Mulyono Adalah Kita

Kisah pencitraan seorang bapak – sebut saja Mulyono – yang berhasil membuatnya menjadi pemimpin sebelum akhirnya memperlihatkan watak aslinya.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, pencitraan adalah proses, cara membentuk citra mental pribadi atau gambaran sesuatu; penggambaran. Pencitraan adalah kata yang paling sering muncul ketika menceritakan bagaimana seseorang ingin mempersiapkan diri maju dalam sebuah kontestasi politik. Kadang malah dianggap sebagai sebuah hal negatif. Padahal menurut saya, pencitraan adalah sebuah kata netral. Tidak negatif, tidak juga positif. Tergantung persepsi kita dan sudut pandang kita.

Pencitraan dan politik tentu tidak bisa dipisahkan. Apalah artinya politik tanpa pencitraan, apalagi kalau tujuannya adalah memenangkan kontestasi atau merebut kekuasaan berbekal suara rakyat. Tanpa pencitraan yang tepat, tujuan tentu tidak akan atau sulit tercapai.

Pencitraan Bermula

Sepuluh tahun lalu, seorang pria tunggu kiris eh tinggi kurus dari Solo memenangkan kontestasi politik tertinggi di Indonesia. Pemilihan presiden. Salah satu modal besarnya adalah pencitraan yang luar biasa.

Lelaki itu – sebut saja Mulyono – mencitrakan diri sebagai pemimpin dari kalangan rakyat biasa. Sama seperti sebagian besar orang Indonesia. Dia bukan peninggalan Orde Baru, bukan anak pejabat tinggi Orde Baru atau Orde Lama, bukan pemilik partai. Dia hanya orang biasa yang memulai semuanya dari sebuah usaha furnitur. Sama seperti sebagian orang Indonesia.

Lelaki itu – sebut saja Mulyono – memulai semuanya dengan citra yang sangat memikat. Dia kurus, wajah biasa, seperti layaknya sebagian orang Indonesia. Dia tidak tegap karena dia bukan dari latar militer, dia juga tidak berwajah kearab-araban atau keeropa-eropaan karena memang dia orang Indonesia asli, Jawa tulen katanya. Sama seperti sebagian orang Indonesia.

Modal itu dipoles sedemikian rupa oleh mereka yang pastinya jago soal pencitraan dan tentu dengan persetujuan si bapak. Wajah, tubuh, pakaian, sampai keseharian benar-benar mencitrakan sosok yang biasa saja, sama seperti sebagian orang Indonesia. Pakaiannya sederhana, kerap hanya kemeja putih tanpa logo Balenciaga, LV, Gucci, atau apalah itu merek yang mahal. Selaras dengan citranya sebagai seorang rakyat biasa yang tidak lahir dari rahim pejabat atau pengusaha yang dekat dengan pejabat.

Semua itu berhasil mendongkrak popularitasnya dan kemudian membawanya memenangkan kontestasi presiden di republik ini. Kebetulan lawannya seperti berkebalikan dengan – sebut saja Mulyono. Lawannya bertubuh bongsor, subur. Lahir dari rahim begawan ekonomi di zaman Orde Lama. Besar di ketiak pemimpin Orde Baru dan kemudian punya partai yang perlahan membesar. Benar-benar berkebalikan dengan tokoh yang satu lagi, sebut saja Mulyono.

Pencitraan Berlanjut

Tokoh yang sebut saja bernama Mulyono ini akhirnya jadi presiden. Sebagian karena rekam jejaknya selama menjadi walikota dan gubernur, sebagian karena pencitraannya yang luar biasa. Dan pencitraan ini dilanjutkan di awal-awal kepemimpinannya.

Naik pesawat komersil kelas ekonomi ke Singapura saat menghadiri wisuda sang anak. Pakaiannya tetap sederhana. Kemeja seratusan ribu, celana juga, sepatu produk dalam negeri yang harganya juga tidak lebih dari 3 gelas kopi di waralaba internasional. Benar-benar merakyat. Sama seperti sebagian orang Indonesia.

Suatu hari anak perempuannya tidak lulus seleksi calon aparat sipil negara di kota tempat asalnya, tapi si bapak yang sekarang sudah jadi presiden itu tidak turun tangan. Padahal kalau mau dia bisa saja memerintahkan siapapun yang mengurusi seleksi itu untuk meluluskan sang anak. Tapi si bapak – sebut saja Mulyono – tidak punya niat untuk seperti itu. Untuk hal ini, dia tidak sama dengan sebagian besar orang Indonesia.

