Sunat, Fase Menegangkan Dalam Kehidupan Pria


Salah satu fase yang cukup menegangkan dalam kehidupan seorang pria, utamanya pria muslim.


Saya masih ingat momen itu. Berada di sebuah ruangan yang didominasi warna putih, di atas ranjang besi dengan seprei putih. Bau obat tercium sangat pekat di hidung. Tidak ada orang lain di ruangan itu, hanya saya sendiri yang berbaring pasrah di atas ranjang. Tidur telentang dengan tubuh bagian bawah yang hanya ditutupi sarung. Tidak lama kemudian seorang lelaki 30an tahun berjas putih masuk ke ruangan itu. Di belakangnya seorang perempuan muda bertubuh agak subur mengikutinya. Di tangannya ada sebuah nampan besi yang sepertinya isinya adalah alat-alat kedokteran. Saya tidak terlalu memperhatikan isinya, rasa takut terlalu besar mendominasi. Jantung rasanya berdegup kencang dan saya gugup.

Pria muda berjas putih itu tersenyum lembut. Dia seperti berusaha menenangkan saya. Perempuan muda yang datang bersamanya bergerak sigap. Sepertinya dia mempersiapkan sesuatu, tapi saya tidak terlalu peduli. Saya lebih peduli pada degup jantung saya yang rasanya semakin cepat. Terbayang berbagai cerita orang tentang sakitnya proses itu, proses yang menentukan masa depan seorang pria.

Bagaimana kalau dia salah potong? Bagaimana kalau potongannya terlalu dalam? Bagaimana kalau dia salah jahit? Duh suntikannya pasti sakit, apalagi saya memang termasuk orang yang takut sama jarum suntik.

Dokter itu masih mencoba mengajak saya mengobrol. Saya lupa dia bertanya apa, karena yang jelas saya sudah terlalu takut dan deg-degan. Saya sibuk menata diri dan keberanian. Pertanyaannya cuma saya jawab seadanya dan saya yakin dia pasti terbiasa dengan kondisi seperti itu.

“Tenang ya, tidak sakit koq,” katanya sambil memainkan jarum suntik di tangannya. Sebuah perbuatan yang salah. Meyakinkan kalau prosesnya tidak sakit, tapi sambil memainkan jarum suntik. Keberanian saya tiba-tiba jatuh ke titik terendah.

Bagian tubuh saya terasa sangat dingin. Sang suster pembantu si dokter sudah menyingkap sarung yang jadi penutup tubuh bagian bawah saya. Udara dingin dengan segera menambah rasa takut dalam diri. Senyum manis si dokter sudah berubah seperti senyum menyeringai seorang algojo di mata saya. Tiba-tiba ruangan yang didominasi warna putih rasanya berubah seperti ruangan berwarna kelam. Gelap dan hitam.

“Bismillah,” kalimat itu keluar dari mulut si pria berjas putih. Dan, proses itupun dimulai.

Degup jantung saya berpacu kencang sekali, saya bisa mendengarnya. Tubuh saya rasanya menjadi lebih kaku. Otot-otot menegang. Saya melihat ke langit-langit, tidak berani melihat ke bagian bawah tubuh. Sebuah benda tajam yang dingin menyentuh tubuh bagian bawah saya. Rasa sakit sekejap terasa, tidak terlalu sakit memang tapi cukup mengagetkan. Proses rupanya sudah dimulai. Saya masih belum berani melihat ke bawah, saya terus menatap langit-langit. Bau obat masih tercium jelas.

“Wah sudah berbulu ya?” Suara itu datang dari ranjang sebelah. Saya bahkan tidak tahu kalau di ranjang sebelah sudah ada satu orang lagi yang bernasib sama seperti saya. Dia jauh lebih tua, terlihat dari bagian bawah tubuhnya yang sudah dipenuhi bulu. Saya hanya melirik sejenak sebelum kembali fokus menatap langit-langit.

Saya lupa berapa lama proses itu berjalan, mungkin antara 15-20 menit sebelum akhirnya sarung saya ditutup kembali.

“Sudah selesai,” kata si dokter. Sekarang senyumnya sudah kembali terlihat ramah dan tidak menakutkan. Saya sudah boleh keluar, katanya. Rasa lega menyeruak ke dalam tubuh. Benar-benar lega karena proses yang menakutkan itu sudah lewat meskipun ada rasa aneh di bawah sana. Ada perban yang menutupi penis, membuat saya agak susah bergerak. Tapi tidak ada rasa sakit sama sekali, malah sepertinya saya mati rasa di bagian itu. Beberapa belas menit kemudian saya baru bisa merasakan denyut yang tidak nyaman pada area intim saya ketika efek obat biusnya sudah lenyap. Awalnya cuma nyut-nyutan sebelum akhirnya menjadi ngilu. Ternyata penderitaan itu justru berawal ketika efek biusnya sudah hilang.

