang raksasa internet lainnya yang hadir dengan program Google Loon-nya. Tujuannya sama, memberikan akses internet yang luas dan gratis. Kerjasama Google dengan pemerintah Indonesia dan salah satu provider ini juga mengundang kritik. Alasannya, putra bangsa sebenarnya punya program yang sama sejak bertahun-tahun lalu. Namanya Open BTS. Sayangnya, karena dibawa bukan oleh perusahaan besar maka program ini tidak mendapatkan ijin dari pemerintah, padahal Open BTS bisa jadi solusi komunikasi bagi warga di pedalaman.
Kesempatan yang sama, itu yang dianggap tidak diberikan oleh pemerintah.
5. Blogging Kembali ke Puncak.
Sejak sekira 2010 blogging seperti berada di kurva yang menurun. Jumlah blogger aktif makin berkurang, tergantikan oleh pengguna sosial media seperti Facebook dan Twitter. Akibatnya, para pemilik brand atau mereka yang butuh gema dari produk atau layanan mereka lebih memilih pengguna Twitter sebagai rekan kerja. Para buzzer Twitter menikmati masa-masa jaya di kisaran tahun 2010 sampai awal 2015.
Lalu terjadi pergeseran. Ada beberapa sebab sehingga kemudian perlahan para buzzer di Twitter mulai sepi job. Dari harga yang terlalu mahal karena memang belum ada standar sampai pengaruh yang sulit untuk diukur.
Di tahun 2015 pergeseran itu mengarah kembali ke para blogger. Beberapa agency mengaku lebih suka menggunakan blogger untuk menjadi rekan kerja mereka. Salah dua alasannya, blog lebih tahan lama dan biasanya tulisan di blog akan dibagikan juga di media sosial lainnya.
Tahun 2015 juga ditandai dengan makin maraknya blog-blog dengan tema tertentu seperti traveling, fashion dan tema lain yang lebih spesifik. Tema traveling tentu saja yang paling menggoda dan sepertinya paling banyak diminati.
Alasan-alasan itulah yang membuat blog kembali ceria, ramai oleh pendatang baru dan ramai oleh blogger lama yang kembali aktif.
Tahun 2015 sebentar lagi berakhir, berganti dengan tahun yang baru. Mari kita lihat apa yang akan terjadi dengan internet di Indonesia di tahun 2016. [dG]