Ramadan di Masa Kecil
Mengenal puasa masa kecil yang selalu menyenangkan dan membuat rindu.
PUASA. Ah kata itu selalu berhasil mendentangkan lonceng di kepala saya untuk buru-buru mengingat kembali masa kecil, berpuasa di tepian kota Makassar yang masih akrab dengan sawah, pepohonan dan udara yang sejuk.
Saya tinggal di sebuah perumahan kecil. Isinya hanya 12 rumah yang dihuni para karyawan sebuah perusahaan pemotongan hewan beserta keluarganya. Keluarga kami salah satunya. Di depan rumah yang berderet itu terhampar tanah lapang yang ukurannya hampir sebesar lapangan sepakbola ukuran internasional. Di pagi hingga siang tanah lapang itu jadi daerah jajahan sapi-sapi atau kerbau yang sibuk mencari makan. Sore harinya gantian anak-anak atau orang dewasa yang menjadi penguasa dengan bermain bola di sana.
Di belakang kompleks itu ada daerah penuh pepohonan dan semak hingga menyerupai hutan. Diselingi sawah yang cukup luas, daerah serupa hutan itu dipenuhi pohon mangga, cherry, jambu dan banyak lagi jenis pohon lainnya.
Di daerah dengan suasana seperti itulah saya menghabiskan masa kecil. Termasuk melewati belasan Ramadan.
*****
Ramadan dimulai dengan denting alat-alat masak dari dapur. Ibu bangun sekitar setengah tiga dinihari, lalu sibuk di dapur menyiapkan menu sahur. Setelah semua siap – sekitar 45 menit kemudian – mulailah kami semua dibangunkan. Bapak, saya dan dua adik waktu itu. Kadang butuh ketukan yang sedikit menyerupai gedoran di pintu kamar saya sebelum saya benar-benar terbagun.
Lampu redup menemani sahur kami. Sahur akan berlangsung dengan tenang, tanpa banyak suara percakapan. Sebagai latar ada suara almarhum Kyai Bakri Wahid atau akrab disapa Pak Kyai berserta pasangan siarannya. Berdua mereka memandu acara sahur di RRI Makassar. Acara yang konon sudah ada sejak tahun 1970an. Berdua mereka menjawab beragam pertanyaan dari pendengar radio di rumah. Suaranya yang cempreng tapi berwibawa adalah teman sahur kami selama belasan tahun.
Belakangan acara itu mulai tergeser ketika televisi swasta mulai masuk Makassar pertengahan tahun 90an. Beragam acara di televisi mulai mengambil tempat menemani kami sahur. Pak Kyai mulai terlupakan. Mereka masih siaran, tapi radio mulai ditinggalkan. Sampai akhirnya siaran tersebut berakhir tahun 2010.
Selepas sahur biasanya saya beristirahat sejenak sebelum melesat menyambar sarung dan songkok. Tujuannya adalah masjid terdekat berjarak sekitar 300an meter dari kompleks kami. Hal pertama yang saya lakukan adalah menjemput seorang kawan yang rumahnya berada paling ujung di kompleks kami. Biasanya bersama dia, kakaknya, adik dan neneknya kami berombongan ke masjid. Melintasi jalan tanah berkerikil di subuh yang gelap dan dingin. Macam-macam saja yang kami obrolkan hingga tanpa terasa kami sudah tiba di masjid.
Hal paling menyenangkan adalah selepas sholat subuh. Bersama teman-teman sebaya kami akan berjalan kaki, berombongan ke beberapa tempat yang memang jadi pusat keramaian. Sekadar berjalan kaki menantikan matahari terbit atau sesekali melemparkan busi yang sudah diisi kepala korek api. Sensasi ketika mainan itu melayang di udara lalu menukik dengan kepala di bawah dan kemudian menyentuh aspal dan menimbulkan suara keras sungguh menyenangkan.