Dua anak laki-lakinya juga memilih jalan yang berbeda dengan jalan sebagian anak-anak presiden yang memilih bermain politik juga. Entah maju sebagai calon pemimpin atau menjadi petinggi partai punya bapak. Dua anak laki-laki si bapak memilih jadi pengusaha kecil. Martabak dan pisang. Benar-benar usaha kecil yang dimulai dari bawah, tanpa campur tangan kuasa sang bapak. Mereka mengaku tidak tertarik ikut berpolitik.

Sampai di sini pencitraan masih dilanjutkan.

Bapak yang sederhana dan tidak maruk kekuasaan, anak yang tidak memanfaatkan kuasa sang bapak. Ah, benar-benar keluarga idaman.

Pencitraan Berakhir

Semua yang berawal pasti akan berakhir. Begitu juga dengan pencitraan yang dilakukan si bapak – sebut saja Mulyono. Perlahan-lahan pencitraannya mulai luntur. Berawal dari anak mantu dan anak kandung yang banting setir dari pengusaha kecil ke penguasa kota. Anak mantu maju sebagai calon walikota Medan, si anak kandung maju sebagai calon walikota Solo. Pada akhirnya mereka berdua benar terpilih sebagai walikota. Entah karena kuasa dan nama si bapak atau memang murni usaha mereka sendiri.

Dulu si bapak tidak menggunakan kuasanya untuk meluluskan si anak jadi ASN karena ternyata punya rencana jangka panjang yang lebih besar. Ngapain kalau hanya jadi ASN? Jadi istri walikota dong! Mungkin begitu pikirnya.

Menjelang sepuluh tahun si bapak berkuasa, pencitraan yang dulu dibangunnya benar-benar luntur. Si anak yang sudah jadi walikota itu kemudian maju sebagai calon wakil presiden, tentu tidak begitu saja. Ada bantuan paman yang berhasil mengubah peraturan untuk bisa maju menjadi wakil presiden. Horee! Benar-benar sebuah hikmah dari rekatnya rasa kekeluargaan.

Tidak selesai sampai di situ, si anak bungsu yang tadinya lebih sibuk mainan pisang dan YouTube tiba-tiba jadi ketua partai padahal baru tiga hari menjadi anggota. Sebuah prestasi yang mencengangkan. Apalagi mengingat si partai ini dulu mengejek habis yang namanya nepotisme dan politik instan tanpa pengkaderan. Yah bagaimanapun menjilat ludah sendiri kadang memang manis.

Paling terbaru, si anak bungsu kedapatan mengunjungi negeri Paman Sam bersama istrinya dengan menumpang jet pribadi yang sekali pakai sewanya bisa miliaran rupiah. Padahal kalau dia ingat, si bapak pernah mengunjungi wisudanya di Singapura dengan menumpang pesawat komersil dan kelas ekonomi. Eh tapi mungkin dia berpikir harus ada peningkatan dong ya, masak level kehidupannya sama terus dengan si bapak. Kita yang jadi orang tua juga pasti berpikir sama, anak-anak kita hidupnya harus lebih enak daripada kita.

Mungkin pikiran itu yang dijadikan alasan oleh si bapak untuk mendukung penuh tindak-tanduk anak dan mantunya bermain politik. Harapannya biar hidup mereka lebih enak dan nyaman dari dia. Ah, orang tua yang sangat perhatian pada anaknya.

*****

Pencitraan bagi politisi memang sangat dibutuhkan. Pencitraan adalah modal utama dalam merebut kekuasaan atau mendulang suara pemilih. Bapak itu – sebut saja Mulyono – berhasil membangun pencitraan yang pas untuk dirinya, mengantarkannya ke tahta tertinggi. Setelah berhasil, ya sudah. Pencitraan bisa ditanggalkan dan kembali ke karakter asli yang yah hampir sama dengan sebagian orang Indonesia. Saatnya untuk membangun pondasi agar keluarga hingga anak cucu bisa hidup nyaman. Toh Mulyono adalah kita yang memulai semua dengan pencitraan dan mengakhiri semua dengan wajah asli. [dG]