Selamat Jalan, Jay!
Akhirnya saya terpaksa ganti handphone. Si Jay, handphone yang selama ini menemani memilih untuk berpindah tangan.
Bulan Maret tahun lalu, untuk pertama kalinya setelah 2014 saya membeli handphone. Waktu itu, Note 5 yang saya beri nama Samsul akhirnya menyerah dan tidak bisa berfungsi dengan baik lagi. Masa baktinya selama dua tahun terakhir harus berhenti karena biaya untuk memperbaikinya sama dengan biaya satu handphone mid entry. Sebelum tahun lalu, saya dua kali ganti handphone utama, dan dua-duanya datang dengan gratis. Hadiah lomba. Maklumlah, waktu itu saya masih rajin ikut lomba dan syukurnya karena beberapa kali juga menang. Termasuk dua handphone yang saya pakai dalam kurun empat tahun.
Akhirnya tahun lalu saya membeli Samsung Galaxy J7+. Pengalaman menggunakan merek Samsung sejak 2014 sudah cukup membuat saya tetap memilih Samsung sebagai perangkat gawai saya. Saya itu orangnya setia. Asal tidak membuat saya kesal, saya akan tetap memilih yang sudah membuat saya nyaman. Walaupun kata orang ada yang lain yang lebih murah atau lebih baik, misalnya.
Waktu itu saya memilih Samsung Galaxy J7+ karena spesifikasi yang menurut saya lumayan, dan harganya masih terjangkau. Walaupun ternyata ada merek lain yang spesifikasinya lebih bagus dengan harga yang sama atau bahkan lebih murah. Tapi seperti yang saya bilang di atas, saya masih setia selama dia belum mengecewakan saya. Maka jadilah handphone baru itu menjadi bagian hidup saya. Dia saya beri nama Jay. Kalau baca di sini, kalian bisa tahu kalau saya suka memberi nama barang-barang kesayangan saya, dan bahkan sesekali menganggapnya sebagai benda hidup.
Dia Seperti Mendengar.
Satu tahun bersama Jay dan semua lancar-lancar saja. Saya bukan gadget freak atau games freak, jadi kebutuhan handphone saya cukup sampai telepon, berkirim pesan, buka email, main media sosial, berselancar dan memotret atau merekam video. Semua kebutuhan itu terpenuhi dengan baik oleh Jay, kecuali bahwa kamera depannya kurang nyaman.
Alasannya, hasil foto kamera depannya terlalu bokeh sehingga ketika dipakai mengambil gambar selfie, hasilnya akan kurang tajam di banyak area. Muka kita tajam, tapi lingkungan sekitar jadi kurang tajam. Padahal foto depan buat saya bukan semata buat muka saja, tapi juga suasana sekitar. Ini yang luput saya amati ketika di toko. Dan terus terang, ini satu-satunya kekurangan Jay yang lama-lama cukup mengganggu juga.
Soal lainnya tidak ada masalah sama sekali. Saya puas dengan performanya.
Tapi kekurangan itu kemudian lama-lama membuat saya mulai berpikir untuk mengganti Jay. Satu kekurangan kecil, tapi lumayan mengganggu dan sepertinya sudah jadi alasan untuk membeli yang baru. Jadilah beberapa waktu belakangan ini saya mulai mengintip handphone keluaran terbaru dari Samsung. Jenis, spesifikasi dan harganya. Niat untuk mengganti Jay semakin kuat, dan saya lupa kalau dia bisa saja mendengar apa yang saya niatkan.
Ketika berada di Asmat minggu lalu, saya sempat melontarkan kalimat untuk mengganti handphone tahun depan, tepat ketika Jay berumur dua tahun. Bayangan saya, umur dua tahun untuk sebuah handphone itu sudah normal. Memang sudah waktunya diganti, jadi wajar kalau saya menganggarkan tahun depan untuk mengganti Jay. Pikiran itu saya ulang lagi malam ketika berada di atas kapal laut Tatamailau yang membawa saya dari Asmat ke Timika.
Baca juga perjalanan dari Timika ke Asmat dengan kapal laut di sini
“Bulan Maret tahun depanlah saya ganti HP,” kata saya dalam hati sambil bermain game bersama Jay.
