Menjadi Anak Kos di Jayapura
Seumur hidup baru kali ini saya ngekos. Tinggal di kosan dan merasakan hidup sebagai anak kos.
SAYA TIDAK PERNAH NGE-KOS SEBELUMNYA. Pengalaman paling dekat dengan kos-kosan adalah ketika merantau ke Jakarta periode tahun 2000. Ketika tiba, kami (saya dan beberapa teman seperantauan) langsung mencari kos-kosan. Setelah mencari ke sana ke mari, kami akhirnya memutuskan menyewa satu rumah untuk ditinggali bersama. Biaya kontrak rumah untuk empat orang lebih murah daripada menyewa satu kamar kos selama setahun.
Hanya itu pengalaman paling dekat saya dengan kos-kosan.
Delapan belas tahun kemudian, saya untuk pertama kalinya dalam hidup menjadi anak kos. Seperti yang saya cerita di tulisan sebelumnya, saya mengiyakan tawaran untuk bekerja di tanah Papua selama tiga bulan, tepat di awal tahun 2018. Karena tinggal di Jayapura maka tentu saja saya harus mencari tempat di sini. Kamar kos jadi pilihannya.
Hari pertama tiba di Kotaraja (salah satu bagian dari Jayapura), saya langsung mencari kosan. Dhila – salah satu teman yang sama-sama bertugas di Jayapura – dalam waktu singkat bisa menemukan calon kamar kos yang dia incar. Mungkin memang lebih mudah mencari kamar kos wanita daripada kamar kos pria ya?
Saya baru mulai mencari lagi keesokan harinya. Tidak jauh dari hotel tempat saya menginap sementara ternyata adalah kawasan kos-kosan. Ada banyak, dari rumah petak berjejer sampai kamar-kamar yang disewakan. Saya mencoba mendatangi satu per satu, tapi dari dua kosan pertama yang saya singgahi jawaban yang sama saya dapatkan: tidak ada kamar kosong.
Barulah ketika tiba di kosan ketiga, saya mendapat jawaban berbeda.
“Ada kosong, tapi kamar biasa,” jawab seorang bapak berkopiah haji, berbaju koko dan bersarung. Dia baru pulang dari masjid. Saya tebak dia berumur 60an tahun.
Oleh si bapak yang ternyata berdarah Bugis-Makassar itu saya diajak melihat satu kamar di lantai dua. Sangat sederhana, berukuran kira-kira 2×2.5 m dengan satu ranjang tanpa lemari. Kamar mandi di luar, berada di bagian belakang deretan kamar kos berlantai dua itu. Sangat sederhana sampai si bapak seperti kurang yakin menawarkan kamar itu untuk saya.
“Sebenarnya ini kamar kos untuk anak sekolah, nda cocok ki kayaknya,” kata si bapak. Dia lalu menunjuk ke seberang, ada bangunan dua lantai juga dengan beberapa kamar berjejer. Dari luar terlihat kamar-kamar itu lebih besar. “Kalau itu rumah petak, ada kamar mandinya di dalam sama dapurnya. Tapi tanggal 18 pi baru ada kosong,” kata si bapak lagi.
Saya berpikir cepat. Kamar yang ditunjukkan si bapak memang sangat sederhana, saya pasti akan sulit beradaptasi. Tapi, seminggu kemudian akan ada kamar lain yang kosong. Kamar ini lebih nyaman nampaknya, lengkap dengan kamar mandi di dalam dan dapur. Saya pikir tidak apalah, saya ambil yang sederhana ini dulu. Toh, minggu depannya saya bisa pindah ke kamar yang lebih nyaman.
“Kalau begitu untuk sementara saya di kamar ini dulu pak, kalau yang depan itu sudah keluar, saya pindah ke sana,” kata saya kepada si bapak.
“Kapan ki mau masuk?” Tanya si bapak
“Besok mungkin pak, secepatnya,”
Saya memang berencana pindah keesokan harinya supaya tidak perlu keluar biaya terlalu mahal untuk tidur di hotel. Kami lalu bertukar nomor telepon dan saya berjanji akan mengabari kalau memang jadi pindah keesokan harinya.
Sebenarnya, berapa biaya hidup di Jayapura? Baca perhitungannya di sini.
Urusan kosan selesai di hari kedua. Saya hitung jarak dari kosan ke kantor tidak terlalu jauh, dengan ojek saya hanya membayar Rp.10.000,-. Pergi pulang berarti Rp.20.000,-. Sayang karena tidak ada kosan kosong yang dekat dengan kantor, sehingga saya bisa jalan kaki. Tapi setidaknya ini pilihan terbaik untuk saat ini, kata saya dalam hati. Toh kalau tidak cocok nanti bisa cari lagi.
*****
TAPI JALAN CERITA TERNYATA BERBEDA. Malam harinya sebelum mencari makan saya iseng berjalan ke sekitar hotel Grand Talent tempat saya menginap. Hanya iseng, ingin tahu bagaimana kondisi kos-kosan di sana. Saya masuk ke beberapa lorong, makin menjauh dari hotel sampai kemudian berhenti di sebuah bangunan berlantai dua dengan cat dominan biru.
KOS BIRU, begitu tulisan di sebuah papan yang terpasang di depan bangunan itu. Seorang perempuan setengah baya bermukena duduk di bagian depan bangunan yang dijadikan kios dan pengisian ulang air minum.
