Pemilu, Yang Dulu, Biarlah Berlalu
Dan akhirnya memang saya bergerak ke TPS, meski awalnya dengan hati yang agak berat. Setelah dua puluh tahun, saya akhirnya kembali membasahi tangan saya dengan tinta pemilu.
Pukul delapan lewat dua puluh satu menit. Saya sudah sampai di depan TPS yang jaraknya sekitar satu kilometer lebih dari rumah. Bayangan saya TPS akan penuh dan riuh oleh manusia. Di undangan mencoblos yang saya dapat, tertera jadwal mencoblos saya pukul 07:00 – 08:00. Berarti harusnya saya sudah terlambat tiba di TPS.
Ternyata saya salah.
Pukul 08:21, TPS 44 Kecamatan Manggala masih sepi. Ada beberapa orang calon pemilih dan beberapa orang petugas. Tapi tidak ada aktivitas pencoblosan seperti seharusnya.
“Kartu suara sama kotak suaranya belum datang pak,” kata seorang lelaki yang berdiri di parkiran.
Ternyata itu masalahnya. Jam segitu kartu suara dan kotak suara yang jadi alat vital dalam proses pencoblosan ternyata belum tiba. Dan tentu saja proses pencoblosan belum bisa dimulai. Tidak ada keterangan juga kapan surat suara dan kotak suara akan tiba dan pencoblosan bisa dimulai.
Kami memutuskan untuk pulang tanpa ada kepastian apakah akan kembali atau tidak.
Setelah Dua Puluh Tahun
Terakhir kali saya mengalami proses memilih di – yang katanya – pesta demokrasi adalah dua puluh tahun lalu, tahun 2004. Itu pemilu ketiga saya setelah pertama kali memilih di tahun 1997, lalu dilanjutkan di 1999. Tahun 2004 saya kembali menggunakan hak pilih saya di kali pertamanya rakyat Indonesia memilih langsung presidennya.
Setelah itu saya absen setiap kali ada proses pemilihan umum.
Tahun 2009 saya bermasalah di administrasi. Nama saya tidak tercatat di daftar pemilih tetap dan saya juga tidak punya niat untuk mengurusnya. Saya biarkan saja nama saya tidak tercatat dan saya membiarkan jari saya bersih tanpa tinta pemilu.
Lima tahun kemudian di tahun 2014 saya kembali tidak terdaftar di daftar pemilih tetap. Dan seperti lima tahun sebelumnya, saya kembali tidak berniat mengurusnya walaupun kata orang sebenarnya bisa saja diurus. Saya kembali membiarkan tangan saya bersih tanpa tinta pemilu.
Lalu lima tahun berikutnya, 2019. Saya kembali tidak memilih, jari bersih tanpa tinta pemilu. Kali ini bukan karena alasan administrasi. Setidaknya tidak sepenuhnya karena alasan administrasi. Nama saya sudah terdaftar di DPT, tidak seperti tahun-tahun sebelumnya. Bedanya, di tahun 2019 saya ada di Papua dan bukan di Makassar tempat nama saya terdaftar di DPT. Saya pun tidak ada niat untuk mengurusnya, walaupun sekali lagi kata orang itu bisa diurus.
Tahun ini pemilu kembali datang. Nama saya terdaftar di DPT, dan saya ada di Makassar, jadi tidak ada alasan untuk tidak mencoblos. Kecuali kalau saya memang tidak suka.
Dan akhirnya memang saya bergerak ke TPS, meski awalnya dengan hati yang agak berat. Setelah dua puluh tahun, saya akhirnya kembali membasahi tangan saya dengan tinta pemilu.
Kenapa Saya Memilih?
Mungkin itu jadi pertanyaan ya. Kenapa akhirnya saya memutuskan untuk memilih lagi setelah dua puluh tahun? Kenapa akhirnya saya mau meninggalkan rumah? Mendatangi TPS yang anehnya justru jauh dari rumah padahal dalam radius 200-300 meter dari rumah setidaknya ada tiga TPS.
Kalau saya pikir-pikir, ini tentu saja karena pasangan calon presiden. Salah satu pasangan calon presiden, lebih tepatnya.
Ada salah satu pasangan calon presiden yang membuat saya merasa saya harus turun memilih. Minimal memilih calon lain sebagai upaya menghalangi calon tersebut menjadi pemenang. Mungkin tidak memberi efek karena toh akhirnya calon yang saya maksud menjadi pemenang juga, tapi setidaknya saya sudah berusaha. Saya mengambil hak saya untuk memberi suara, tidak seperti dulu ketika saya membiarkan hak saya terbakar tanpa saya gunakan.
Lima dan sepuluh tahun lalu, calon yang tahun ini – sepertinya – menang juga sudah ikut pemilihan presiden, tapi kenapa saya tidak ikut pemilu dan memilih lawannya? Alasannya karena lima dan sepuluh tahun lalu saya masih apatis. Walaupun di tahun 2014 saya sempat percaya pada kalimat “memilih orang baik”, tapi saya tidak benar-benar sampai membulatkan niat untuk mencoblos. Saya hanya sekadar percaya pada kalimat itu, tapi tidak sampai berhasil menggerakkan saya.
Lalu lima tahun lalu saya sudah benar-benar apatis. Tidak ada lagi rasa percaya pada narasi “orang baik” karena ternyata orang baiknya tidak benar-benar baik. Waktu itu saya merasa, sudahlah. Apa yang terjadi, biarlah terjadi. Saya juga masih yakin kalau yang katanya orang baik tapi tidak benar-benar baik itu akan menang koq. Jadi tidak perlu juga saya ikut mengotori jari.
*****
Pada akhirnya memang kenyataan tidak selalu sesuai harapan. Tahun ini, pemenang pemilihan presiden sudah hampir dipastikan siapa. Meski penuh dengan kontroversi sepanjang prosesnya tapi apa mau dikata, sebagian besar warga negara Indonesia sepertinya memang masih terpesona pada satu sosok di belakang pasangan calon ini. Ini tentu tidak datang begitu saja, tapi melalui proses panjang yang tak terbendung atau luput untuk dibendung.
Saya percaya, apa yang kita hadapi hari ini serupa panen dari sebuah proses. Hasil panennya ya sesuai proses yang kita jalani. Kalau hasilnya tidak sesuai harapan berarti mungkin proses kita yang kurang maksimal. Sebaliknya, kalau hasilnya sesuai harapan, berarti prosesnya sudah kita maksimalkan.
Sebagai penutup saya hanya ingin mengutip lagu dari Fourtwenty berjudul Zona Nyaman.
“Pemilu, yang dulu
Zona Nyaman, Fourtwenty
Biarlah berlalu
Bekerja bersama hati
Kita ini insan bukan seekor sapi.”
di pemilu tahun ini saya awalnya juga tak peduli. tapi lama-lama kok ikut tergerak karena alasan yang sama. mungkin emang cerminan pemimpin merupakan cerminan (sebagian besar) warganya..