Seberapa Cepat Anda Berjalan Kaki?

Mari berjalan kaki
Mari berjalan kaki

Pernah mencoba berjalan bersama orang Eropa, Amerika atau Jepang? Bagaimana kecepatan jalan mereka?

Terminal tiga bandara Soekarno Hatta. Saya baru saja meninggalkan area pengambilan barang, traveling bag di tangan kiri sudah siap digeret keluar bandara. Saat berjalan santai menuju pintu keluar tiba-tiba dari samping kiri saya sepasang pria dan wanita kaukasia berumur sekira 60an tahun melintas. Di pundak mereka berdua bertengger ransel besar sementara masing-masing menarik tas koper beroda. Mereka berjalan cepat, sama-sama menuju pintu keluar.

Iseng saya coba menjejerkan langkah dengan mereka. Awalnya bisa, tapi makin lama jarak antara kami makin menjauh. Mereka berdua terlihat santai, mengobrol dalam bahasa asing yang saya taksir bahasa Perancis. Tapi meski terlihat santai, saya sama sekali tidak bisa menjejerkan langkah bahkan untuk sekadar mendekati mereka.

Saat saya masih berusaha mendekati kedua pasangan manula itu tiba-tiba dari kiri seorang wanita kaukasia lainnya melintas. Di punggungnya juga bertengger satu ransel besar yang menutupi seluruh punggungnya. Dia juga terlihat santai, melempar pandangan ke kanan dan ke kiri. Sama seperti pasangan manula kaukasia tadi, si wanita kaukasia berambut keemasan itupun berjalan sangat cepat.

Sekarang saya iseng mencoba menjejerkan langkah dengan si wanita kaukasia. Tapi, sama seperti pasangan manula itu, bahkan untuk mendekatinyapun saya tak bisa. Akhirnya saya menyerah, berjalan seperti biasa sambil mengatur napas yang sempat ngos-ngosan.

***

Di antara teman-teman saya termasuk orang yang berjalan cukup cepat, tapi ternyata dibandingkan orang kaukasia itu saya tak ada apa-apanya. Sebenarnya bukan cuma orang kaukasia. Suatu saat di Bali saya juga pernah iseng mencoba menjajarkan langkah dengan seorang sepasang turis asal Jepang. Awalnya bisa, tapi lama kelamaan saya sulit mengikuti langkah mereka dan terpaksa melambatkan langkah sambil mengatur napas.

Herannya, mereka yang langkahnya sulit saya jejeri itu selalu terlihat santai dan tidak terburu-buru. Mereka berjalan dengan wajah datar atau bahkan ceria dan menikmati suasana sekeliling, bukan wajah orang yang takut tertinggal bus atau kereta api.

Jalan santai saja sulit saya kejar, apalagi kalau mereka terburu-buru ya?

Dari cerita Trinity Traveler juga saya pernah membaca kalau setiap kali ikut tur di negara Eropa atau Amerika Utara, orang Asia Tenggara selalu dimasukkan dalam grup bersama orang-orang manula karena kecepatan jalan mereka yang sangat rendah. Dikelompokkan bersama manula pun ternyata tak membuat Trinity bisa berjalan santai karena toh dia tetap saja kewalahan menyamakan ritme dengan anggota grup lainnya yang berasal dari ras kaukasia.

Lalu, apa yang membuat kita orang Melayu selalu berjalan lambat?

Banyak faktor sepertinya. Kecepatan berjalan seorang manusia rata-rata sekira 0.5 km/jam meski ada juga yang bisa sampai 9 km/jam. Faktor yang memengaruhi kecepatan manusia dalam berjalan adalah faktor fisiologis, ketahanan tubuh dan psikologis.

Faktor fisiologis dan ketahanan tubuh sudah bisa kita kenali tentunya. Manusia yang memang terbiasa berjalan kaki atau berolahraga tentu punya tubuh yang lebih bugar dan membuat mereka bisa berjalan kaki dengan lebih cepat dari mereka yang tak biasa bergerak apalagi berolahraga. Ini sangat logis.

Buat saya yang menarik adalah faktor psikologis. Dari Journal of Crooss-Cultural Psychology yang ditulis oleh Levine, R. V. and Norenzayan, A tahun 1999 disebutkan bahwa manusia yang hidup dalam kultur yang sangat menghargai waktu rata-rata berjalan jauh lebih cepat dari manusia berkultur sebaliknya. Ini cukup masuk akal karena kita tahu bagaimana orang-orang Eropa, Amerika Utara dan Asia Barat sangat menghargai waktu. Bagi mereka waktu adalah uang, dan secara psikologis mereka juga jadi bergerak cepat untuk mengejar waktu.

Bandingkan dengan orang Indonesia yang sangat menikmati waktu, bersantai selagi bisa dan tidak perlu tergesa-gesa. Orang Jawa bahkan punya peribahasa “Alon-alon asal kelakon”, biar pelan asal selesai.  Kitapun akrab dengan pameo biar lambat asal selamat. Tidak heran kalau kita juga akhirnya berjalan pelan, santai dan benar-benar menikmati.

Saya juga pernah mendengar teori seperti ini; semakin hangat sebuah negara maka semakin santai penduduknya. Ini juga jadi alasan kenapa orang yang berada lebih dekat ke kutub dan punya empat musim jadi berjalan lebih cepat. Kalau mereka berjalan santai, bisa dibayangkan mereka akan kedinginan. Hal yang sama tidak kita temukan di negara beriklim tropis dan dekat dengan khatulistiwa seperti di Indonesia.

***

Seorang profesor dari University of Pittsburg, Dr. Stephanie Studenski mengeluarkan teori bahwa umur seseorang bisa ditebak dari kecepatannya berjalan kaki. Semakin cepat dia berjalan maka umurnya akan semakin panjang, sebaliknya semakin lambat dia berjalan maka umurnya akan semakin pendek.

Teori ini didasarkan pada fakta bahwa manusia yang berjalan lebih cepat cenderung lebih sehat dan punya metabolisme serta kebugaran tubuh yang lebih baik. Sebaliknya, manusia yang punya masalah dengan metabolisme dan kebugaran tentu saja akan berjalan lebih lambat. Masuk akal juga, meski teori ini tentu saja tidak bisa berdiri sendiri.

Nah sekarang coba tebak bagaimana kecepatan  jalan Anda? Apakah cukup cepat untuk ukuran orang Indonesia? Atau malah sama dengan kecepatan orang Eropa dan Amerika Utara? Apapun itu, mari menikmati hidup sambil tetap menjaga kesehatan. Karena itulah yang utama. Jangan lupa untuk bahagia! [dG]