Seperti yang saya cerita di tulisan sebelumnya, saya akhirnya menemui kesepakatan dengan si ibu. Kamar kos yang ditunjukkannya lebih nyaman daripada yang saya cek tadi siang. Ditambah lagi si ibu kos dengan baik hati memberikan beberapa fasilitas tambahan dengan cuma-cuma. Semua karena kekuatan “sama-sama dari Makassar.”
Cuma satu hal yang saya sayangkan dari kebaikan ibu kos adalah; dia membeli lemari baru buat kamar saya, tapi lemarinya bergambar logo dan pemain Juventus. Ya Tuhan! Sungguh cobaan berat untuk seorang Milanisti yang mendekati murtad ini.
Tinggal di kosan berarti harus siap dengan beberapa material pendukung. Pemanas air, piring, gelas, sendok, gantungan baju, ember, pencuci piring, mangkuk, cermin, banyak pokoknya. Benda kecil yang ketika dijumlahkan harganya ternyata lumayan juga.
Itupun saya harus menekan keinginan untuk beli beberapa barang yang lebih mahal karena mengingat durasi kerja yang cuma beberapa bulan. Sayang kalau misalnya saya beli TV kan? Atau tiba-tiba saya memasang AC di kamar yang rasanya selalu panas ini dan sekalian membeli mesin cuci. Ha-ha-ha-ha.
Jadi, sekarang saya sudah mulai menjalani hari sebagai anak kos. Bagaimana rasanya? Hmmm, yah lumayan menyenangkan. Iya saya kehilangan beberapa kenyamanan yang saya dapat di rumah sendiri – utamanya kenyamanan kuota internet berkecepatan tinggi yang melimpah. Tapi, saya juga menemukan kenyamanan baru seperti…eh seperti apa ya? Seperti-nya belum ada tuh. Ha-ha-ha-ha.
Karena hidup di Jayapura, saya kemudian mulai akrab dengan angkot. Baca kisahnya di sini.
Belum bisa dibilang nyaman sebenarnya, tapi minimal saya bisa tidur tenang dan buang air dengan lancar. Dua hal itu jadi indikator saya nyaman atau tidak di tempat baru. Tidur nyenyak dan berak dengan lancar. Kalau salah satu atau kedua-duanya macet berarti saya tidak nyaman di tempat itu. Syukurnya di kos ini saya bisa kedua-duanya.
Setidaknya sekarang saya belajar hidup dan mensyukuri apa yang saya dapat di rumah. Masih banyak yang hidupnya lebih susah, yang bahkan untuk update blog saja susah karena tidak ada sinyal – seperti saya sekarang. Sekarang pun saya belajar untuk hidup sederhana, sebagai anak kos. Untuk lebih menghayati peran sebagai anak kos, saya rajin memasak mie instan dan rajin pula merendam cucian di malam hari untuk kemudian saya cuci keesokan harinya.
Ternyata, beginilah nasib anak kos. [dG]
Jempol memang Dengipul, walaupun akses internet susah, bisa jadi beberapa tulisan. Sehat dan sukses selalu, Daeng.
Semoga suatu saat saya juga bisa menginjakkan kaki juga ke Tanah Papua 🙂
terima kasih mamak Fadel
padahal dulu sudah hampir tiba di Papua di? Hihihihi
Aku malah kebalikan daeng, lebih dari separoh umurku sebagai anak kos. Sejak masuk SMP sampai sekarang jadi anak kos. Bahkan terkadang lupa jika di rumah punya kamar pribadi 🙁
ini satu lagi orang luar biasa, ckckck
sejak SMP sudah ngekost? wow banget
Selamaat ngekos daeng. Jangan lupa lihat… sekeliling, siapa tau dpt ‘teman’ di kamar itu. Hehehe
hahaha siap! usul yang bagus dari anak kost zaman now
Daily Vlog selama ngekos… mungkin kah? Yang semangat ya 🙂
wahaha maunya sih begitu, tapi apa daya tiba di kosan badan sudah lemah
Kl aku dari SMP udah ngekos kak.. Hhh
Ku ngakak baca ini “Ya Tuhan! Sungguh cobaan berat untuk seorang Milanisti yang mendekati murtad ini” bahahah
wah luar biasa, dari SMP sudah ngekost? ckckck
SPREI nya kren… ????
hahaha luar biasa keren!
mantap bang btw sy jga mau ke jayapura,
utk biaya hidup dsana seperti harga beras,mi instan,nasi goreng n biaya kos perbulannya brp? ^^
yang jelas sih lebih mahal hehehe
kalau makanan mungkin akan lebih mahal 25% dari makanan di Jawa
kalau kos, rata-rata 1jt untuk kamar sederhana dengan kamar mandi luar (hanya ada kasur dan lemari)
untuk kos yang lengkap perabotan, jatuhnya 2jt sampai 3jt/bulan tergantung ukuran
Ku sudah kenyang ngekost sejak tamat smp sampai menikah, hampir tiap tahun pindah kost ? Sampai2 dijuluki nomaden sama temanku hiks
Selamat daeng menikmati kenestapaan dunia anak kos yang kelam karena jarang makan dan tak jarang di larikan di rumah sakit.
hadeh, jangan sampai dilarikan ke rumah sakit hihihihi