Dan sepertinya itu salah besar karena saya justru berucap begitu sambil memegangnya. Ucapan yang mungkin dia dengar dan membuatnya sakit hati. Hingga kemudian keesokan harinya dia memilih pasrah ikut orang lain. Pindah tangan.
Kejadiannya ketika saya turun dari kapal setibanya kapal di pelabuhan Pomako, Timika. Seperti biasa, penumpang yang turun pasti ramai dan berdesak-desakan karena tangga kapal yang sempit. Saya berada di kerumunan orang-orang yang sedang turun. Saya membawa dua tas ransel, satu tas kamera. Dompet saya taruh di tas kamera, tapi handphone hanya saya taruh di kantong samping. Kebetulan saya pakai celana cargo dengan dua kantong samping kanan dan kiri.
Mendekati pintu keluar suasana semakin berdesakan. Saya tiba-tiba merada ada sentuhan di kantong sebelah kiri saya, tepat di tempat saya menaruh handphone. Saya refleks memeriksa kantong celana dan dari luar saya masih bisa merasakan kalau Jay masih dalam kantong. Bodohnya saya, saya tidak mengeluarkannya atau mengancing kembali kantong saya. Merasa kalau handphone masih di sana, saya kembali bersikap biasa. Mengantri dengan sabar untuk turun dari kapal.
Di depan pintu menjelang keluar dari kapal seorang bapak berdiri tepat di depan saya. Dia seperti menutupi alur, menghambat perjalanan orang yang mau keluar termasuk saya. Dia menelepon seseorang lalu berbalik melawan arah, tepat di depan saya. Perbuatannya itu lumayan membuat saya kehilangan konsentrasi dan kewaspadaan. Saya malah mengamati dia yang bergerak memaksa melawan arus ke arah dalam kapal. Sampai kemudian dia hilang dari pandangan.
Lewat dari ambang pintu kapal, saya iseng memeriksa kantong samping dan langsung panik ketika merasa kalau kantong sudah kosong. Tidak adalagi handphone di sana. Saya cek di kantong lain, hasilnya sama. Kosong. Sejenak saya panik, saya minta tolong Ammar yang jadi teman seperjalanan untuk menelepon nomor saya. Sayangnya, sinyal di atas kapal kurang bagus. Tidak ada sambungan. Waktu itu saya sudah berpikir, Jay sudah pergi. Pindah ke tangan orang lain.
Ammar terus mencoba menelepon nomor saya, sudah bisa tersambung tapi tidak diangkat. Saya berusaha memepet seorang pria yang tadinya berada pas di belakang saya waktu kami berdesak-desakan turun dari kapal. Bayangan saya, bila memang orang itu pelau pencopetan maka pasti akan ada nada dering dari dia ketika nomor saya ditelepon. Tapi sampai kami keluar dari pelabuhan dan pria itu menghilang, nada dering yang saya rindukan itu tidak terdengar. Belakangan saya baru sadar, pencopet seperti itu tidak mungkin bekerja sendirian. Bisa saja si bapak yang berdiri di pintu kapal itu adalah bagian dari komplotan, itulah kenapa dia berusaha melawan arus. Untuk memecah konsentrasi. Dan kalau dia benar anggota kompolotan, handphone yang sudah diambil kawannya pasti dioper ke dia yang sedang menjauh dari korbannya. Tujuannya biar ketika handphone itu dihubungi, si korban tidak akan mendengar nada dering karena toh handphone sudah berada jauh dari si korban setelah dioper ke orang lain.
Setidaknya itulah pelajaran kami dulu di mata kuliah Dasar-Dasar Mencopet #eh
*****
Belum genap dua tahun, si Jay akhirnya pergi. Dia sudah pindah tangan, jodohnya dengan saya hanya sampai di sini. Satu tahun tujuh bulan. Sebenarnya tidak rela juga sih melihat dia pergi dengan cara begitu, bagaimanapun dia adalah teman yang baik selama satu tahun tujuh bulan ini. Teman yang menemani saya ke banyak tempat dan merekam banyak hal bersama saya. Tapi mungkin salah saya juga yang sudah berpikir untuk menggantinya justru ketika masa baktinya belum tuntas. Dia dendam, makanya dia nurut saja ketika ada orang lain yang memintanya ikut. Jadi handphone koq baperan amat yak?
Mau bagaimana lagi, saya memang harus mengucapkan selamat tinggal pada Jay. [dG]