*****

Kejadian di atas berlangsung kira-kira 30 tahun lalu, sekitar tahun 1990. Saya sudah mau naik kelas 2 SMP waktu itu. Usia yang ternyata termasuk terlambat untuk memasuki fase disunat. Saya tidak tahu alasannya apa, tapi mungkin karena orang tua belum punya cukup biaya untuk membawa saya ke tukang sunat. Entahlah, saya tidak pernah bertanya alasannya. Setahu saya memang teman-teman SD saya kebanyakan sudah disunat ketika mereka masih SD. Proses sunat seringnya dilakukan di masa libur panjang sekolah. Salah satu alasannya tentu karena proses penyembuhan sunat kala itu masih tergolong lama. Bisa antara satu sampai dua minggu sampai benar-benar kering dan korban sunat bisa bermain bola.

Proses sunat itu memang tergolong menakutkan bagi anak kecil yang melaluinya. Bayangan ketika bagian itumu disuntik, lalu sebagian kulitnya digunting dan kemudian dijahit rasanya memang cukup menakutkan. Walaupun ternyata prosesnya tidak semenyeramkan itu. Tidak ada rasa sakit sedikitpun karena adanya pengaruh obat bius. Rasa ngilu baru terasa ketika efek obat biusnya hilang.

Cobaan sesungguhnya baru hadir ketika proses penggantian perban. Pada kasus saya, perban harus diganti sebanyak dua kali. Beberapa hari setelah proses sunat – saya lupa tepatnya berapa hari – saya harus datang ke mantri dekat rumah untuk melakukan proses penggantian perban. Dan inilah proses yang paling menyakitkan.

Sekarang bayangkan saja kalau kakimu luka, terus diobati, diberi betadine, lalu diperban. Beberapa hari kemudian, perban itu harus dilepas untuk diganti perban baru. Biasanya, ada bagian perban yang menempel ke sekitar kulit luka bukan? Bagian itu yang mengering dan ketika dipaksa untuk dipisahkan, rasanya sakit luar biasa. Nah, padahal itu di kaki yang tidak terlalu sensitif. Bagaimana dengan penis yang sensitifnya luar biasa?

Ketika pertama kali pak mantri itu menarik perban saya, dia melakukannya dengan hati-hati. Ketika saya meringis, dia berhenti sejenak dan bertanya, “Sakit?” Saya mengangguk mengiyakan. Lalu dengan darah dinginnya dia melanjutkan proses dengan satu hentakan keras hingga perbannya terpisah.

“Arrrgh!” Saya sempat berteriak tertahan. Sakitnya luar biasa dan ingin rasanya mengumpat atau bahkan menendang si pak mantri berdarah dingin itu. Pfiuh! Membayangkannya saja rasanya merinding. Saya tahu dia melakukannya dengan cepat tanpa memikirkan apakah saya sudah siap atau tidak agar proses itu juga cepat selesai. Kalau menunggu saya benar-benar siap maka tentu prosesnya akan sangat lama. Jadi dengan sekali tarik yang sakitnya luar biasa itu, proses pelepasan perban pun selesai sudah. Mengganti dengan perban baru tidak lagi menjadi masalah karena bagian paling menyakitkannya baru saja terlewati.

Belajar dari pengalaman menakutkan itu, untuk penggantian perban berikutnya saya memaksa untuk melakukannya sendiri di rumah. Itupun karena kondisi hasil sunatan sudah kering dan tidak perlu diperban lagi. Proses melepas perban kedua ini saya lakukan di kamar mandi dengan dibantu air hangat. Pelan, pelan, pelan sampai akhirnya perbannya bisa lepas. Sakitnya tidak seberapa meski prosesnya sangat lama.

Dengan lepasnya perban kedua itu maka berakhir sudah keseluruhan proses sunat. Total waktunya seingat saya sekira seminggu dari sejak mulai dipotong sampai akhirnya sembuh total. Dengan selesainya proses itu, saya pun merasa lebih percaya diri. Merasa menjadi lelaki dewasa karena sudah melepas kulup yang kadang dianggap sebagai tanda “masih anak kecil”.

*****

Lelaki tentu tidak punya previlege untuk merasakan sakitnya ketika melahirkan seperti yang dirasakan oleh para wanita. Sakitnya disunat mungkin tidak seberapa dibanding sakitnya para perempuan ketika melahirkan. Sunat pun tidak berhubungan dengan nyawa, hanya lebih ke masa depan saja. Itupun probabilitasnya cukup kecil, kecuali jika sang pesunat sudah rabun dan lupa berkacamata saat bekerja. Tapi itu kemungkinannya sangat kecil.

Sampai hari ini saya belum pernah mendengar atau membaca berita ada yang meninggal karena disunat. Salah sunat ada, tapi itupun probabilitasnya sangat kecil.

Namun, bagaimanapun sunat tetaplah menakutkan bagi semua lelaki. Buktinya, tidak ada yang mau disunat lagi. Berbeda dengan melahirkan yang sesakit apapun tetap saja bisa dilakukan berkali-kali. Atau, mungkin karena lelaki lebih penakut dari perempuan? Entahlah. [dG]