Di lain waktu kami mengadu tutup botol dari besi. Orang Makassar menyebutkan piceng. Tutup botol itu dipipihkan kemudian dibuat dua lubang kecil menggunakan paku. Sebuah benang nylon dimasukkan melewati kedua lubang itu. Dengan dua tangan piceng diputar melalui benang yang mengikatnya. Piceng akan terus berputar selama tangan digerakkan merapat dan merenggang. Piceng itulah yang diadu. Siapa yang benangnya putus duluan, dia yang kalah.
*****
Waktu libur adalah waktu yang paling kami nantikan. Selepas sholat subuh dan berjalan-jalan kami akan nongkrong di dangau tepi sawah punya salah seorang teman. Sekadar nongkrong dan tidur-tiduran menikmati angin sepoi-sepoi atau kadang juga bermain kartu. Kadang kami bisa betah di sana sampai dhuhur tiba. Setelahnya kami akan berpisah, kembali ke rumah masing-masing.
Kami baru berkumpul lagi sore menjelang maghrib. Terkadang hanya duduk-duduk nongkrong tidak jelas, entah di dangau entah di bawah pohon yang banyak berdiri tegak di kompleks perumahan kami. Sesekali juga kami bermain bola sambil menantikan waktu berbuka, tapi seingat saya itu sangat jarang. Kami lebih banyak hanya sekadar nongkrong saja, leyeh-leyeh menanti waktu berbuka tiba.
Malam harinya kembali saya dan teman sekompleks menempuh jalan panjang menuju masjid. Ikut sholat isya berjamaah dan kabur ketika khatib mulai ceramah. Awal-awal Ramadan kami masih biasa kembali lagi dan ikut tarawih, tapi seiring berjalannya Ramadan, itu sudah mulai tidak dilakukan lagi. Bolos tarawih, istilah kami.
Kami lebih banyak nongkrong di depan masjid, menikmati beragam jajanan yang ramai di depan masjid, menggoda anak-anak perempuan, bahkan bertahun-tahun kemudian mulai mencoba rokok.
Ramadan adalah masa yang menyenangkan bagi anak-anak kecil seperti kami. Di bulan itu kami bebas melakukan banyak hal yang biasanya tidak bisa kami lakukan di bulan-bulan lain. Keluar malam dan pulang sekitar pukul 9 atau 10, misalnya. Di hari biasa jangan harap itu bisa kami lakukan. Selepas maghrib nyaris tak ada alasan lagi yang bisa membuat kami keluar rumah. Makanya, Ramadan rasanya benar-benar membawa berkah bagi kami anak-anak kecil yang tak bebas keluar rumah di malam hari.
*****
Mengingat Ramadan di masa kecil seperti memutar kembali kenangan indah yang sangat berkesan. Ramadan ketika itu masih sangat sederhana buat seorang anak kecil. Hanya bangun sahur, menahan diri sehari penuh, berbuka puasa, beramai-ramai ke masjid. Selesai.
Ramadan malah selalu membawa keceriaan. Membawa suasana berbeda yang selalu dirindukan.
Selamat berpuasa kawan! Semoga ibadah kita di bulan ini lancar dan diridhoi Allah SWT.
Beneran tuh ada pohon Cherry? Kirain Cherry cuma ada di luar negeri. Klo piceng jaman kecil juga suka bikin terus maen drama jadi pengamen ?
Met berpuasa ya, semoga lancar hingga lebaran nanti.
maksudnya itu kersen, kalau ndak salah namanya cherry…apa beda ya? hihihi
Itu mainan busi diisi pentol korek mainannya anak anak usil jaman dulu banget hahaha
anak sekarang udah gak ngerti main gituan hahaha
Seruu amat sih Daeng masa kecilnya
Tp emang iya ya, kalo masa2 kecil bulan ramadhan itu selalu banyak cerita2 unik dan seru ya.
makin dewasa, puasa jadi makin rumit dan tidak seseru masa kecil hahaha
Maaf salah komen.
Itu salah masukkin alamatku 🙂
Seruu amat sih Daeng masa kecilnya
Tp emang iya ya, kalo masa2 kecil bulan ramadhan itu selalu banyak cerita2 unik dan seru yaa..
Wih.. di rumah sampai sekarang masih dengar radio kalau sahur ??
sekarang nassami ndak, mana ada radio wahihihi